26 April 2008

OLYMOUS MJU 840 baru-Ku :_)

Kalau bicara soal pocket kamera digital, gue udah keburu jatuh cinta sama Olympus. Sejak beli kamera digital Olympus untuk kantor, kira kira setahun lalu dan memakainya untuk keperluan kantor dan juga traveling, harus gue akui, gue impress dengan kualitas gambar yang dihasilkan. Memang, kalau bicara kamera professional (SLR), Canon memang ngga ada 2 nya, tapi untuk pocket, Canon IXUS sangat ngga memuaskan. Hasil fotonya kurang tajam, seperti mendung atau kayak ada satu lapisan buram begitu.

Jadilah, pas mau berangkat ke China, beberapa hari sebelumnya ada kepikiran mau beli kamera sendiri, daripada selalu pinjem punya Khioka (Canon IXUS), atau pakai punya kantor yang udah sedikit ‘ketinggalan jaman’ mengingat ukurannya ;_P

Pilihan langsung tertuju ke Olympus. Ngga ada lirik lirik merk lain. Ada sih, liat liat SONY, karena sebenarnya gue agak fanatic juga ke Sony hehe, handphone Sony, earphone Sony, handycam Sony, dan kalau mau beli TV Plasma, pasti gue memilih Sony. Tapi kata seorang teman (Andree), kamera Sony cuma menang gaya doing, kualitas mah sama aja. Dan pas gue cek harganya, langsung gue ngga suka, mahal banget, hehe.

Gue browse ke bhineka.com dan JPCkemang.com hanya untuk liat liat model. Ternyata bhineka.com sangat ketinggalan model baru dan juga pilihannya terbatas. Harga jauh lebih mahal pula. Kalau di JPCkemang.com OK banget, banyak model baru, lengkap pula. Dari situ, gue tertuju pada 2 model kamera yang gue anggap cocok, dari segi feature dan harga.

MJU 840: 8 MP, 5x optical zoom, dual image stabilizer.
MJU 850: 8 MP, 3x optical zoom, waterproof up to 3 m depth

MJU 840, karena bagi gue, pertama yang paling penting itu adalah optical zoom. Makin gede optical zoom makin OK. Dan karena itu, gue butuh banget yang namanya image stabilizer karena tangan gue suka goyang kalo motret :_) Kalo MJU 850 karena bisa foto di dalam air. Lo ngga tau gimana pengennya gue untuk memotret yang gue liat ketika lagi snorkeling. Gimana rasanya hanya bisa melihat tanpa bisa memotret?

Akhirnya pilihan jatuh pada MJU 840, dengan pertimbangan zoom yang lebih gede dan seberapa sering sih gue snorkeling? Lagipula, model 840 ini bisa ditambahkan suatu alat supaya bisa dipakai di dalam air. Walaupun harganya sejutaan.

Setelah menentukan pilihan, toko pertama yang terpikirkan adalah Toko kamera yang di jembatan Metro Pasar Baru. Maka pergilah gue kesana pada hari Sabtu. Di toko yang selalu ramai itu, ternyata belum ada model MJU 840, adanya MJU 830, yang sama persis, hanya beda di LCD-nya aja lebih kecil, 2.5” (MJU 840 2.7”). Harganya Rp 2,885,000 berikut XD card 1 GB, ngga bisa ditawar lagi. Walaupun mau beli 2. Waktu itu Roy juga mau beli, dan pesennya, kalau elo beli (apa pun itu) gue titip beli yang sama. Edan. Akhirnya ngga jadi beli disana karena, di JPCkemang, MJU 840 + XD 1 GB + spare batere Rp 2,895,000. Hanya lebih mahal 10,000, dapet model terbaru, dan ada spare batere pula.

Minggunya gue telepon ke JPCkemang. Minta disiapkan 2 kamera digital Olympus MJU 840, yang, karena lokasi rumah dan kantor gue si luar jangkauan antar mereka, akan gue ambil hari Senin. Hari Senen, Andree menyarankan telepon dulu dengan temannya, karena temannya ini ada jasa antar. Ternyata, temannya Andree ini juga ngga ada MJU 840. Dari dia juga gue jadi tau, kalau semua merk elektronik (terutama kamera digital) ada 2 macam, black market dan barang legal. Seperti halnya kamera digital Olympus. Sangat mudah membedakannya, yaitu, lihat garansinya. Kalau garansinya Olympus Indonesia (2 tahun) bisa dipastikan ini barang legal. Ternyata yang dijual JPCKemang garansi Olympus Co (1 tahun), artinya ini barang black market.

Agak surprise juga sih. Toko seperti JPCkemang, yang berani post jualan mereka si internet ternyata jualan barang BM. Lalu apa bedanya? Ternyata garansi Olympus Co, tidak diterima di service center resmi Olympus, malah, kata teman tadi, Olympus akan mengenakan biaya perbaikan dan spare-part 2 kali lipatnya. Wah, scary juga ya… Ternyata MJU 840 resmi belum beredar di Indonesia, baru BM-nya.

Gimana nih? Akhirnya gue telepon lagi JPCkemang, menanyakan hal di atas. Dengan tenang, mereka menjamin, bisa di service secara gratis di service center resmi Olympus, asalkan diurus oleh mereka. Dengan kata lain, bawa ke dia, dia yang urus. Mirip garansi toko kalau beli HP BM di Roxi. Dan kali ini mereka bersedia mengantar ke kebon jeruk, kantor gue, karena gue gertak, ada tempat lain yang bersedia mengantar, he he.

