28 September 2007

Lima Tahun Yang Lalu

Lima tahun lalu adalah hari yang paling menyedihkan bagi gue. Lima tahun setelah kejadian itu, baru gue merasa cukup kuat untuk menulis ini. Tahun lalu atau tahun tahun sebelumnya, pastilah akan berlinangan air mata.

Deddy Surya Chandra, 21 September 1986

Gue inget ketika dia lahir, umur gue baru 8 tahun. Sejauh itulah perbedaan usia kami. Sore itu, ketika dia lahir, matahari kembali menampakkan sinarnya setelah seharian mendung. Itulah asal muasal nama "Surya". Sedangkan Deddy, biar enak aja dipanggil "dek", karena dia emang adik kami yg paling kecil.

he's a miracle
Mama berumur 36 tahun saat hamil Deddy, suatu umur yang cukup rawan untuk hamil dan melahirkan pada saat itu. Apalagi kami tinggal di desa, kampung, yang jauh dari dokter, apalagi peralatan medis yg canggih. Apalagi, sebenarnya, papa dan mama tidak berencana punya anak lagi, setelah anak ke-3 (gue) lahir. Papa dan mama ikut program KB setelah melahirkan gue. Gue ngga jelas KB jenis apa, waktu itu gue ngga cukup gede untuk nanya, lagipula gue belum peduli begituan. Yang jelas, gue di plot sebagai anak terakhir, anak bungsu. Tapi keajaiban Tuhan tiada yg tahu. Dan Papa dan Mama menerima keajaiban itu dengan penuh suka cita, lagipula, mereka memang sudah kangen dengan tawa tangis seorang bayi, setelah 8 thn gue ngga ‘nggemesin’ lagi hehehe… That day when he was born, ketika mendung menjadi terang sore itu, gue teringat akan ‘keajaiban’, bahwa dia akan membawa terang dan keceriaan kepada keluarga kami di kala mendung.

Masa kecil Deddy tidak seperti anak lain yg relatif lebih berkecukupan. Kami pindah ke Jakarta ketika umurnya baru berumur 5 tahun, lagi lucu lucunya. Pada saat itu Papa masih struggle untuk hidup yang lebih layak di Jakarta. Seperti gue dan kakak2 kandungnya, sepulang sekolah, kami harus membantu papa dan mama dengan usaha mereka di rumah. Deddy baru punya tetris dan sega sekitar kelas 5 SD, sebelumnya, hanya tau dari teman. Kami bahkan ngga pernah merayakan ultah, kecuali bareng keluarga sendiri. Dan makan Kentucky adalah suatu kemewahan. Tapi itu sama sekali tidak membuat kami murung, we have each other. Apalagi gue sama Deddy, selain berusaha menjadi koko terbaik, gue dengan dia ngga ada batasan, seperti 2 anak kecil, bercanda, saling ngatai, sampai melorotin celana segala.

Terbaik sekaligus teriseng
Gue inget, suatu ketika waktu Deddy masih umur 5 atau 6 tahun, rumah kami di Krukut tempat tidurnya di atas, dan kamar mandi (WC) Cuma 1, di bawah. Deddy bukan anak penakut, dia berani turun ke bawah sendiri. Suatu malam, gue iseng ngangetin Deddy, dia ngga tau kalo gue ada di bawah, pas dia abis kencing dan naik ke atas dan masih ditangga, gue muncul di belakangnya dan teriak “waaaaa!!!!”. Dia kaget bukan kepalang, pengen lari ke atas, namun kemudian menoleh (mungkin karena mendengar yg “waaa” suaranya familiar), menangis dan kemudian turun dan langsung gue peluk… Ada perasaan lega karena yg “waaa” ternyata kokonya sendiri, dan gue punya perasaan bersalah begitu isengnya, gue bikinin air gula untuk menenangkan dia. Malam itu, gue berasa jadi koko yang baik, sekaligus paling iseng sedunia. Begitulah, si Deddy juga begitu iseng, namun tumbuh menjadi orang yg bijak, tempat curhat di antara temen temannya. Hampir tiap hari, ia menerima telepon lalu dengan sok tua ia menasehati teman temannya dengan kata kata bijak. I’m proud of him.

