19 September 2008

Why I leave AKR ?

8 alasan kenapa gue pindah dari AKR:
1 Remunerasi yang Kurang Ajar
2 Atasan yang Tidak Bisa Dibantah
3 Jam Kerja yang Terlalu Straight
4 Temen Temen yang Nyebelin Banget
5 Laptop yang Bikin Males
6 Terlalu Banyak Traveling dan Kuliner
7 Traveling dan Kuliner Sampai ke LN
8 Download, Upload, Sign Up, Edit Profile dan Posting Blog

Gue bahas satu persatu ya:

Remunerasi yang Kurang Ajar

Selain gaji pokok, THR dan bonus (yang bisa mencapai 5 kali gaji pokok bulanan), AKR masih memberikan fasilitas COP (Car Ownership Program), yang setelah 5 tahun, mobil sekelas Inova atau City bisa menjadi hak milik karyawan dan tentunya dapat COP yang baru lagi, sehingga yang lama bisa dijual dengan keuntungan sepenuhnya masuk kantong pribadi. MSOP (Management Stock Option Program) dimana karyawan diberi jatah untuk membeli saham AKR dengan harga yang sudah ditentukan (lebih rendah dari harga pasar). Saat ini, saham AKR di bursa tidak mengecewakan dan naiknya tergolong agresif.

Belum lagi beasiswa penuh untuk anak karyawan (SD – SMA) yang bisa menduduki rangking 1 – 5 dan beasiswa tidak terbatas, jadi kalau setiap tahun juara, bisa sekolah gratis sampai lulus SMA, termasuk uang buku, seragam dll. Selain itu, medical juga unlimited, untuk karyawan, istri dan max 3 anak. Fasilitas parkir gratis, uang saku untuk international traveling (USD 20 per hari). Sehabis sebulan di China, gue bisa dapat tambahan uang sampai USD 500 atau ekuivalen (hampir) 5 juta rupiah !

Setiap kali ada tawaran pekerjaan dari luar, bisa pusing gara gara banding banding dengan annual package AKR, dan ujung ujungnya tawaran itu ditolak ! Remunerasi (remuneration) yang kurang ajar bukan?

Atasan yang Tidak Bisa Dibantah

Atasan langsung gue tak lain adalah Group CEO, owner dari AKR, pucuk pimpinan bahasa formalnya. Semua schedule audit, target, waktu pelaporan, staffing, reimbursement dan apalah itu, selalu harus tanda tangan beliau. Dan kalau sudah sampai di tangan beliau, beliau langsung mengambil bolpoin dari saku dan segera menggoreskan tandatangan. Kadang tanpa dilihat jelas isinya apa. So, dengan atasan seperti itu, apalagi yang mau gue bantah ?

Jam Kerja yang Terlalu Straight

Eight to Five, almost everyday. Orang kerja menyebutnya jam Tango (teng-go, teng langsung go), “memang Tango enak”. Gimana ngga enak, begitu teng jam 5, langit masih terang, gue (dkk) udah bisa langsung ninggalin office. Bukan karena penghematan atau apa. Memang udah seharian pusing dan hampir stress gara gara kerjaan. Mikiiiiiirrrr terus, mau kerjain apa lagi ya… he he he :_P (P.S. hanya terjadi di Jakarta, ketika tidak ada schedule, lebih tepatnya: lagi 'mengosongkan' schedule)

Datang-pun sering lewat dari jam 8, dengan alasan klasik, Jakarta macet. Kalau Jakarta udah ngga macet, udah ngga usah kerja, soalnya pasti lagi libur lebaran :_P Kalo udah gitu, pulangnya harus tepat waktu, dengan alasan, sehari cuma boleh telat 1 kali, kalo datangnya udah telat, pulang ngga boleh telat lagi, straight banget kan ?

Teman teman yang Nyebelin Banget

Entah di mana lagi bisa ketemu temen temen kayak di AKR. Hancurrrr habis. Kalo nyela pake mulut doang, ngga pake mikir, apalagi pake perasaan. Teman teman yang sebenarnya, gue menyebutnya ‘true friendship’. Dimana gue bebas ngomong, nyela, dan bisa menjadi diri sendiri di depan setiap dari mereka. Gue masih inget dulu sore sore, ada aja yang ke tempat QA (nama dept gue) dan mulai deh curhat, sampai kita dijuluki Dept Curhat. Waktu gue resign mereka menghadiahi gue sebuah album foto berisi kenangan dan banyolan mereka. Emang Nyebelin Banget harus kehilangan teman teman seperti mereka. How can I say, Love them, Hate them...


Laptop yang Bikin Males

Accer Travelmate 4720 bener bener travelmate, temen jalan jalan gue, yang bisa dibilang paling canggih di kelasnya:
- Memory 1 GB
- Harddisk kapasitas 250 GB
- Bluetooth dan Infrared
- 5 in 1 memory card reader
- Finger print access
- Wireless internet alias wi-fi
- Integrated web cam
Selain itu, bentuknya yang compact (layer lebar 14”) berwarna abu abu, apik untuk dibawa kemana mana. Menjadikan gue lebih rajin nyari wi-fi gratisan :_P Dengan kapasitas harddisk nya yang 250 GB, gue bisa simpan ratusan lagu berformat MP3 disana. Belum lagi hasil jepretan gue sehabis jalan jalan. Ngga penuh penuh deh tuh harddisk he he. Memory-nya yang 1 GB membuat gue leluasa menginstall macem macem program tanpa membuat-nya lelet :_) Webcam-nya membuat chatting pake Yahoo Messenger makin asyik … Nah, kalo udah (pernah) punya laptop kayak gini, jadi males dikasih make laptop lain.

Terlalu Banyak Traveling dan Kuliner

Banyak kota di Indonesia yang pertama gue injakkan kaki berkat ditugaskan di AKR. Medan, Lampung, Solo, Ponorogo, Manado, Makasar dan Balikpapan diantaranya. Palembang, Bandung, Surabaya termasuk yang sempat gue kunjungi dengan biaya kantor juga. Yang paling gue syukuri adalah pengalaman kuliner yang tak terlupakan. Sate Ayam Ponorogo, Woku Belanga khas Manado dan nasi bebek ala Surabaya adalah antara lain kuliner yang maknyus-nya nempel di hati dan ingin sekali menikmatinya lagi :_) Dan yang tak kalah menyenangkannya adalah: Bertambahnya teman di daerah daerah yang pernah dikunjungi itu.