Jadilah, sore itu, 2 unit kamera digital Olympus MJU 840 diantar ke kebon jeruk. + XD card 2 GB dan spare batere. Lengkaplah sudah untuk memuaskan hobi foto, atau bisa dibilang memuaskan sifat narsis :_) Bukan juga sih. Untuk tahun kedepan. Apalagi dengan hadirnya buah hati kami, pasti tak puas puasnya memotret dia. Apalagi kalau bukan dengan kamera digital Olympus MJU 840 :_)

22 April 2008

Cat, Donkey and Snake in One Dinner

China is a quite unique country. You nearly can eat anything at anytime. There is one time when we were having lunch at one of company’s port, we were talking about what you’ve been eat or not yet been eat, what you eager to eat and what you would never even try for your whole life. It is revealed that some people even like to eat baby placenta in a soup.

Some have tasted bat, scorpion, cricket, even a kind of ant, bee, and larva. Eating wild boar (celeng), snake, rabbit, dog, buffalo, goose and dog are seems ordinary for them. A friend said he already taste the horse. Lucky, I got something to be proud of because I have taste the snake, goose, deer and monkey. The last one only me who had tasted :_) At the end of conversation, we agreed to go and eat cat meat for dinner. Since none of us have ever taste this kind of animal, including some of our local Chinese fellow.

Arrived at the restaurant, they hang the big billboard with pictures of cat. The kitty actually, and they were cute. But when you walk inside the restaurant, very different view you will see. They hang the cats, roasted, the full body. Quite scary for the first time. But be brave, soon enough you will eat them, not them eat you :_)

When choosing the menu, it seems that beside cat, they also selling snake and, this is extraordinary, donkey meat (Lu rou) ! Still in the atmosphere of curiosity, we just as well order also the donkey. There’s 3 choices, the meat, the skin and (uuuhhh) the blood ! We order meat and skin. For soup, we asked for snake soup, and then the servant suggests also the chicken in the soup, so the soup could taste better. We also asked whether they selling mouse meet. I don’t know whether fortunate or unfortunately, they don’t have.

The snake, because it is just a small snake, taste not very good. The soup taste awesome though. And the donkey skin, I think it’s just the same taste as kikil (leg of the cow). For me not ok, because I don’t like the kikil. I conclude that cat and donkey meat is ok. But, if someone asks me whether I’m going to eat those meats again or not, I will certainly say NO, once is enough. Just to add my list. Although it’s just a short list :_)

Baby’s OK :_)

oKata dokter, Baby kita tunggal (bukan kembar), hidup (ada jantung) dan urgio intra (di dalam rahim). Hen Kai Xin :_) (sangaaaaat bahagia). It’s started to rain out there. Malam yang dingin di Guigang, provinsi GuangXi, Selatan China. Tapi hati gue amat hangat, membaca sepotong pesan pendek dari Nat, yang menentramkan hati seorang calon Papa, yang ribuan mil jauh dari istri dan calon bayinya. Yang bertanya tanya dalam hati, seperti apa jantungnya yang berdetak detak, dan tak sabarnya untuk mendengar lanjutan cerita, apa kata dokter, bagaimana kondisi Nat, bagaimana bentuk perutnya, apakah ia sehat, apakah masih boleh naik busway (walaupun duduk), banyak jalan, pantang makan dan sebagainya dan sebagainya…

Ini hasil USG-nya, pulang langsung gue liat. Lucunya, Our baby, 1 month in Utero.

11 April 2008

DANAU TOBA (& BERASTAGI), 20 – 22 Maret 2008

click the above title for photos related to this blog

Awan putih bergulung meniti bukit nan hijau, bukit bersulam dengan air biru nan tenang di bawahnya. Suatu pemandangan dramatis yang sungguh sulit dicari tandingannya bahkan di mancanegara. 3 hari waktu yang sangat sangat kurang untuk mengexplore semua keindahan alam Danau Toba, Samosir, Berastagi dan Medan.

Apa boleh buat. Sebagai karyawan yang terikat dengan pekerjaan kantor, hanya itulah waktu yang kita punya. Untuk melepas stress dan memenuhi kepuasan hati menikmati indahnya Indonesia. Kecuali Papa Mama yang kapan aja OK buat jalan, secara waktu dan tentunya, uang :_)

Kejutan di awal perjalanan
Pagi pagi sekali kita sudah bangun untuk bersiap siap. Pagi itu ada kabar gembira dari Nat, ternyata dia hamil! Memang beberapa hari belakangan sudah merasakan sesuatu, maka pagi itu, sebelum berangkat, kita coba test kehamilan dengan testpack dari China. Merasa kurang yakin kita test lagi sampai 3x, 2x dengan testpack China dan sekali dengan Sensitif. Hasilnya sama, positif! Namun kita tetap melanjutkan perjalanan, tanpa memberitahukan kepada yang lain dulu. Soalnya ini baru hasil testpack, belum cek kehamilan betulan di RS.