Deddy, Dody, dan Deddod
Ketika Papa dan Mama kembali ke Bangka untuk membuka kembali toko kelontong disana, kira kira umur Deddy 15 tahun, gue dan Deddy sering dimintai tolong untuk berbelanja stock pakaian di tanahabang. We call it “ta” (dengan huruf kecil). Kalau ditanya, mau kemana, “mau ke ta”, oh.. Taman Anggrek?? Bukan.. tanahabang… he he he.
I used to call him “Deddod” ketika dia agak gedean spt saat saat ini. Instead of “dek” spt didesign oleh Papa dan Mama dan kita kakak kakaknya pada saat memberi dia nama. Dan itu kebawa ke tanahabang, ketika berdiskusi di depan penjual dan pemilik kios di sana. Gue manggil Deddy “dod” dan dia memanggil gue “ko”. Dan ketika deal, si penjual akan nanya “Namanya siapa ko?” ketika dia mulai menulis nota. Gue jawab “Deddy”. Dari situ, hampir semua penjual langganan kita memanggil gue Deddy, nah lho?! Logikanya, gue adalah Deddy, seperti nama yg mereka tulis di nota, dan Deddy, mungkin mereka anggap bernama Dody or something, karena gue panggil “dod”, dan Deddy ngga pernah menyebut nama gue, hanya “ko”. Begitulah, sampai terakhir terakhir gue ke sana pun, ketika Deddy sudah ngga ada, supplier supplier lama masih memanggil gue “Deddy”, dan membuka nota masih dengan nama “Deddy”. Mama sampai berpesan, jangan tulis nama Deddy, nanti Papa-mu sedih…

If I could turn back time, I’ll go wherever you will go
Ngga ada yg tau persis apa yang terjadi malam itu. Deddy pergi dan ngga pulang lagi… belum genap janji gue untuk bikinin dia SIM untuk menggenapkan hadiah ultah Papa berupa motor Honda Supra X terbaru. 24, 25 dan 26 September 2002, pencarian kami berujung di RS Ciptomangun Kusumo. Deddy, korban perampasan motor dengan pembunuhan, yg sampai hari ini ngga ada yg tau siapa pelakunya… Gue begitu sedih, nangis, marah dan begitu bersalah dan bukan koko yg baik, Ngga bisa melindungi, ngga bisa menjaga… Andai gue ketemu itu pelaku akan gue cabik cabik dan gue iris kecil kecil,,, ngga ngga,,, gue lebih berandai ketemu Deddy, berandai semuanya ngga berubah, semua seperti dulu lagi. Seperti lagu The Calling, gue akan pergi kemana Deddy pergi dan melindungi dia. Sampai hari ini, gue ngga berani denger lagu itu kalo ada orang, takut ngga kuat menahan air mata. Dan gue juga salah mengenai satu hal, ternyata gue masih ngga kuat menahan air mata setelah 5 tahun berlalu…

Deddy Surya Chandra, 21 September 1986 - 24 September 2002
Cece kira kira pernah menulis begini, bukan tahun berapa orang lahir, atau tahun berapa orang dipanggil yang dikenang. Namun garis setrip di antara kedua tanggal tersebutlah yang paling dikenang. Garis setrip itu representasi dari hidup seseorang, ceritanya, tawanya, sedihnya, cintanya, bencinya, kebahagiaannya dan penderitaannya. Di dalam garis setrip itulah terdapat kisah gue dan Deddy dan for sure, di dalam garis setrip gue juga ada hal yg sama.

Untuk mengenang Deddy, setiap tahunnya, yg kebetulan dekat hari ultahnya, sejak 3 tahun lalu, selalu gue belikan sesuatu yang bernuansa rohani. Hari Minggu yang lalu, tanggal 23 Sep 2007, barusan kita merayakan ultah Deddy yang ke 21 di Pondok Rangon. Sayang tahun ini tidak bisa merayakannya bersama Papa dan Mama, seperti tahun tahun sebelumnya.