Traveling dan Kuliner Sampai ke LN

Walaupun hanya ditugaskan ke ‘kampung China’ tapi pengalaman hidup di negri orang selama sebulan bukan pengalaman yang biasa. Apalagi perginya sampai 3 kali ke 2 kota (atau kampung ya?) yang berbeda, Guigang dan Liuzhou. Dua duanya kota kecil di Propinsi GuangXi, tetangganya Guangzhou. Sempet juga main ke Guangzhou, Nanning dan the amazing Guilin selama bertugas. Making friends dengan orang lokal, melihat adat kebudayaan sehari hari mereka dan menjalaninya, makan makanan mereka (dari ngga suka menjadi doyan dan terngiang ngiang sampai Indonesia), oleh oleh unik, lucu dan terjangkau kantong, dan atmosfir yang berbeda pada saat musim panas, musim dingin dan musim semi, yang tak bisa dijumpai di Indonesia.

Download, Upload, Sign Up, Edit Profile dan Posting Blog

Download lagu di multiply, dari jaman keemasan (bebas download) sampai multiply nya di tuntut sehingga tidak bisa download. Akhirnya kutak katik nemu lagi cara mendownload. Sign up Multiply, Flickr, bikin account gmail sampai memulai blog ini. Itu semua dilakukan di AKR. Dari download lagu, upload foto, posting blog, edit profile di Friendster, YM YM an, Goggle-talk, dll. Semua itu bebas tanpa dibatasi aksesnya oleh AKR. Provider internet gratis yang paling banyak fasilitasnya :_P

Belum lagi dulu pas ngurus merit, atau urusan kartu kredit yang suka menyita waktu seharian, research on line barang barang (terutama elektronik) yang mau dibeli dll. Mengutip pernyataan seorang penyiar radio, “Kerjaan kantor jangan sampai di bawa ke rumah, kalau bisa, kerjaan rumah yang di bawa ke kantor” begitulah kira kira.

Kesimpulannya
Sebulan sudah gue meninggalkan AKR, kadang masih setengah ngga percaya. Dan sambil duduk di ruangan baru, posisi baru dan kantor baru, gue sering bertanya kenapa ya gue pindah dari AKR ??

Jawabannya: baca postingan berikutnya ! :_)

Important notes to this post (5 Nov 2009):

Ini adalah blog pribadi yg berisi pengalaman dan pendapat pribadi. Apa yg tertulis disini bisa jadi tidak mewakili keadaan yg sebenarnya (apabila berbeda). Perusahaan tempatnya bekerja, teman teman, bahkan keluarganya, apabila ada di dalam tulisan2 blog ini tidak diwakili oleh pendapat2 penulis yg bersifat pribadi. Benar blog ini berisi 'perjalanan hidup' si penulis yg kesemuanya adalah nyata. Namun 'hidup' selalu punya 2 sisi, enak, nikmat, nyaman dkk di satu sisi dan di sisi lain berdiri sakit, perih, sedih, kadang juga air mata. Tentu tidak semuanya ditampilkan di khalayak ramai (baca: blog ini). Ada sisi (enak maupun tidak enak) yg ingin penulis simpan untuk dirinya sendiri. Dan di sisi di mana penulis ingin tampilkan, kadang (bahkan sering) dramatisasi menjadi kebiasaan dalam bercerita, spt dongeng, agar cerita bertambah menarik. Contoh sederhana: kata kata maknyus apa bedanya dengan enak (dlm dunia kuliner)? Namun kalau kata2 'enak' melulu yg dipakai penulis, apa dia ngga (lambat laun) ditinggal pembacanya?

Sebagai orang yg hobi traveling, kuliner, musik, dan blogging (dan tidak hobi pekerjaan :p) penulis sangat jarang bahkan menghindari menulis tentang pekerjaannya. Biarlah semua orang (hanya) tau bahwa si penulis ini jalan jalan (dan makan makan) terus dibayarin kantor. Orang tidak perlu tau kalau dia juga stress, dicemberutin istri karena pulang malam (+ bawa pulang kerjaan), di hotel bukannya sauna malah nge-draft report, atau berkali kali batalin janji makan malam dengan teman di luar kota akibat kesibukan.

AKR adalah perusahaan yg hebat. Setelah satu tahun lebih saya meninggalkan perusahaan tsb, masih saya ikuti beritanya dan sering kali tanpa sengaja. Tanpa sengaja, karena begitu hebatnya dia menyita halaman bisnis di koran atau media elektronik (termasuk internet). Saya salut dan bangga pernah 3 tahun bekerja di perusahaan yg begitu visioner, berani mengambil resiko, dan menjadi pemain yang tangguh di bidangnya.

Lebih bangga lagi, karena saya pernah bergabung 'pasukan khusus' atau 'elite force' di sana. Bahu membahu bersama 2 rekan yg luar biasa, kami bekerja keras agar perusahaan jadi lebih disiplin, lebih terstandar, dan lebih berkualitas. Dari saya masuk sampai resign, mungkin sudah ratusan rekomendasi kita yang dijalankan yg membuat perusahaan menjadi lebih baik tentunya.

Saya bertrimakasih kepada bung Anom yang sudah memberi komentar. Komentar yang sangat biasa, tapi membuat saya sadar untuk membuat sebuah klarifikasi sebelum lebih banyak orang lagi membaca dan kemudian mendapat persepsi yg salah tentang perusahaan tempat saya pernah (dan masih) sangat bangga bekerja disana.

09 September 2008

PADANG – BUKITTINGGI, 30 July – 2 Aug 2008

2 August 2008
Jam Gadang - Teluk Bayur _ Pantai Air Manis (Malin Kundang) - Jemb Siti Nurbaya - Soto Garuda - Kripik Shirley - Es Durian Padang


Pagi terakhir perjalanan kita. Rasanya sayang untuk dilewatkan. Maka, di udara Bukittinggi yang sejuk, apalagi di pagi hari, gue sendirian jalan dari hotel ke Jam Gadang. Memakan waktu sekitar 20 menit, karena banyak berhenti untuk foto di sepanjang jalan. Pagi pagi di Jam Gadang belum ramai, tapi sudah ada sekumpulan ibu dan bapak paroh baya yang bersenam mengikuti seorang instruktur.