Hal itu membuat kita sedikit telat sampai ke rumah Khioko. Disana sudah menunggu Papa dan Mama dan Cece dengan bawaan masing masing. Sementara Khioko sendiri yang mengantar kita ke bandara. Dan seperti biasa, kita naik pesawat yang itu lagi, AirAsia :_)

Tiket AirAsia kita (Aj dan Nat) hanya Rp 376ribu per orang, sedangkan yang lain Rp 1,4 juta per orang, karena belinya belakangan, sekitar 2 minggu saja sebelum tanggal berangkat, sementara kita belinya sudah sekitaran Juni 2007. Bedanya jauh ya :_) Ceritanya begini, 3 minggu sebelum berangkat gue dan Nat pergi ke Mangga Dua untuk membeli miniDVD untuk handycam di Medan nanti. Pada saat itu, Papa telepon dari Bangka. Waktu diceritakan kita akan ke Medan, ternyata beliau sangat antusias. Akhirnya beliau mengajak Cece, yang juga antusias. Ya sudah, kita carikan tiketnya yang ternyata sudah berlipat-lipat dari harga kita. Kita pun senang mereka ikut, selain meringankan biaya akomodasi karena dibagi bersama, juga menambah teman perjalanan sehingga makin ramai. Tampaknya Papa ‘ketagihan’ jalan sama kita setelah perjalanan SingMaThai :_)

Di dalam pesawat yang sama, kita bertemu Darwin, mama dan i’i-nya yang juga ke Medan pada hari yang sama. Mereka ke sana untuk lamaran untuk anak i’i-nya tersebut. Sesampainya di Medan, langsung disambut oleh Linda, seorang teman sekantor yang bekerja di cabang Medan. Linda yang bermarga Sipayung itu datang bersama abangnya, yang nantinya akan mengantarkan kita untuk perjalanan di Medan ini. Namanya Yohanes.

Memang, untuk persiapan sewa mobil dan sopir, gue percayakan semuanya ke Linda yang memang sangat berniat membantu. Untuk harga sewa mobil Kijang kapsul lepas kunci (artinya kita yang bawa), 1 hari Rp 250ribu diluar bensin dan sopir dan Rp 500ribu untuk + sopir dan bensin. Kalau Kijang Inova, masing masing lebih mahal 50ribu dan 100ribu. Kalau bersama sopir, waktunya dihitung 8 jam perhari, lebih dari itu dikenakan lembur yang pastinya cukup berat. Belum sampai kesana, ditawarkan sama Linda, bagaimana kalau kita sewa lepas kunci, sehingga leluasa (seolah mobil punya sendiri), dan nanti abangnya yang bawa. Mau dikasih berapa nanti terserah pak Andi, begitu katanya.

Itinerary
Siang itu, gue langsung request untuk diantar makan siang saksang di jalan Pabrik Tenun. Tahun lalu waktu bertugas ke Medan pernah diajak kesini dan sangat berkesan. Ngga lengkap rasanya kalau tidak membawa keluarga gue ke sini untuk mencicipi masakan khas orang Batak ini. Nama tempat makannya ONDO, Grill Batak. Kata Ondo itu dalam berarti ‘Ini’, atau ‘ini dia, grill Batak’, begitu kira kira maksudnya. Saran gue kalau makan disini, mintalah meja yang ada di belakang (taman), suasananya lebih tenang dan menyenangkan. Tidak selang berapa lama, menu yang dipesanpun datang. Ada Saksang (daging babi dimasak dengan darah babi), Iga goreng, babi (samcan) panggang, babi (samcan) goreng dan sop dengkul babi. Memang serba babi. Untuk sayurannya ada daun singkong tumbuk dan pulos pulos. Pulos pulos adalah campuran bunga pepaya dengan singkong dimasak kuah berwarna agak kemerahan dan rasanya asam. Mirip masakan Manado.

Itinerary-pun disusun dan disepakati. Hari pertama ini, langsung menuju Parapat (Danau Toba), besok pagi nyebrang Feri dari Ajibata (Parapat) ke Tomok (Samosir). Kembali dari Samosir langsung menuju Berastagi untuk menginap. Kalau sempat, mampir dulu di air terjun Sipiso-piso dan perkebunan jeruk yang bisa petik sendiri. Keesokan harinya, dari Berastagi turun ke Medan untuk jalan jalan di Medan. Sebelumnya mau mampir dulu di emperan yang bisa duduk duduk menikmati buah durian Medan. Di Medan, mengunjungi Istana Maimoen, rumah tua peninggalan bangsawan China (Tjong A Fie) di kawasan Kesawan Square dan Gereja Katholik ersitektur India, Maria Anai Velankani. Serta tak lupa mampir untuk oleh oleh Bolu Meranti, Bika Ambon, dan teri Medan yang amat yahuy itu.

Maka, siang itu sehabis puas menyantap makanan khas Batak, langsung kita menuju ke Parapat yang jarak tempuhnya sekitar 4 jam dari Medan. Perjalanan 4 jam itu melewati beberapa kota yaitu Lubuk Pakam, Deli Serdang, Serdang Berdagai, Siantar dan Tebing Tinggi sebelum sampai ke kota Parapat. Sepanjang jalan didominasi perkebunan sawit dan karet. Ada satu pemandangan yang menarik begitu kita masuk ke kota Siantar, yaitu ‘betor’ (becak motor) –nya yang menggunakan motor motor tua nan antik. Tidak seperti di Medan dan kota lainnya yang rada rata menggunakan motor bebek atau Honda Win sebagai penarik becaknya. Yang menarik lagi dari bettor adalah, satu betor bisa untuk 5 orang dewasa (diluar pengemudi) + beberapa orang anak anak, sebab banyak tempat duduknya, hingga di muka dan belakang becaknya masih ditambahi tempat duduk. Mungkin mobil Karimun masih kalah.