2005, ultah ke 19 – patung Bunda Maria
2006, ultah ke 20 – patung Yesus
2007, ultah ke 21 – Lukisan Potret Perjamuan Terakhir
2008, ultah ke 22 - Patung Noah's ark
2009, ultah ke 23 - Pohon Natal kecil


Garis strip si Deddod

21 September 1986
Born to the world. You should see his picture when he's under one year, real cute. Watch him grow, jagain dia tidur, ayunin dan nyanyiin dalam ayunan, merangkak, duduk, duduk jalan, sampai dia berlari. Kita pernah menjuluki dia kaki terompet, sebab setiap kali kegirangan, kakinya bergerak gerak seperti terompet. Itu waktu Deddy baru bisa duduk.

Pernah juga Deddy gue ceritain kisah tentang kelahiran Yesus, menjelang Natal. Mungkin waktu itu umurnya 3 atau 4 tahun. Gue ceritain dengan ilustrasi gambar (sambil cerita sambil gambar) dan Deddy menyimak dengan saksama lho. Dia keliatan antusias banget dengan cerita itu.

1991 - 5 years old
Masuk TK Santa Agnes. Gue inget hari pertama Deddy sekolah, dia nangis di tempat duduk belakang sepeda, diantar sama pembantu, kakinya diikat ke depan, supaya ngga terluka kena roda. Gue ngga inget kenapa dia menangis, mungkin takut ditinggal (hari pertama sekolah). Waktu itu kebetulan di sekolah gue (SMP St. Yoseph), lagi ada persiapan acara apa gitu, so, gue bisa keluar dan tengokin. SMP, SD dan TK satu kompleks sekolahan. Trus gue juga lupa gue ngomong apa buat nenangin, yang gue inget cuma abis itu Deddy ngga nangis lagi.

Tahun itu juga kita sekeluarga pindah ke Jakarta dan tinggal di Krukut (Jl. Keutamaan Dalam No.2 RT 013 RW 03 Kota, Jak-Bar). Papa buka konveksi di rumah. Deddy masuk TK Tri Ratna, sekolah Buddhis, di belakangnya Gajah Madah Plaza. Waktu itu masuk TK 0 kecil, dengan janji dari sekolah, kalau dia bagus, bisa langsung kelas 1, sebab di Bangka sudah TK 0 besar 3 bulan. Di sini kita jemput Deddy pake jalan kaki, soalnya sekolahnya ngga jauh jauh amat. Juga ngga deket deket amat lho. Naik Bajaj kalo pinter nawar bisa lah 500. 500 waktu itu jangan dikira murah, jaman itu 500 dapet bakmi semangkok lho. Bandingkan jaman sekarang bakmi semangkok 5000 ngga dapet kan? Waktu itu emang sering jalan, ke Gajah Mada Plaza aja kita jalan dari rumah. Ke Kentucy yang di Hayam Wuruk atau ke Kedai Murah dan Baik (di bawahnya Kentucky – skrg entah ganti apa namanya), kita juga jalan kaki. Ohya, dulu kalo ngajak Deddy ke Mall, bilangnya ke tempat yang sejuk he he, maklumlah pas pertama menginjak Jakarta, Deddy tuh kepanasan sampe lehernya bintik bintik (keringet malam).