Di sekitaran Jam Gadang itu, selain terdapat Plaza Bukittinggi dan Pasar Atas, juga ada Museum Bung Hatta. Mengingat Bung Hatta memang kelahiran asli Bukittinggi.

Untuk sarapan pagi, makanan dari hotel kita minta untuk dibungkus saja. Dari obrolan dengan Pak Samsyir kemaren, ada tempat makan tradisional yang enak, namanya Pical Ayang. Pical, dalam bahasa Minang, berarti pecel. Jadi isinya sayuran, telur (optional) dan siraman kuah kacang. Makanan lainnya yang tak kalah sedap adalah kampiun, semacam bubur ketan. Dan minuman khas orang Minang, teh telur, juga ada. Teh telor tak lain adalah teh yang diberi telur mentah kocok. Rasanya aneh.

Meninggalkan kota Bukittinggi, kita kembali menuju kota Padang. Karena penerbangan kita cukup sore, sekitar jam 5. Maka, masih banyak waktu untuk kita habiskan di kota Padang. Pertama kita mampir ke Teluk Bayur yang ada lagunya yang termasyur di tahun 80an itu. Papa, Mama dan gue tak kuasa untuk tidak berdendang, “… nantikanlah aku di Teluk Bayur…”

Ternyata Teluk Bayur itu hanya sebuah pelabuhan dengan beberapa pabrik berdiri di sekitarannya. Bukan seperti Anyer yang ada tempat wisatanya. Namun, namanya juga laut, pemandangannya tak mengecewakan.


Setelah Teluk Bayur, berikutnya adalah Pantai Air Manis. Siapa yang tak pernah mendengar legenda batu menangis Malin Kundang? Nah, disinilah lokasi batu tersebut. Namun, jangan membayangkan sesuatu yang alami, disini, semuanya sudah melalui proses pemugaran. Tak ada batu yang asli. Memang terlihat sosok yang menyembah (kepada sang ibu) di atas batu karang yang mirip kapal. Namun kalau diperhatikan lebih jelas, semua itu lebih mirip semen daripada batu karang. Tidak terlihat lagi bentuk asli dari batu yang melegenda itu, aslinya sudah rusak, yang ada hanya buatan tangan manusia untuk menyelamatkan sang legenda.


Di Pantai yang berpasir coklat tersebut, sebatok air kelapa segar sangat menawar dahaga, karena cuaca siang itu, sungguh sangat terik. Namun itu tak membuat pantai ini sepi pengunjung, apalagi di Sabtu siang itu. Tampak ramai pengunjung, dengan anak anak kecil berlarian di pasirnya yang luas dan berwarna coklat, yang kebetulan airnya sedang surut itu.

Yang mengecewakan (dan bikin jengkel) adalah ketika di jalan masuk, dihadang beberapa pemuda yang memungut ‘retribusi’ Rp 15,000 untuk 1 mobil beserta penumpang, tanpa alasan yang jelas. Inilah wajah pariwisata Indonesia di tahun Visit Indonesian Year.

Lepas itu, hari sudah mulai beranjak siang, dan perut mulai beranjak lapar :_) Soto Garuda adalah pilihan kita makan siang itu. Namun sebelum sampai ke lokasi, kita sempat mengitari kota tua di Padang, yang sudah ada sejak jaman colonial, benar benar tua. Mampir juga ke sebuah kelenteng dan Jembatan Siti Nurbaya. Ini bukan tempat sang pujaan hati Datuak Maringgih melompat bunuh diri. Walaupun konon ada makamnya segala, Siti Nurbaya toh hanya sebuah novel. Ini tak lain sebuah jembatan modern, yang diberi nama sama dengan tokoh fiktif ciptaan pujangga Marah Rusli tersebut. Melintas di atas sungai yang cukup dilewati kapal ukuran sedang, dan mengarah langsung ke laut Padang.

Soto Garuda sebenarnya kurang tepat dinikmati di siang yang panas itu. Namun soto khas Padang itu tetap gurih dan nikmat. Porsinya kecil, kuahnya polos dan dagingnya agak ‘garing’. Sepertinya digoreng dulu. Rasanya cukup asin, sehingga pas dimakan dengan nasi (yang banyak). Selain soto, kita juga memesan ‘Tahu Kecap’. Ini mirip rujak/pecel, karena isinya mie, toge, kol, timun dan tahu dengan dressing kuah kacang namun dengan rasa manis yang amat sangat (karena kecap manis). Yummy banget sampai pesan satu lagi :_) Kebetulan gue kan ngga makan daging, jadi ya… tau sendiri.

Petualangan (kuliner) tidak hanya sampai di situ. Walaupun harus catch the plane jam 5, masih ada waktu untuk mampir ke tempat oleh oleh.

Di Padang, yang sangat terkenal (sampai Jakarta) adalah Keripik Christine Hakim. Namun, keripik yang tidak ada hubungannya dengan artis terkenal itu, sekarang mulai ditinggalkan, karena ada yang bilang, sudah kurang enak (keras). Atas rekomendasi sopir, dan temen Natz (asli orang Padang) yang kita hubungi lewat telepon, mereka merekomendasi Keripik Shirley, yang notabene adalah adik dari pemilik Keripik CH. Memang masih ada tempat lain yang menjual oleh oleh khas Padang, namun tampaknya, untuk wisatawan, paling direkomendasi kedua ini karena lebih lengkap dan banyak pilihan.