Perjalanan 4 jam ini merupakan perjalanan yang melelahkan, apalagi dengan Kijang Kapsul dan sopir yang rada ‘ugal-ugalan’. Papa langsung membandingkan dengan perjalanan kita beberapa waktu lalu, dari Kuala Lumpur ke Singapore yang memakan waktu 6 jam tapi tak terasa lelah sedikitpun. Kenapa? Tentu saja, itukan bus tinggi dengan tempat duduk yang sangat nyaman, dan sopir yang sangat tenang, ditambah kondisi jalan yang 100% mulus. Tidak seperti perjalanan ke Parapat ini. Maaf saja. :_P

Namun, segala lelah sirna ketika deretan bukit yang disebut Bukit Barisan itu terpampang di depan mata. Kilauan cahaya matahari yang terpantul di air-nya yang tenang. Mengundang kita untuk berhenti ketika melewati suatu view yang terlalu bagus untuk dilewatkan jepretan kamera atau handycam shooting. Sekilas tampak seperti pemandangan di Phromthep Cape, Phuket, namun dengan skala yang lebih besar, lebih dramatis dan jauh lebih indah. Hari sudah sore, matahari memang tidak terlalu terang lagi, namun tidak membuat pemandangan menjadi suram, justru bukit bukit sepanjang danau tambil indah dibalik sinar matahari yang sayu sayu malu. Sambil menikmati kopi atau teh hangat yang disajikan warung yang kami singgahi, tidak terbilang berapa jepretan yang sudah kami ambil.

Tak puas puasnya menikmati keindahan alam ini, kami sudah harus melanjutkan perjalanan menuju Hotel yang sudah kami pesan sebelumnya, Hotel Niagara. Katanya, dari hotel inilah, dapat puas memandang pemandangan Danau Toba beserta dengan pulau Samosirnya. Sepanjang perjalanan ada fenomena menarik, yaitu monyet monyet jinak yang berbaris sepanjang jalan untuk meminta apa saja, bahkan uang dari pengunjung yang kebetulan lewat. Hebatnya, monyet monyet ini seperti ada posnya masing masing dan tidak saling berebut wilayah. Rupanya sudah ada pawangnya, yaitu marga Manik, seperti yang dijelaskan Linda melalui SMS.

Ternyata ngga salah. Hotel Niagara memang tempat yang menyediakan view yang luar biasa untuk memandang ke Danau Toba. Sayangnya, untuk kelas Superior yang kita pesan, letaknya bukan di bangunan utama yang bisa langsung menyaksikan danau (lake view), tapi di bangunan yang ada di belakangnya. Maklumlah, ini kelas yang paling rendah, selain kelas sopir yang lebih rendah lagi. Sore itu, setelah meletakkan barang bawaan di kamar, langsung kita menuju kolam renang yang viewnya langsung menghadap danau. Di sebelah kolam renang terdapat taman, yang dari taman itu, danau Toba terlihat lebih jelas lagi. Satu malam di hotel ini 600san ribu dan harus ambil 2 malam (paket long week-end). Untung ada seorang teman (Hendry Tjoe & istrinya Joceline) yang menawarkan share 1 malam pertama, jadi kita ambil malam keduanya. Hotel Niagara tidak terletak di pinggir danau sepeti Inna Parapat, namun lebih ke atas lagi kira kira 2 KM. Sekitaran Danau Toba ini memang perbukitan dan hawanya cukup sejuk.

Sehabis mandi, perutpun keroncongan. Atas rekomendasi teman tadi, kita mampir ke restaurant Asia yang menyajikan Chinese food. Tempatnya memang ramai dan makanannya pun not bad. Yang enak ikan tahu tausinya yang mantap. Keluar dari hotel maupun masuk lagi, bang Yohanes rada bingung dengan jalanannya, sampai beberapa kali kita nanya orang. Sampai bete Cece dan Papa. Abis makan, gue dan bang Yohanes pergi ke pintu gerbang danau untuk nanya tentang Feri yang berangkat ke pulau Samosir supaya bisa merencanakan perjalanan besok pagi. Feri pertama dari Ajibata berangkat jam 8.30 pagi, yang menurut temen gue (yang share hotel Niagara), jam 6 orang sudah mengantri. Itu membuat kita berencana berangkat jam 6.30 dari hotel.

Perjalanan yang tiada bosan bosannya
Esoknya, seperti rencana semula 6.30 kita mulai jalan dari hotel, setelah check-out. Memang hotel tidak menyediakan breakfast sebagai complimentary, sehingga kita berencana breakfast sesampainya kita di Tomok, pulau Samosir sana. Toh perjalanan hanya 1 jam naik Feri, jam 9.30 untuk sarapan masih belum terlalu siang, pikir kita.