Ini yang gue inget waktu Deddod di Tri Ratna:
- ada gurunya yang dia juluki wajah harimau (lofu mien) karena mukanya mirip serial Beauty & the Beast yang dulu pernah puter di RCTI (Linda Hamilton).
- Pernah suatu hari, gue jemput kok ngga muncul muncul ni anak, ternyata gurunya kasih tau, Deddy lagi di toilet cewe. Nah loh? Ternyata dia boker di celana, dan sama gurunya (cewe) dimasukin toilet cewe untuk “meneruskan” dan “membereskan”. Deddy ini memang pada umur itu diam, pemalu, mungkin karena anak baru di antara anak anak lain yang udah culture Jakarta.
- Pernah dicium sama temen sekelasnya yang cewe, kalo ngga salah namanya Linda. Sampe Papa-nya bilang gini, “Linda, ngga boleh cium Deddy, dia kan cowo.” Hahaha, Deddynya mah cool cool aja ngga ngerti.
- “Kura Kura Binatang yang Bulat, dapat berjalan tetapi sangat lambat” adalah hafalan yg sering Deddy hafalin.
- Agar lancar berbahasa Indonesia, Papa menganjurkan kita sering sering bahkan selalu ngomong Indonesia ke Deddy, yang kebawa, sampe sekarang. Waktu Deddy udah gede, udah SMP, sampai Papa mau memberi denda kalau kita pakai bahasa Indonesia di rumah he he. Bahasa leluhur di lestarikan dong..
- Pernah juga suatu hari deket ultahnya gue ajak ke Pasar Baru, beli mainan biar dia pilih sendiri. Perginya bedua naik angkot. Disana dia pilih sendiri mainannya, dan tau diri bener, ngga beli yang mahal mahal yang Kokonya ngga mampu he he. Waktu itu beli mainan mobil mobilan.

1992 – 6 years old
Seperti janji gurunya waktu TK, Deddy langsung kelas 1. Disini gue inget banget, banyak banget pelajaran Budhis yang diajarkan. Tri Dharma, Tri Pitaka, dll deh. Saking seringnya bantuin Deddy belajar, gue sampe hapal tuh keturunan Budha, kitab kitabnya dll (tapi sayang sekarang udah lupa semua).

Belum sempet setahun di sini, kita sekeluarga pindah lagi ke Villa Kapuk Mas II Blok F6 Selatan No 9, Kapuk, Jak-Ut. Dan Deddy pindah ke sekolah yang lebih dekat. SD Stella Maris, sekolah Katholik di daerah Teluk Gong (Jalan Lele). Di sini, sekolah sampai tamat kelas 6 dan punya banyak teman. Di lingkungan rumah sendiri, juga banyak temannya yang rata rata tuh orang Medan sampai Deddy mengerti bahasa Medan, sayang ngga bisa ngomong. Dulu itu, kita 4 bersaudara tidur dalam 1 kamar. 1 ranjang susun dan 1 ranjang yang bisa ditarik bawahnya. Totalnya 4 ranjang. Yang tidur di ranjang susun atas gue, dibawahnya cece. Deddod di ranjang satunya. Khioko di ranjang yang ditarik itu (dibawah ranjang Deddod). Pada saat ini Papa masih usaha konveksi dan dalam keluguan dan keceriaan masa kecil, Deddy ikut membantu membuang benang atau apa yang bisa dia bantu. Kadang sampai malam jam 9 sambil nonton film, lalu tidur.

Rumah ini hanya 1 lantai, dengan bagian belakang dedicated untuk konveksi, ada meja potong segala (meja potong: meja untuk menyusun kain, lalu kainnya dipotong sesuai pola yg dikehendaki, kira kira 1.5 m x 4 m). Pernah juga Papa membuatnya menjadi 1 ¼ lantai, dengan membagi 2 ruangan tempat jahit. Di atas terdapat kamar gue dan Khioko, di depannya ruangan tamu yang juga dedicated untuk karaoke (ada TV 29 inch dan perangkat karaoke). Hanya saja, karena sangat pendek (plafonnya bisa kepegang dengan melompat sedikit), kamar dan ruangan itu jadi panas banget. Jadinya gue lebih sering tidur di luar daripada di kamar, ngga tahan panasnya, walaupun bagian luar juga panas dan banyak nyamuk. Deddy juga akhirnya nemenin tidur disitu. Untuk menyiasati panas, pake kipas angin, untuk nyamuk, kita anti pake autan. Kita beli Hit elektrik yang biasanya gue taroh deket deket Deddy, karena kasian, dia yang paling diincer nyamuk.