Gue dan Natz belanja cukup banyak untuk teman kantor dan kita sendiri. Kalau untuk saudara biarlah menjadi urusan Papa dan Mama :_P

Masih mampir ke rumah teman Natz untuk mengambil rending untuk oleh oleh di Jakarta. Semuanya 5 bungkus, masing masing isi 5 rendang dan teman tersebut tidak mau dibayar. Sungguh kemurahan hati yang tak tanggung tanggung. Rendang dia beli di RM Asia Baru, karena di RM Selamat sudah kehabisan. Namun, rendangnya sungguh tak mengecewakan, kuahnya hitam dan rendangnya sangat gurih dan empuk. Duh.. Wuenak tenan deh pokokeeee…

Masih ada waktu untuk berkuliner ria. Sore itu, kita minta dimampirkan di Es Durian Padang. Atas saran teman yang tadi, lebih enak di ‘Ganti Nan Lamo’. Maka masuklah kita ke situ. Seberangnya dari toko itu, sebuah toko yang menjajakan es yang persis sama yang diberi tajuk, ‘Iko Gantinyo’. Keduanya meng-claim adalah yang asli, yang sudah berdiri puluhan tahun. Konon, Ganti Nan Lamo yang bener bener asli. Tapi mana yang lebih enak? Entahlah, cuma nyicip satu sih. Dan yang ini benar benar dahsyat :_P


Kita pesan 2 es durian tok dan 1 es durian. Bedanya es durian adalah es campur yang diberi juice durian yang diblender halus dengan toping susu kental manis cokelat. Kalau es durian tok, sesuai namanya, hanya es parut disiram juice durian dengan toping yang sama.

Abis dari sana, sudah sore, namun perjalanan ke Bandara hanya memakan waktu 1.5 sampai 2 jam, sehingga kita minta jalannya agak santai sehingga bisa menikmati suasana kota Padang sampai puas. Tapi, mungkin untuk menghemat bensin, Pak Syamsir malah mengajak kita ke jalanan yang macet :_(

Ada satu fenomena di jalanan kota Padang. Kalau kita perhatikan angkutan umumnya, terasa sekali nuansa ‘norak’ yang berbeda beda pada tiap kendaraannya. Yang gue suka adalah Metro Mini-nya yang dihiasi gambar kartun yang lucu lucu di seluruh badan kendaraan. Ini contohnya.


Sampai di bandara Minangkabau masih sekitar jam 4. Kesan pertama melihat bandara ini (di siang hari) sungguh menakjubkan. Bersih dan tertata rapi. Mirip bandara Juanda yang baru, namun agak sedikit lebih kecil. Pas masuk ke ruang tunggu, bapak yang menjaga bertanya begini, pas liat gue megang boarding pas AirAsia tujuan Jakarta, “dapat harga berapa” “375 ribu PP” reaksi dia kira kira seperti ini, “wah paling murah…” Mungkin dia sudah tanya beberapa orang dan kita ternyata yang paling murah :_P Karena murah juga kita semena mena digosar geser dari jam 10.30 ke jam 3 sore lalu ke jam 5 petang lalu baru benar benar terbang sekitar jam 7 malam (waktu pas berangkat dari Jakarta).

Di dalam ruang tunggu, ada 2 Airport Lounge yang bisa digunakan untuk bersantai. Namun, di Bumiminang, sangat terbatas kerjasama dengan kartu kredit. Hanya di Anugrah kita bisa masuk, namun hanya bisa dua orang (dengan kartu kredit Mandiri), sehingga hanya Natz dan Mamanya yang masuk. Kita semua menunggu di luar.

Boarding AirAsia, seperti biasa, rebutan lagi, dan seperti berangkat, kita dapat tempat duduk berenam sejajar lagi.

Well, itulah akhir perjalanan di Padang yang sangat padat dan memuaskan :_) Probably menjadi jalan jalan kita terakhir paling tidak untuk satu dua tahun ke depan. Sampai baby kami cukup besar untuk diajak jalan jalan, paling jauh mungkin kita hanya jalan ke Bandung atau Puncak. Papa sempat bergumam… “yah, ngga ada lagi Natalia Tour..”. Begilah, petualangan baru yang lebih seru menunggu di kehidupan AjNatz…


PADANG & BUKITTINGGI, 30 July – 2 Aug 2008

1 August 2008
Lembah Harau - Goa Ngalau Indah - Ngarai Sianok - Goa Jepang - Ford de Kock - Jam Gadang - Durian Padang


Sarapan pagi di hotel Dymens bukan prasmanan, melainkan pilihan antara nasi goreng, mie goreng atau omelet dengan roti. Hotel Dymens merupakan hotel yang sangat tidak baru lagi. Menurut Pak Syamsir, hotel ini dulu terkenal dan 1 dari sedikit hotel di Bukittinggi. Dengan majunya pariwisata dan banyak berdiri hotel baru, hotel ini kian tergusur. Sebut saja hotel Kharisma yang persis di seberangnya. Waktu kita mau booking untuk hotel itu, ternyata sudah penuh. Bandingkan dengan hotel Dymens yang (2 hari kita tinggal disana) kosong melompong. Hotel Dymens memang pilihan terakhir kita, karena hotel lainnya sudah terisi penuh. Tidak heran, sebab Padang dan Bukittinggi adalah salah satu tujuan wisata favorite turis dari Malaysia. Tiap hari, ada direct flight dari KL langsung ke bandara Minangkabau.


Tujuan pertama hari ini adalah Lembah Harau yang terletak di Kabupaten Payahkumbuh. Perjalanan sekitar 2 jam dari Bukittinggi. Cukup lelah, tapi begitu sampai disana, dijamin, semua kepenatan hilang sudah. Dari pinggir ladang ladang padi nan hijau, di kejauhan sana, bukit bukit batu menjulang tinggi, megah.


Kita ngga tau kenapa Pak Syamsir seperti mencoba ‘mengelabui’ kita bahwa hanya ada 1 air terjun. Untung kita bincang bincang sama penjual souvenir yang menjelaskan, total ada 3 air terjun di sini. Maka, sekali lagi kita harus ‘memaksa’ Pak Syamsir untuk mengantar kita ke sana. Dan ternyata, memang benar, masih ada 2 lagi di tempat yang tak kalah indahnya. Batu batu besar yang terbelah oleh terjangan air terjun setiap hari. Airnya jernih dan bersih sekali. Perasaan nikmat sekali berada di sana.


Yang unik disana, ada penginapan yang diberi nama Lembah Echo, yang dibangun oleh wisatawan Belanda, berupa rumah rumah terpisah yang bisa disewa. Dari sana, pemandangan memang sangat indah dan sejuk. Namun, untuk nginap disana, rasanya tidak recommended, soalnya, jauh dari mana mana, dan nyamuknya itu lho, ampunnnn.