Agak nyari nyari juga menuju Ajibata ini. Bang Yohanes pun terlihat tidak paham betul dengan jalan ini, sehingga beberapa kali harus bertanya. Untuk masuk ke Ajibata, jarak tempuhnya sekitar setengah jam dari Niagara, pintu masuk danau Toba, harus bayar yaitu Rp 5000 per mobil. Sesampainya di Ajibata sekitar jam 7.30. Ternyata sudah ada kapal yang penuh dan sudah hendak berangkat. Rupanya, untuk antisipasi long week-end, mereka buka penyebrangan lebih awal 1 jam. Setelah mobil kita masuk ke parkiran dan membayar jasa penyebrangan sebesar Rp 78,000 per mobil (orang tidak dihitung), kita keluar parkiran untuk mencari sarapan pagi, kebetulan masih ada waktu 1 jam sebelum Feri kedua berangkat jam 8.30. Kalau sudah masuk parkiran dan sudah bayar, sudah ada kepastian tempat di Feri berikutnya, karena sudah dibatasi mobil mobil yang masuk parkiran kira kira muat 1 Feri, setelah itu pintu gerbang ditutup.

Di warung yang amat sederhana, yang gue yakin sehari-harinya amat sepi, seorang ibu yang tampaknya keturunan Chinese, berjualan masakan goreng goreng seperti nasi goreng, mie goreng, kwetiau dll. Enak juga lho, masakannya. Sepiring mie goreng seharga Rp 7,000 berisi telur dan potongan daging merah (daging babi). Sambil menikmati kopi, Papa sempat bercanda, “ini kalau diluar hujan deras, di dalam hujan gerimis” sambil nunjuk ke langit langit sengnya yang berlubang lubang. Jangan salah, begitu begitu anaknya sarjana semua lho, terlihat dari foto foto yang ia pajang.

8.30 tepat, mobil yang tadinya parkir di pinggir dermaga, satu per satu masuk ke dalam Feri yang kira kira menampung 20an mobil saja. Segera saja kita menuju ke lantai 2 Feri tempat penumpang bisa duduk, sambil melihat pemandangan di sepanjang perjalanan. Perjalanan yang memakan sekitar 1 jam tersebut sama sekali bukan perjalanan yang membosankan. Disinilah letak keindahan alam Indonesia yang hampir tiada bandingannya di luar negeri. Papa yang pernah ke seantero China hingga Guilin, Jiu Jai Guo, Huangsan sampai ke Tibet, dan Cece yang sudah menginjakkan kaki ke Halong Bay, ke Saigon, Siem Riep dan gue sendiri (hehe – sangat kerdil dibanding mereka) sudah melihat Phuket, Phi Phi island, dan Guilin. 3-3nya kami terpukau dan sibuk dengan perangkatnya sendiri. Papa dengan Handycam Sony di genggaman, Cece sibuk sekali dengan Canon EOS 350D-nya yang terlihat besar di tangannya yang mungil. Sedang gue (sekali lagi hehe), dengan Canon Ixus 5, itupun pinjaman dari Khioko. Intinya, ke-3nya terpukau dan tak puas puasnya mengabadikan. Papa sampai berkata, “Ngga pernah melihat danau seindah dan semegah ini”. “Ohya? Even di China?” “Untuk ukuran danau, iya.” Menurut gue juga begitu sih, kalau dibandingkan Li Jiang river di Guilin (yang juga amat fenomenal), ini pemandangan yang berbeda, danaunya lebih dalam dan lebar, juga bukitnya yang besar besar, beda dengan Li Jiang yang bukitnya lancip lancip, lagipula Li Jiang merupakan sungai, bukan danau. Atau dibandingkan dengan perjalanan Phi Phi island, perbukitannya sih mirip, tapi itukan di laut bukan danau.

Di dalam Feri, selain pemandangan yang mengajak kita untuk tak puas puasnya memandang keluar jendela, ada hiburan lain yaitu, yang gue sebut ‘The Jackson Five’ versi Sumatera Utara. 5 anak seumuran ABG memperlihatkan kebolehannya dalam mengolah suara, layaknya biduan biduan Batak yang memang terkenal tarikan suaranya. Anak anak ini memang pengamen, namun dengan tehnik olah vokal yang tinggi, pembagian suara yang harmonis, yang sesekali diselingi solo vocalnya si ‘Michael Jackson’ yang melengking tinggi. Yang mengagumkan dari mereka, setelah menerima uang dari ‘penggemar’nya, uang itu langsung dibagi secara merata. Sisa uang yang tidak dapat dibagi rata, mereka undi dengan semacam gangsuit. Lagu lagu yang mereka bawakan adalah lagu berbahasa Batak seperti ‘Situmorang’ dan ‘Anak Medan’, namun terselip juga 1 lagu khas Manado yang sudah menasional, ‘Poco Poco’. Selain itu, ada pula penjual kacang rebus, telur rebus, teh/kopi dan mie pun kerap menawarkan jualan mereka.

Setibanya kami di Tomok, Pulau Samosir, yang terlintas adalah segera menuju tempat yang bernama Tuk Tuk, yang kita dengar merupakan tempat paling wah di pulau Samosir. Selain minim info tentang Samosir, kita juga minim waktu, rencana kita hanya setengah hari disini, menumpang Feri jam 12 siang dan langsung menuju Berastagi yang akan memakan waktu 5 – 6 jam. Ternyata hal itu menyisakan sedikit penyesalan di akhir perjalanan. Sungguh, P. Samosir tak habis diexplore dalam, katakanlah, 3 hari !