Somewhere di tahun itu, ada film TOYS STORY. Dan Khioko ngajak kita nonton itu. Deddy sih sebenarnya yang dibayarin nonton, dan gue yang nemenin, Khioko mah pergi jalan jalan (nganterin doang dan bayarin sih he he). Kalau liat si James (anaknya Khioko nonton DVD Toys Story suka keingetan Deddy waktu masih kecil).

Waktu gue SMA dan mulai naik motor ke sekolah, Deddy dan Cece 2-2nya nebeng gue sampai ke depan. Deddy gue anter sampe deket empang, tempat dia menyeberang ke sekolahnya pakai perahu getek. Lucunya, kadang si Deddy ini ngga bayar, karena nebeng dengan orang orang lain yang nyeberang juga. Nah, suatu kali, Deddy naik sendiri dan kebetulan ngga bawa duit. Dengan cueknya dia tetep naik dan ngga bayar, sampai abangnya nyindir gini, “wah ini kucing, enak banget, ikut ke sana kemari ngga bayar”. Kebetulan memang ada kucing di dalam perahu si abang. Dan waktu cerita, Deddy sama sekali ngga memperlihatkan dia berasa disindir, dia tetep takin kalau itu abang emang ngomongin kucing. Tapi memang abangnya udah kenal dia, wong tiap hari lewat. Si abang ngga marah kok. Seringkali juga, kalau belum telat, gue nganterin Deddy sampai ke sekolahnya, kadang suka kasian juga dia harus naik getek.

1998 – 12 years old
Masuk SMPnya Stella Maris juga. Disini gue inget kalo gue melulu yang ngambilin raport dan hadir dalam pertemuan orang tua murid mewakili papa dan mama yang seringkali sibuk. Tapi gue jadi tau, kalau Deddy ini di sekolah cukup nakal dan cukup cerewet, dengan prestasi yang cukup bagus pula. Ngga jauh berbeda dengan gue lah. Beda dengan kakak kakak kita yang langganan juara 1 dan murid teladan, gue dan Deddy prestasi juga nakalnya biasa biasa saja.

Deddy juga anak yang cukup popular di sekolahnya. Dengan body begeng yang lagi ngetrend saat itu, kumis yang tipis, dan wajah yang memang ganteng, banyak juga yang tergila gila sama dia. Tapi cintanya cuma sama 1 cewe, Mega Silvia, temen sekelasnya. Perihal ini, Deddy pernah curhat ke gue, kalau cewe itu kok susah ya dimengerti. Hubungan Deddy dengan Mega didn’t work out, karena, katanya, Deddy kurang ‘dewasa’ masih ‘kanak-kanak’. It’s a funny thing… toh sebenarnya mereka memang masih ‘anak-anak’, masih SMP, masih kencur…

Di dalam kompleks sekolahan itu ada Gereja yang biasa dipakai misa Sabtu Minggu atau misa lainnya bagi umat Katholik. Di dalam bangunan Gereja tersebut ada sebuah patung Bunda Maria, seperti yang terdapat dalam Gereja Gereja Khatolik pada umumnya. Deddy pernah bercerita bahwa disini, dia bersama teman teman pernah melihat patung Bunda Maria tersebut menangis, mengeluarkan air mata agak kemerah merahan. Dan dari semua teman temannya yang ketakutan dan lari, Deddy tidak merasa takut, malahan dia merasa sedih, ikut bersedih bersama Bunda-nya yang sedang menangis. Ngga heran kalau Bunda Maria memang ingin menampakkan dirinya pada Deddy. Mungkin karena ketulusan hatinya dan perhatiannya kepada orang lain yang lebih dalam dibanding teman temannya.