Belum puas disana, sudah harus lanjut lagi, ke Goa Ngalau Indah. Sebelumnya mampir untuk makan siang nasi padang di Sari Rasa di kota Payahkumbuh. Tempatnya sih cukup nyaman dan sejuk karena ada saung saung begitu. Tapi makanannya payah, ngga ada yang bener, rasanya. Rendangnya keras, babatnya bau, dan makanannya pun rata rata dalam keadaan dingin.

Sampai di lokasi goa Ngalau, kembali terulang. Hanya diberi 2 tiket masuk untuk 6 orang @ Rp 3,000. Waktu diprotes, ibu penjual tiket malah marah marah, dan dengan gusar merobek beberapa karcis lagi ke gue. Total yang dia berikan 7 tiket. Rasain lu rugi Rp 3,000 he he he.


Goa Ngalau merupakan goa stalagtit dan stalagmit. Setelah menaiki beberapa anak tangga yang cukup tinggi, di depan goa sudah menunggu seorang tukang foto yang berperan seperti guide. Karena di dalam goa sangat gelap, maka ia memberi semacam kode untuk menyalakan lampu ke temannya. Namun, begitu masuk ke dalam, ngga lama lampunya mati. Terpaksa deh keluarin lampu HP Sony Ericsson yang terang banget.

Di dalam goa naik turun tangga buatan itu, ramai dengan suara kelelawar dan juga agak berbau. Di dalam goa ini, ada satu bagian bebatuan stalagtit yang mengeluarkan kilauan kilauan cahaya seperti permata. Mungkin terbentuk dari aliran air yang membawa mineral tertentu, sehingga menimbulkan efek berkilau. Di sudut yang lain, ada batu yang menyerupai wajah seorang ibu yang meratap, judulnya ‘batu ibu menangis’. Saingannya batu menangis Malin Kundang nih, hanya saja, ini ibunya yang menangis. Lucunya, pas kita lagi disana, tiba tiba dari balik kegelapan, muncul sosok berbaju putih dan kerudung putih. Di belakangnya, ikut seorang pria. Ternyata keduanya, yang masih berpakaian seragam SMU itu, ‘entah sedang ngapain’ di balik batu ibu meratap itu. Pantas saja ibu-nya meratap… sedih dengan kelakuan anak muda jaman sekarang.


Setelah selesai, kita menunggu si ‘guide’ kita itu mencetak foto yang tadi dia cepret. Kita sekeluarga di stalagtit yang berkilauan tadi, satu lagi yang didepan mulut goa. 2 foto dihargai Rp 40,000 sudah termasuk biaya guide :_)

Selesai dari sana, kembalilah kita ke Bukittinggi, untuk tujuan berikutnya. Dan ini yang sudah ditunggu tunggu, Ngarai Sianok! Ngarai Sianok letaknya di sekitaran Bukittinggi, di seberang hotel Grand Malindo, yang pengen kita booking juga, tapi penuh. Ngarai Sianok merupakan lembah menjulang beberapa puluh meter ke bawah, dengan parit parit kecil mengalir di bawah sana. Pemandangan yang membuat napas tertahan -> breathtaking view !


Yang unik dari Ngarai Sianok adalah sebuah goa yang digali oleh tentara Jepang, sebagai basis pertahanan, gudang amunisi sampai tempat penyiksaan tawanan. Ada tour yang di’guide’ oleh pemuda pemuda lokal. Goa Jepang itu masuk ke bawah dengan menuruni 88 anak tangga, di dalamnya cukup panjang dan berkelok kelok. Udara-nya pun adem, karena banyak ventilasi ventilasi yang mengarah ke ngarai sianok. Di masa mendatang, kabarnya, akan dibangun mal bawah tanah disini. Mengingat luasnya (panjangnya) goa ini, sejuk, dan kuat-nya konstruksinya, memang ide yang masuk akal. Renovasipun, kabarnya, dari dibiayai pemerintah Jepang, yang kabarnya lagi, untuk menutup jejak dari sejarah yang kelam waktu penjajahan Jepang di Indonesia. Untuk biaya guidenya cukup masuk akal, minimal dia minta bayaran Rp 20,000 saja, kita kasih Rp 30,000.

Saat masuk ke Goa Jepang, Natz ngga ikutan masuk dan duduk di taman disana, bersama ibu ibu pelancong dari Malaysia. Dari bincang bincang dengan mereka, ternyata ibu ibu itu sering datang ke Indonesia tepatnya ke Pusat Grosir Tanah Abang, berbelanja untuk jual lagi di negeri-nya. Dan mereka beberapa kali juga berkunjung ke Padang untuk refreshing. Ternyata baju murah di Malaysia (di Chinatown, misalnya) datangnya dari Indonesia juga. Persis yang diyakini Papa waktu berkunjung ke sana, January lalu.

Tiba tiba bubar, gara gara monyet monyet liar datang berebut kacang, waktu Natz lagi ngemil kacang. Memang disana banyak monyet liar yang tak segan merebut makanan pengunjung. “Awak jangan kaget kaget, awak kan lagi mengandung” pesan seorang ibu Melayu.


Disana juga dijajakan lukisan lukisan rumah adat minang dan jam gadang, dalam berbagai ukuran. Gue beli lukisan dalam piring yang hanya Rp 5,000. Selain itu juga banyak kaos dan sandal. Dipastikan, kaosnya tidak ada yang muat buat gue :_(

Ngarai Sianok memang luar biasa. Hari pun beranjak sore. Dan tujuan berikutnya adalah Benteng Ford de Kock yang satu lokasi dgn Taman Satwa.

Ternyata Benteng itu sangat tidak mirip benteng. Hanya bangunan 2 tingkat yang cukup kecil, dengan meriam di sekelilingnya. Diceritakan bahwa Benteng ini merupakan titik pertahanan terakhir pasukan Belanda yang dipimpin Gubernur Jendral Henrick Markus de Kock terhadap serangan dari pasukan Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1825. Disini juga menjadi satu dengan kandang kandang burung yang rata rata isinya cuma 1 – 2 burung yang tidak begitu menarik untuk dilihat.

Dari sana, berjalan kaki melewati jembatan Limpapen, masih di Taman Satwa, terdapat 2 ekor gajah, beberapa ekor tapir, unta dan juga rusa. Akhir perjalanan adalah tembus ke Pasar Atas, pusat belanja souvenir di kota Bukittinggi. Tak jauh dari situ, kira kira 5 menit berjalan, ketemulah Jam Gadang. Di Pasar Atas ini, kita beli sebuah CD lagu khas Minang untuk diputar di mobil.