Wisatawan ke sini biasanya menginap beberapa hari, menyewa sepeda atau sepeda motor, kemudian meng-eksplore keindahan P. Samosir. Dulu, waktu wisata Indonesia lagi jaya jayanya, banyak bule yang tinggal disini, seperti halnya Phuket atau Bali. Sekarang, yang terlihat cuma segelintir bule, biasanya berpasangan, dan agak berumur.

Dari Tomok ke Tuk Tuk saja sudah perjalanan yang menyenangkan. Sempat kita minta berhenti sampai 4 kali. Pertama, untuk melihat lebih dekat air terjun Simangande yang indah menghiasi Bukit Barisan yang panjang dan berwarna hijau segar. Kedua, sebuah padang rumput tempat bergembalanya domba domba, kerbau dan ayam. Dengan latar belakang bukit nan hijau. Ketiga, di pinggiran jalan yang menghadap ke arah danau. Dari sini, terlihat indah sekali, danau, awan, kemudian daratan (kota Parapat) di seberangnya. Keempat, sebuah bukit rerumputan, yang dari atas bisa melihat lebih jauh ke arah danau, dan belakangnya bukit yang lebih tinggi lagi. Banyak juga waktu kita habiskan disana. Memotret dan bercengkerama.

Sesampai di Tuk Tuk, kita singgah di sebuah penginapan yang menyediakan caf̩ untuk memandangi danau dan bukit di luarnya. Sekilas mirip sekali dengan ketika kita singgah di danau Tondano, Minahasa. Hanya, disini cuma tersedia minuman layaknya caf̩, bukan makanan berat. Tuk Tuk merupakan sebuah semenanjung di P. Samosir, yang sangat populer sebagai tujuan wisata karena letaknya yang hanya sekitar 30 menit dari dermaga Tomok. Disini banyak sekali terdapat penginapan, tempat jual souvenir, persewaan sepeda dan sepeda motor, caf̩ sampai money changer. Ketika gue nanya, berapa ongkos menginap 1 malam di penginapan ini? Abadi Guest House menawarkan pemandangan langsung menghadap bukit Barisan dan air jernih nan tenang menyambut di depan pintu tiap tiap rumah dengan tarif hanya Rp 100,000 per malam per 1 kamar 2 Р3 orang.

Dari situ, kita kembali ke dermaga Tomok, masih jam 12.30 dan Feri berikutnya jam 1 siang. Masih sempet liat liat toko souvenir yang ada di sepanjang jalan dekat dermaga. Bermacam ragam produk yang ditawarkan, dari kaos, tas tangan, sepatu/sandal, tas HP, dompet, sampai pernak pernik seperti gelang kalung dan pajangan miniatur rumah adat Batak terbuat daru kayu.Gue beli kaos 1 untuk gue dan 1 untuk Nat. Nat beli sepatu dan tas HP. Cece beli tas tangan. Sembari menunggu Feri, masih sempat kita makan siang di Tomok, supaya sampai Parapat langsung kita menuju Berastagi. Babi Panggang Karo dan ikan mas bakar jadi menu fast lunch siang itu. Juga membeli pisang dan salak untuk bekal perjalanan panjang ke Berastagi nanti.

Di dalam Feri kembali ke Ajibata, bertemu lagi dengan ‘The Jackson Five’ yang kali ini tidak seprima tadi menyanyinya. Pastilah habis ‘batere’nya menyanyi seharian. Beruntung kita mendengarkan olah suara keluaran perdana.

Lepas dari Feri, di awal perjalanan dari Parapat menuju Berastagi, bang Yohanes salah jalan lagi, malah ke arah Balige, tempat wisata lainnya di sebelah selatan Danau Toba. Akhirnya berbalik arah lagi. Tak lama setelah melewati monyet monyet peminta minta di pinggir jalan, dia mengambil jalan pintas Simargarunjung yang melewati pinggir pinggir jurang perbukitan yang berbatasan dengan Danau Toba. Kalau mobil tergelincir ya straight to the lake. Walaupun aspalnya mulus, jalanannya amat sempit, untuk 2 mobil berpapasan harus saling mengalah, sehingga agak mepet mepet jurang. Papa, yang duduk di depan sampai minta tukar tempat sama gue. Ngeri katanya. Walaupun ngeri, pemandangannya luar biasa. Tak henti 350D dijepretkan. Salah satunya kita menjumpai sesama traveler yang menepi untuk mengabadikan Tanjung Onta. Kerennya Camel Cape :_) Dari atas terlihat indah sekali, walaupun sama sekali ngga mirip Onta.

Itinarary yang terlewatkan
Perjalanan selanjutnya mengingatkan gue akan perjalanan di Minahasa highland, dari Manado menuju Bukit Kasih. Mungkin tak ada tempat lain yang memiliki Gereja sebanyak ini selain 2 tempat ini, Sumut dan Sulut. Maklum, keduanya memiliki mayoritas penduduk penganut agama Kristen (dan Katolik). Apalagi, sama seperti tahun lalu melintas di Minahasa, sedang suasana Paskah yaitu tepat hari Jumat Agung. Pemandangan bernuansa religius sepanjang perjalanan, Gerja dipenuhi dengan umat berpakaian rapi, bahkan tak sedikit yang mengenakan pakaian adat Batak lengkap dengan kain ulos yang menawan. Membuat seluruh penumpang di mobil merasa bersalah, demi mengejar waktu sampai ke Berastagi tidak terlalu larut, apalagi saat itu hujan local cukup lebat turun beberapa kali.