Di umur umur ini juga, Papa merenovasi rumah yang ada di Kapuk itu. Kita sempat pindah sementara tinggal di rumah Apak (Thien Pak), yang ditinggalin karena banjir. Letaknya ngga begitu jauh dari rumah kita yang di-renov, satu kompleks. Untuk mengakali air yang menggenangi seluruh rumah, kita hanya pakai sebagian rumah dan tukang jahit kerjanya di atas. Itu pun penyedot air stand by 24 jam, untuk sedot air yang menggenangi sebagian rumah. Disitu gue pun sekamar dengan Deddy. Gue inget malam malam kita sering banget beli sate Ayam cak Andi he he, namanya kok sama ya dengan gue he he. Si abang sate-nya sampai kenal sama kita, pokoknya kita doyan banget beli sate sama dia. Maklumlah, disini mama jarang masak sebab tempatnya ngga memadai. Kalo siang siang sebelum kuliah, hobi gue nangkepin ikan yang ada di rumah bagian depan dan teras. Lumayan lho ikan ikannya. Memang sih ikan cerek, tapi lucu lucu juga lho warna di badannya. Kita juga eksperimen macam macam, misalnya, kita beli ikan cerek yang bagusan (gapi) untuk diternakkan disini, supaya (mudah mudahan) bisa kawin dengan cerek betina. Ternyata gagal tuh, malah gapinya pada mati. Pernah juga pelihara ikan mas yang kecil (yang satu bijinya Rp 100 – waktu itu, ngga tau sekarang harganya berapa). Ikan mas-nya dipisahin dengan konblok dengan ikan lain, e… ngga tau-nya itu ikan bisa keluar lewat celah celah kecil di antara konblok yang gue bangun. Terakhir, kita pelihara cupang, dan cupangnya sehat dan gendud banget. Gimana ngga, siang malam makanannya yang berupa ikan cerek kecil (yg baru lahir) ngga habis habisnya tersedia dari genangan di dalam maupun luar rumah. Melihat cupang cupang itu mengejar mangsanya.. asik banget, sehingga kita seneng dan sering banget ngasih dia makan.

Pas rumah udah jadi, kita tetep dijadikan satu kamar. Ini memang mau-nya kita. Papa dan Mama sempet nanya, mau 1 kamar berdua tapi kamarnya gede, atau kecilan tapi satu satu dipisah. Karena kita ngga pernah punya masalah satu sama lain, kita setuju aja, malah nge-tos lagi. Terlebih sih karena kita sayang satu sama lainnya, gue yakin. Disini ranjang kita spring bed yang bisa ditarik bagian bawahnya. Deddy di atas, gue yang ditariknya. Tapi lama lama itu bagian bawah ngga pernah dikembalikan setelah ditarik, soalnya spreinya suka berantakan, akhirnya dibiarinin begitu. Jadinya ngga terlalu luas juga kamarnya. Kebiasaan memelihara cupang kebawa sampai ke sini, bahkan sampai gue nge kos (setelah Deddy ngga ada), dan sampai gue masih nebeng tinggal di rumah Khioko.

Disini, karena leluasa masak, Sabtu Minggu gue jadi sering masak, sama Deddy. Dan menu utama-nya adalah selalu, SAMBAL PETE, he he he. Deddy dan gue adalah penggemar Pete sejati. Rumah baru hasil renovasi ini 2 tingkat full. Bagian bawah dedicated untuk usaha konfeksi. Ngga juga sih, ada kamar Khioko dan kamar Gue dan Deddy di sini. Kamar Khioko di depan. Kamar gue dan Deddy di belakang, memanjang. Depannya kamar mandi di bawah tangga. Anehnya, pintu kamar kita itu pintu semi kaca. Nah lho, kalo mau ganti baju gimana? Ganti baju sih GPP, kalo mau ganti celana? He he, gue ngga tau apa yang ada di pikiran Papa saat memutuskan memberi kita pintu kaca. Yang paling make sense adalah, ya, karena pintu itu sudah tersedia dari rumah lama, jadi untuk berhemat, bukan untuk mengawasi kita supaya ngga males malesan, tidur siang, misalnya, karena di luar, konveksi banyak kerjaan. Apa akal? Akhirnya gue pake poster Spiderman yang lumayan gede hadiah dari majalah, buat nutupin. Masih belum cukup untuk nutupin semua, gue pake kertas karton hitam bekas prakarya apa gue lupa. Trus gue hiasin dengan gambar Donal bebek di tengahnya sekedar untuk iseng.