Seperti malam sebelumnya, Jam Gadang tetap ramai, apalagi hari itu hari Jumat dan masih sore. Waktu bingung mau makan apa malam itu, gue iseng nanya ke pengamen yang kebetulan nyamperin kita. “Makanan yang paling enak di Bukittinggi apa?” dijawab cepat dan lantang, sambil menunjuk ke arah Plaza Bukittinggi yang tepat di seberang Jam Gadang, “KFC !!” lho lho lho lho… Maksudnya makanan khas Padang. Baru deh mereka menyebut RM Selamat, yang juga tak jauh dari situ.


Namun, di RM Selamat, yang belakangan kita tau rendangnya sangat khas, ternyata sudah kehabisan. Memang, laku banget, dan pesanan untuk bawa pulang (ke Jakarta, misalnya), harus dipesan paling tidak sehari sebelumnya. Maka, malam itu, kita makan di RM Simpang Raya, yang juga masih di sekitaran Jam Gadang.

Setelah kembali ke Hotel dan menyegarkan diri, malamnya, karena ini malam terakhir di Bukittinggi (dan malam terakhir perjalanan kita), tentu tak mau melewatkan untuk mencicip durian padang. Dan kios lapak berjualan durian sangat mudah ditemui di sekitaran hotel. Di salah satu lapak itu, setelah tawar menawar, akhirnya kita beli hanya 2 karena ternyata peminatnya sedikit, pada takut makan duren dan hanya nyicip. Ya, tidak terlalu istimewa, tapi yang namanya duren, ya pasti enak lah ya… :_P


PADANG & BUKITTINGGI, 30 July – 2 Aug 2008

31 July 2008
Padang - Lembah Anai - Rumah Adat Minang - Sate Mak Syukur - Danau Maninjau - Danau Singkarak - Jam Gadang (Bukittinggi)


Hari kedua di Padang, tulisan ini untuk melengkapi tulisan yang sudah pernah di-posting “Padang – Bukittinggi, perjalanan yang tiada bosan bosannya”.

Hari ini gue bangun pagi sekali, sekitar jam 6. Sekaligus membangunkan Papa yang memang berpesan untuk dibangunkan. Biasa, Papa dan Mama, yang masih pakai sweater, jalan jalan di sekitaran pantai sambil shooting handycam. Natz dan Mama langsung terjun berenang dan sesaat kemudian gue menyusul. Air-nya hangat, sehingga harus selalu di dalam air, kalau keluar dari air langsung berasa angin pagi yang masih sangat sejuk. Terdengar seorang ibu membujuk anaknya untuk berenang dalam logat Minang yang sangat kental, “nda dingin aek-nyo, angek.. angek..” Byuurrr….


Makan pagi sekitar jam 7.30 pagi. Makanannya cukup beragam, dari bubur ayam, mie goring, telor, prasmanan nasi, sampai kue kue jajan pasar. Untuk 1 kamar yang lebih dari 2 tamu hanya dikenakan charge Rp 30,000 untuk makan sepuasnya.

8.30 keluar untuk check-out dan menemui pak Syamsir yang sudah menunggu. Perjalanan hari ini pun dimulai, menuju Bukittinggi, dan Lembah Anai menjadi tujuan pertama karena terletak di jalan menuju Bukittinggi, tepatnya di pinggir jalan Padang – Padang Panjang.

Menjelang sampai di Lembah Anai, kita mampir di sebuah tempat bernama Puncak Kiambang. Dari puncak bukit ini, bisa melihat sawah nan hijau dibawahnya, dengan rumah rumah saung diantara hijau-nya padi, dan gunung yang menjulang di awan awan kejauhan sana. Menikmati pemandangan seperti ini, serasa sayup sayup terdengar lagu yang didendangkan Katon, “Negri di Awan”.


Lembah Anai yang terkenal dengan air terjunnya sudah ramai ketika kita sampai. “Hanya” Rp 1,500 per orang untuk masuk lebih dekat ke air terjun. Air-nya sedang deras, dan di dekatnya terasa percikan air yang hangat. Tak jauh, terlihat jembatan rel kereta api yang dibagun dari jaman Belanda, yang kini sudah di-‘terbengkalai’kan. Yang menarik, ternyata banyak wisatawan asal Malaysia disini. Tadinya ngga ‘ngeh’, hanya mendengar wanita wanita berjilbab menggunakan bahasa Melayu-nya Malaysia. Mengira itu logat salah satu daerah sekitaran Padang. Ternyata, sepanjang panjang tempat kita singgah di Bukittinggi ini, selalu ada rombongan dari negeri jiran itu.


Berikutnya, yang tak kalah serunya, yang selalu terngiang ngiang di kepala gue kalau teringat akan segera ke Padang, adalah Rumah Adat khas Minangkabau atau dikenal sebagai Rumah Gadang. Rumah Gadang adalah sebuah rumah panggung yang besar dengan atap yang lancip menyerupai tanduk banteng. Rumah Gadang yang kita kunjungi ini memang dijadikan pusat informasi kebudayaan adat Minangkabau.

Dijelaskan, rumah ini adalah bekas rumah raja jaman dulu, berisikan 7 kamar untuk masing masing anaknya yang sudah dimenikah. Anak pertama yang menikah akan menempati kamar yang paling kanan. Begitu anak kedua menikah, anak kedua tersebut yang menempati kamar bekas kakanya dan kakaknya pindah ke kamar yang kedua dari kanan. Begitu seterusnya. Sampai di paling kiri, bila masih ada adiknya yang menikah, maka si sulung ‘terpaksa’ meninggalkan rumah itu dengan mendirikan rumah gadang yang baru. Dengan demikian, memberinya waktu yang cukup lama, untuk ia mengumpulkan uang, sampai ia tak mendapatkan kamar di rumah tsb.


Rumah seperti itu sangat sejuk, banyak jendela, letaknya tinggi dan atapnya yang khas membuat rumah itu banyak sekali ruang untuk udara. Bahannya semua dari kayu. Dengan ornament bunga bunga dan warna warni cerah khas masyarakat Minang. Rasanya betah lama lama disana dan tak puas puasnya berfoto, karena tiap sudut, terlihat sangat menawan.