Selain Gereja yang bertebaran sepanjang perjalanan, hal religius lain yang tak kurang menarik perhatian adalah kuburan yang unik. Rupanya, masyarakat Batak termasuk masyarakat yang memberi tempat yang tinggi bagi kaum leluhur. Kuburan kuburan itu tidak terletak dalam kompleks jiarah, namun tersebar. Bentuknya pun amat tidak biasa. Kebanyakan mengambil arsitektur rumah adat Batak yang lancip lancip, berlantai 2 dengan tangga kecil, mirip tugu dan diberi pagar pembatas lengkap dengan gerbangnya. Ini yang berbeda dengan perjalanan Minahasa Highland.

Menjelang KabanJahe terdapat sebuah tempat wisata yang amat sangat sayang untuk tidak dikunjungi. Tapi apa boleh buat, hari sudah terlalu sore, ditambah hujan pula. Air terjun sipiso piso yang terdapat di Desa Tongging juga merupakan tujuan wisata favorit sampai ke mancanegara, selain Danau Toba dan P. Samosir yang lebih termasyur. Gambar bukan jepretan sendiri melainkan di ambil dari website www.pbase.com.

Memasuki KabanJahe, juga ada wisata lain yang terlewatkan. Petik jeruk sendiri langsung dari pohonnya! Karena hujan, akhirnya kita hanya mampir membeli jeruk di lapak yang menjajakan jeruk berastagi dalam ikatan besar sekitar 3 KG, dijual Rp 8,000 per KG. Jeruknya segar, manis dan banyak airnya, beda yang dimakan di Jakarta, sebab disini masih tinggi kandungan airnya. Sampai di Jakarta sudah menguap sebagian airnya.

Tak lama, masuklah kita ke kota Berastagi. Suasana sejuk pegunungan langsung terasa, apalagi malam itu dingin dingin berkabut. Hal pertama yang kita lakukan adalah mencari Hotel Mikie Holiday. Bukan untuk menginap, tapi untuk bertemu teman (Hendry Tjoe dan istrinya Jo) yang sudah duluan menginap di Vila Bukit Mas, tak jauh dari Mikie Holiday. Setelah sama sama menuju Vila, Papa, Mama dan Cece berpisah diantar bang Yohanes untuk menginap di Hotel Mutiara, karena Vila hanya tersisa 1 kamar untuk gue dan Nat. Vila berkamar 4 itu penuh dengan sanak saudara dan ponakan teman gue itu. Malam itu, gue dan Nat makan malam bersama di Vila bersama keluarga Hendry Tjoe yang sebenarnya dengan ramah menawarkan juga ke keluarga gue. Namun, khawatir makanan mereka ngga cukup karena kehadiran mereka mendadak, Papa Mama dan Cece terpaksa makan diluar bersama bang Yohanes. Sajian ayam goreng, dengan sayur mayur dan teri medan goreng buatan i’i-nya teman aduhai sekali menemani malam yang dingin dan perut yang kebetulan sudah keroncongan.

Sehabis makan, gue dan Nat bersama Hendry dan Jo menuju Hotel Mutiara. Gue dan Nat untuk menumpang mandi, kebetulan air panas di Vila ternyata rusak. Sedangkan Hendry dan Jo mau melihat lihat hotel tersebut. Hotel Mutiara merupakan hotel bintang lima di Berastagi selain Mikie Holiday. Kamarnya pun besar, dengan balkon tiap kamarnya yang menghadap kolam renang atau ke jalan raya. Kebetulan kamar mereka menghadap kolam renang, membuat gue ngiler pengen berenang keesokan harinya. Apalagi air kolam renangnya air hangat.

Paginya, sewaktu Papa Mama dan Cece sarapan, gue sendirian berenang sementara Nat menunggu. Benar benar hanya gue seorang di kolam renang dewasa, selain sekumpulan bocah bermain di kolam anak anak. Habis mandi, gue, Nat dan bang Yohanes menuju kota Berastagi untuk sarapan di bekas bioskop Ria. Disana lumayan banyak pilihan makan pagi, cakue, bubur, nasi campur dan mie keriting. Kita sarapan mie keriting yang yummy dengan cakue. Yang khas dari mie Medan itu adalah adanya irisan telor ayam rebus masak kecap yang diiris dengan sebilah benang. Iya, dengan benang.

Setelah itu, kita sempatkan mampir ke Mikie Holiday sebelum menuju kota Medan. Hanya penasaran kepingin tau seperti apa theme park-nya, Mikie Fun Land. Konsepnya mirip dengan Hotel di Genting, tapi tentu skalanya lebih kecil. Tapi dari luar (ngga beli tiket) sama sekali ngga bisa liat ke dalam, jadi ngga tau ada apa aja di dalam.