Di bagian atas, terdapat kamar Papa dan Mama di bagian depan, dan belakangnya ada dapur, tempat cuci dan kamar Cece. Di bagian tengah ada ruang keluarga yang lebih mirip ruangan karaoke, ada sofa, TV 29 inch dan perangkat sound system lengkap dengan mik. Ngga heran, Papa memang maniak karaoke, apalagi pada masa itu lagi ngetrend. Di bagian depan ada teras yang, kalau banjir, lumayan bisa liat banjir dari atas.

2001 – 15 years old
Masuk SMA. Ini ada ceritanya. Deddy daftar ke SMUN 2 (yang di kota – Jl. Gajah Mada) dan di Riccie (di kota juga, sebelah Gereja Tosebio – gereja Khatolik dengan ornamen China). Lagi lagi gue yang menjadi layaknya ‘orang tua’ Deddy. Gue pergi dengan Deddy ke Riccie untuk negoin uang masuk, setelah Deddy lulus tes masuk. Disana dilayani oleh ibu ibu dari lingkungan Gereja. Ngga nyangka mereka tega tarifin kita harga yang sangat tinggi, mereka minta 8 juta untuk sumbangan masuk. Gue langsung lesu, impian menyekolahkan Deddy ke sekolah yang lebih bergengsi pupus sudah. Kita cuma mampu 2 juta, dan kita siap siap bayar mahal, yaitu 2 juta itu demi Deddy sekolah disana, ternyata 4 kali lipat dari harga mahal yang kita berani bayar. Poor us. Untung masih ada SMUN 2 Pacinko hehehe. Ini juga ngga mudah. Sempet 2 kali ke sana sama Deddy, daftar dan ngurusin tetek bengek admin. Disini lebih manusiawi, ngga bayar sumbangan, namanya juga sekolah negri.

Gue inget, suatu hari, karena mengurus sampai lewat jam makan siang, pulangnya keroncongan deh kita hehe, sebenarnya sudah keroncongan dari rumah, pas lewat rumah makan padang di daerah bandengan. Pulangnya kita mampir di warung ayam goreng pinggir jalan kopi. Wuih nikmat banget rasanya. Gue inget gue kembali makan di situ ngga lama setelah Deddy pergi, untuk mengenang. Mmmhh, kapan kapan gue mampir situ lagi deh, untuk mengenang Deddy. Masih buka ngga ya…

Akhirnya Deddy masuk SMUN 2 dengan mulus. Awal awalnya, tiap hari (pagi) gue anterin ke sekolah sebelum ke kantor. Apalagi sebelum gue diterima di KPMG dan masih kuliah sambil menganggur, kadang pulang pun gue jemput sampai ke sekolah. Sering juga Deddy pergi sendiri, gue anterin sampe depan kompleks naik motor. Gue inget tuh es cendol depan kompleks yang enak banget, masih jualan ngga ya... soalnya gue dan Deddy sering banget makan es cendol itu, kenyel kenyel cendolnya dan es-nya amat menyegarkan di udara teluk gong yang gersang.

Agak kasian juga waktu di SMUN 2 ini. Deddy mengaku ngga punya temen temen sejati disini. Walaupun Deddy sangat aktif disana, sampai masuk semacam anggota MPR-nya sekolah. Waktu awal awal kelas II, abis jadi panitia semacam orientasi anak kelas 1, Deddy jadi terkenal banget, sebagai kakak senior yang cool dan baik hati. Sore setelah pulang sekolah, ada ada junior yang telepon minta advice, dan si Deddy ini memang pujangga, pinter aja dia merangkai kata kata nasehat yang indah indah hehehe.

Saat ini juga Deddy sering nemenin ke tanah abang. Papa kan usaha toko baju di Belinyu (Bangka) dibuka lagi. Supplynya dari tanah abang langsung, ngga mau ambil dari bos Pangkal Pinang atau Palembang. Selain marginnya bisa lebih tinggi, modelnya pun lebih baru baru dan up to date. Nah, kebetulan Sabtu gue libur dan Deddy pulang siang. Jadi gue sering minta dia temenin ke sana. Dari sinilah munculnya, hampir semua orang langganan kita di tanah abang manggil gue Deddy.