Tiba tiba, seorang ibu yang bertugas disana minta perhatian, “Ayo, mau ikut lihat bunga bangkai??” Hah? Ada bunga bangkai, bunga ukuran raksasa saingannya Raflesia Arnoldi itu? Wah, sebuah kesempatan yang amat langka. Letak bunganya ada di belakang dekat hutan. Ternyata memang bau bila berada dekat dengan bunga itu. Fungsinya, untuk menarik lalat dan serangga yang lainnya untuk masuk, dan bila sudah masuk, sudah tentu tak bisa keluar lagi dan menjadi santapan lezat sang bunga. Bunganya sangat besar, berwarnanya ungu kebiruan, dan tengahnya menjulang tinggi melebihi tinggi manusia.


Lepas dari situ, sudah mau tengah hari, perutpun sudah mulai terasa lapar. Dan kebetulan tak jauh dari situlah, letaknya Sate Mak Syukur yang termasyur itu. Beda sekali dengan perkiraan gue sebelumnya. Tadinya gue pikir Sate Mak Syukur ini di dekat pasar, dijual di atas gerobak (seperti layaknya sate padang di Jakarta) dan dijajakan oleh seorang ibu renta bernama Mak Syukur :_P

Ternyata ini adalah sebuah tempat makan yang cukup besar dengan lapangan parkir yang luas pula. Sate-nya per porsi ‘hanya’ Rp 6,000. Isinya daging sapi dan lidah sapi yang direbus sebelum ditusuk dan dibakar. Saosnya, seperti halnya makanan padang yang lain, terbuat dari santan yang sangat kental. Tidak ada makanan lain selain sate disana, sehingga siang itu, makan siang gue tak lain hanya lontong dan tempe goreng. Kan gue sudah berkomitmen ngga makan daging. Walau begitu, gue mencicipi kuahnya, yang menurut gue, lebih hambar dan tidak lebih enak dari sate padang yang dijual si uda yang mangkal di Perum Citra II. Natz pun setuju.


Danau Maninjau adalah tujuan berikutnya. Namun sebelum sampai disana, diantara jalan yang berkelok kelok, kita minta dimampirkan di sebuah tikungan yang diberi nama Bukik Indah. Darisana bisa melihat pemandangan bukit yang dibawahnya terdapat sawah, dan rumah rumah penduduk termasuk sebuah mesjid yang cukup mencolok, berwarna hijau. Bukik Indah adalah tempat jualan souvenir seperti gantungan kunci dan kaos.

Setelah beberapa kelokan jurang jurang bukit barisan, sampailah kita di kios kios dan lapangan, yang kalau turun ke bawah, dari situlah kelihatan Danau Maninjau. Air Danau Maninjau tenang sekali, saking tenangnya membentuk cermin, seolah olah melihat 2 bukit di garis horizontal. Indah sekali. Disitu, Natz membeli baju bergambar Jam Gadang, siap siap untuk foto di Jam Gadang beneran nanti. Sementara gue, ngga ada ukuran yang muat. Bajunya kecil kecil.


Untuk benar benar turun ke pinggir danau, harus melewati kelok 44 (dibaca: kelok ampek ampek). Inilah yang terkenal, yang ada diblog blog penjelajah Maninjau. Kelok 44 berupa tikungan sebanyak 44 tikungan yang sangat tajam dengan pinggiran jurang, untuk sampai di pinggiran danau. Makanya kita memutuskan untuk ngga meneruskan sampai ke bawah. Sampai sejauh ini aja Papa sudah ngeri, dan Natz, sudah mau mual mual.

Masih ada waktu karena tidak menuruni kelok 44, kita memutuskan lanjut ke Danau Singkarak. Tadinya, habis dari Maninjau diperkirakan sudah cukup sore untuk langsung ke Bukittinggi, have dinner, lalu beristirahat. Danau Singkarak terletak di Kabupaten Tanah Datar, yang artinya kembali lagi kea rah Padang dan menjauhi Bukittinggi.

Pak Syamsir mengantar kita ke suatu tempat yang cukup lapang, dengan lapak lapak kopi di pinggir jalan. Dan dari salah satu lapak itu bisa melihat danau Singkarak. Tapi, sungguh ngga puas melihat Singkarak dari situ, pasti ada tempat lain. Namun, keliatannya Pak Syamsir seperti enggan mengantar, entahlah sebabnya apa. Setelah didesak dan agak memaksa untuk mengantar ke tepian Singkarang, akhirnya dia mau juga. Dari blog lain, kita mengetahui ke tepian Singkarak tidaklah sesulit Maninjau.

Benar saja, dari tempat lain ini, di tepian Singkarak terasa sekali suasana ‘laut’. Ada kapal, pasir, angsa, dan ombak. Ia, danau Singkarak bukan danau yang tenang seperti ‘saudara’nya Maninjau. Atau seperti danau Toba. Danau ini berombak, berpasir dan berpohon kelapa. Seperti main di tepian laut. Disinilah, saat gue dan Natz main ayunan layaknya masih pacaran, tiba tiba datang 2 anak kecil dan bermain bersama kita. Nama 2 gadis cilik bersaudari itu Niken dan Tini.


Untuk masuk ke sini, dipungut biaya masuk sebesar Rp 2,500 saja perorang. Tapi untuk 6 orang yang masuk hanya diberi tanda masuk 2 lembar. Ketika ditanya, kalau diperiksa gimana. Dijawab dengan entang, “ngga ada yang meriksa”. Lumayan Rp 10,000 masuk ke kantong sendiri. Inilah Indonesia.

Hari sudah agak sore dan diperkirakan akan sampai Bukittinggi pas jam makan. Setelah melewati kelok kelok yang tadi, sampailah kita di kota Bukittinggi. Disana, langsung menuju hotel Dymens yang memang sudah dibooking. Sebentar melepas penat dan mandi, kita ke Rumah Makan Uni Cha, Nasi Kapau. Disini rendangnya agak beda, lebih kering, lebih hitam, lebih mantap dan diberi kacang merah. Memang nasi kapau, yang khas Bukittinggi, agak berbeda dengan nasi padang, yang khas …, ya Padang.