Gue manggil Deddy, Dod (dari deddod). Deddy manggil gue Ko. Kalau ditanya “mau tulis apa di nota?” Gue bilang tulis aja “Deddy”. Jadi, sangkanya orang tanah abang, gue namanya Deddy, Deddy namanya Dedod. Sampai terakhir terakhir gue ke sana, masih ada langganan yang panggil gue Deddy. Dulu, di nota tulis Deddy, ketika barang gue kirimpun gue tulis dari Deddy. Sampai terakhir.

Deket deket ultah yg ke-16 (*ini bagian yang terberat untuk diceritakan*). Papa, yang waktu itu udah di Bangka, menjanjikan Deddy sebuah motor baru. Dan gue sebagai koko yang baik, merasa pengen juga ngasih sesuatu. Gue janjiin akan membiayai pengurusan SIM-nya, Deddy yang urus, gue yang bayar. Namun sampai motornya ada, dan sampai semuanya berakhir, gue ngga bisa memenuhi janji gue itu dan never will.

Verna (ce-nya Deddy) pernah bercerita, hari pertama Deddy dapet motor itu, dia ke rumah Verna dan bilang, hei, kenalin nih temen baru gue, dengan bangga-nya. Motornya memang keren. Honda Supra X baru dengan striping biru metalik. Bagus banget. Ngga nyangka itu juga yg membawanya pergi. No Polisinya B 5314 EO. Boleh percaya boleh ngga, nomornya memang sangat sangat sangat jelek dalam dialek orang china, terutama khe. Sampai Deddy jawab gini, waktu dinasehatin mama (lwt telp) supaya berhati hati naik motornya, “Ma, jangan kuatir, no-nya aja jelek begitu, pasti hati hati”. Waktu itu, tidak ada satu-pun diantara kita yg mempermasalahkan no itu. Memang di keluarga kita ngga percaya yang begituan.

Malam itu, ngga ada yang tau apa yang terjadi, Deddy ngga pernah kembali lagi ke rumah. Ngga pernah kembali ke rumah kita yang fana. Ia berpulang ke rumah Bapanya. Di mana dia lebih diperlukan, lebih dicintai dan lebih disayangi. “Deddy sudah menjadi malaikat.. Di Surga dia dibutuhkan” kata Papa dalam suatu kesempatan sewaktu di pondok rangon, tempat Deddy dimakamkan.


Gue teringat lagu yang dipersembahkan mantan anggota the Queen buat sang vokalisnya (Freddy Mercury) yang mati muda… “One by one, only the good die young”. Iya, itulah yang terjadi, ketika orang baik, yang penuh pemikiran untuk membantu, dan sangat sensitive terhadap penderitaan orang lain, diperlukan disana lebih daripada di sini.

Betapa garis strip Deddy juga merupakan garis strip gue. Garis strip yang relatif singkat, namun indah. Di garis strip gue setelah itu pun penuh dengan kenangan dengan Deddy. Ia, dia hidup dalam kenangan kita akan dirinya. Dalam tiap doa, dalam tiap derma, dalam tiap kebajikan, dalam tiap ngepel, makan (terutama sambel pete), tiap kumpul keluarga, pondok rangon, tiap kali melihat James (ponakan), dan (masih) dalam tiap tangis.

Soal ngepel, suatu hari waktu gue bolos kerja untuk bersih bersih rumah yang berantakan, gue ngepel pake aroma lavender. Pas Deddy pulang, pas gue selesai ngepel, dan dia bilang wanginya enak. Dan tiap gue liat pembersih dengan aroma lavender itu di mal, gue terdiam, menjadi kecil, raut wajah gue berubah dengan tak kuasa menahan luapan kesedihan.

Begitulah hari hari gue, even setelah 5 tahun berlalu...