Malamnya, sudah tentu tak sabar ingin segera melihat Jam Gadang yang terkenal itu. Dari hotel Dymens kira kira 10 menit dengan mobil. Sampai di Jam Gadang persis jam 7 malam. Suasana sangat ramai dan langit belum begitu gelap. Jam Gadang ini dibuat semacam alun alun, dimana orang bebas duduk duduk, jalan jalan santai, bermain dengan anak, pokoknya kegiatan yang santai.


Kembali ke Hotel Dymens, gue dan cece pergi mencari warnet. Cece ada urusan kantor kayaknya. Dan gue ada keperluan lain. Yaitu membuat postingan perjalanan hari ini segera diblog gue, supaya bisa ikutan lomba blog bertema “Liburan bersama Kijang Inova” yang ditutup hari itu, persis 31 July 2008. Kebetulan memang perjalanannya menggunakan Kijang Inova tipe V, yang harus diakui, memang sangat nyaman. Bahkan seorang teman (Roy) pernah menyinggung, bahwa Inova lebih nyaman dari CRV, ketika kita sama sama tugas di Lampung beberapa waktu lalu. Di Lampung, setiap hari menempuh jarak lebih dari 50 KM, PP pula. Kadang dengan CRV kadang dengan Inova dan kadang dengan yang lain. Dan menurut Roy, Inova yang paling nyaman dan paling ‘empuk’.

Hari itu sangat lelah, dan sangat senang juga. Terlalu banyak kesenangan dalam satu hari. Besok, ada petualangan lain lagi menunggu.

PADANG & BUKITTINGGI, 30 July – 2 Aug 2008

30 July 2008
Balada Pencari Penerbangan Murah


Tak layaknya orang yang mau berangkat jalan jalan. Hari ini masih bangun siang, baju dan perlengkapan bepergian belum selesai di packing. Papa aja masih sempat ke Pasar Pagi belanja untuk jual di Bangka. Penerbangan kita ke Padang hari ini ngga tanggung tanggung sorenya: Jam 17.15. Belum delay-nya, karena, biasanya pesawat jam segitu sudah bisa dipastikan delay. Apalagi AirAsia ! (baca: penerbangan murah).

Jam 16.00 kita sudah berada di Terminal 1A Bandara Soekarno Hatta. Papa dan Mama Aj, Cece Aj, Mama Natz dan Aj & Natz (berenam) bersiap menuju Padang. Di counter AirAsia, si Natz diminta tandatangan surat pernyataan dulu sebelum boleh check-in. Intinya, kalau terjadi apa apa dengan kandungan-nya, pihak penerbangan tidak bertanggungjawab. Okelah, itu memang konsekuensinya ibu hamil ikut terbang.


Setelah check-in langsung ramai ramai masuk ke JW Lounge. Semua kartu kredit pun keluar :_P Akhirnya hanya 5 orang yang bisa masuk dengan fasilitas kartu kredit. 1 lagi terpaksa bayar Rp 50,000. Untung semua masuk Lounge, karena pesawat ternyata delay sampai jam 18.00 lewat. Jam 18.00 pesawat-nya baru mendarat, dari Malaysia. Makanya pas boarding, semua diangkut dulu pake bus, ke terminal 2 (internasional).

Walaupun pesawatnya penuh, untunglah Papa dan gue cepet boardingnya, jadi bisa ngambil 6 seats yang sejajar, biar enak ngobrol dan oper operan makanan :_P

Mendarat di Bandara Minangkabau di Padang Pariaman sudah malam. Sekitar jam 21.00. Dan Kota Padang, bukan kota yang hidup di malam hari. Jam 10 malam aja sudah seperti kota mati. Apalagi ada pemadaman listrik berkala setiap 2 jam, sepanjang perjalanan silih berganti daerah yang terang dan yang gelap. Sehingga, makan malam menjadi tidak ada banyak pilihan. Pak Syamsir dari Ermi Tour yang menjemput kita, membawa kita ke tempat makan nasi Padang. Ermi Tour memasang tarif yang sangat kompetitif, untuk sewa mobil Kijang Inova include bensin dan sopir, 1 hari (tanpa batasan jam) ‘hanya’ Rp 475,000. Malam itu, karena hanya jemput di airport, makan malam, lalu ke hotel, tarifnya Rp 300,000.


Semua peserta puas dengan makan malam pertama di Padang. Rendangnya mirip di Sinar Minang (Halte Busway Grogol). Harganya pun sangat masuk akal, Rp 137,000 sudah termasuk makan sopir. Nama tempatnya “Rumah Makan Bernama, Asli masakan Lelek” Jangan tanya, artinya apa, pegawainya saja ngga ada yang tau.

Setelah puas makan, kita diantar untuk check in ke Hotel Pangeran Beach ****. Hotel yang persis berada di hadapan Pantai Padang ini merupakan satu satunya hotel Bintang 4 di Padang. Dan kita menginap di sini karena last choice, hotel di kelas yang lebih bawah sudah pernuh dibooking semua lantaran masih penghujung liburan sekolah. Setelah meletakkan barang, kita kembali turun ke lobby dan menemui Pak Syamsir. Itinerary pun disepakati untuk 2 hari ke depan – Bukittinggi dan sekitarnya.
Setelah selesai, kita berjalan ke belakang hotel, menengok seperti apa sih Pantai Padang? Debur ombak langsung terdengar dan tercium bau air laut yang mengingatkan gue akan aroma kampung halaman gue yang dikelilingi laut. Malam itu, walaupun samar samar karena gelap, ombak terlihat cukup besar dan agak menyeramkan. Kalau browse di internet mengenai hotel ini, pastilah keindahan sunset pantainya yang ditonjolkan. Terbersit kekesalan ke AirAsia yang me-reschedule penerbangan kita dari jam 10.30 menjadi 15.00 dan terakhir menjadi 17.15 yang realitanya terbang jam 18.45. Kesal, karena sudah menginap di hotel yang tarifnya lebih mahal, tapi keindahan yang mustinya bisa dinikmati terpaksa terlewatkan oleh schedule yang seenaknya digeser geser.

Akh, sudahlah, namanya jalan jalan hati harus gembira, tidak boleh ada bad mood apalagi kesal. Besok pagi, mau berenang di kolam renang-nya yang berair hangat, setelah itu mau menikmati breakfast sampai puas.