Meluncur turun ke kota Medan, bang Yohanes menawarkan mampir ke pamandian air panas di kaki Gunung Sibayak. Karena penasaran dan masih ada waktu (Berastagi – Medan hanya 2 jam), kita setuju saja. Uang masuk (kemungkinan pungli) untuk menuju pemandian dipungut Rp 7,000 per orang, total kita bayar Rp 35,000. Di tengah jalan, ketemu penjual jeruk Berastagi, langsung kita mampir. Mengingat jeruk semalam yang enak banget, jadi pengen beli lagi, yang banyak :_) Ternyata malah lebih enak dari yang semalam, karena ini jeruk Berastagi Madu, lebih manis. Penjualnya setengah ngga rela menjual dengan harga Rp 8000 per KG yang sebenarnya sudah mahal, tapi melihat kita turis, bisa dimengerti dia ingin untung lebih.

Melewati jalan yang tidak mulus (so, buat apa pungutan di bawah tadi?), sesampainya kita kita di pemandiannya, amat kecewalah kita. Ternyata hanya sebuah pemandian kecil mau masuk harus bayar pula Rp 30,000 per orang. Jadinya kita hanya foto foto saja di sana. Yang menarik, ada sebuah PLTU disana. Memang uap di tempat ini mengebul ngebul mirip luapan uap lumpur Lapindo di Sidoarjo sana.

Tak lama disana kita melanjutkan perjalanan dan sempat mampir lagi untuk makan jagung sambil menikmati pemandangan kota Medan dari atas gunung. Yang unik disini, banyak sekali monyet, namun bukan sebagai peminta minta di pinggir jalan, melainkan menunggu lemparan jagung (atau bonggol jagung).

Buah Tangan Khas Medan
Terus turun melintasi jalan yang menukik dengan tikungan yang cukup tajam. Dari sini perjalanan mulai membosankan cenderung melelahkan. Apalagi rencana mampir makan duren tidak dapat terwujud karena ternyata tidak ada yang jualan duren sepanjang perjalanan turun ke Medan. Waduh. Untunglah tak lama, mulai memasuki kota Medan. Sesampainya di kota Medan, langsung menjemput Linda yang sudah membawa sekotak buah tangan khas Medan, seperti Pepaya Medan, Pisang Medan (Barangan) dan Markisa buah. Siang itu semua keroncongan. Atas saran Linda dan diiyakan seorang teman kantor lain yang juga bekerja di Medan melalui HP, kita memutuskan makan siang di Chinese Food Atek Botak. Disini makanannya sebenarnya enak, tapi kurang cocok dengan lidah kita orang Bangka (sebagian besar). Semua masakan terasa terlalu manis.

Perut kenyang, mulai kita mencari oleh oleh khas Medan untuk sanak saudara dan teman di Jakarta. Bika Ambon Zulaika, Bolu Meranti dan Bika Ambon ATI, yang ketiga tiganya berada di lokasi yang tidak berjauhan. Zulaika, yang amat terkenal di Jakarta, merupakan toko dan pabrik Bika Ambon yang dikelola seorang Hajah, yang berarti terjamin ke-halal-annya. Pun semua staff perempuannya berpakaiaan ala muslim alias berjilbab. Bolu Meranti sebenarnya hanya bolu gulung biasa sepeti bolu gulung lain yang bisa kita temui di mana pun di Indonesia. Bedanya, bolunya sangat lembut dan kejunya sangat berasa, yang membuat siapapun yang pernah mencicipinya pasti akan kembali membeli setiap berkunjung ke Medan. Gue aja yang kurang doyan keju, memilih yang keju, yang lain rasanya kurang enak. Ibarat kata, bukan Bolu Meranti kalau bukan isi keju. Sedangkan Bika Ambon ATI, lebih cocok untuk non-muslim, padahal belum tentu juga ngga halal. Masak bikin kue ambon pake bahan babi sih, ada ada aja. ATI ini letaknya di satu gang, penjual bika ambon semua, nah dia terletak di ujung jalan itu. Ada satu lagi yang menurut gue enak, yaitu bika ambon RIKA, bukan di gang ini, tapi ngga jauh letaknya, namun merk ini kurang terkenal sampai Jakarta.

Lepas itu, wisata kota Medan. Kesawan square dan Merdeka Walk tentu tak bisa dinikmati karena bukanya hanya di malam hari. Pilihan lain, istana Maimoen, rumah Tjong A Fie dan Gereja arsitektur kuil India, Maria Anai Velankani. Itupun rumah Tjong A Fie terlewatkan, karena masih nyari nyari teri medan yang ternyata adanya di pasar yang teramat sangat macet sembrawut.

Istana Maimoen lebih mirip rumah besar nan megah yang didiami bangsawan bergelar Tuanku dan Sulthan sejak tahun 1632. Mirip arsitektur Arab karena ada beberapa kubah di atasnya. Berwarna kuning mencolok, dengan sedikit warna hijau. Terdapat sebuah meriam peninggalan entah kapan, Meriam Puntung diyakini sebagai jelmaan seorang bangsawan yang berperang mempertahankan kehormatan adik perempuannya yang hendak dipersunting Kerajaan lain. Lengkap cerita tertulis di sebuah monumen yang dibangun di dekat tempat penyimpanan meriam.

Gereja Maria Anai Velankani, gereja katolik yang belum lama dibangun. Oleh seorang Pastor berketurunan India, Pastor James Bharataputra, SJ. Ketika bertemu beliau, dengan antusias beliau membagikan brosure gerejanya untuk diwartakan ke Jakarta, juga menunjukkan tempat air suci di bawah kaki patung Bunda Maria. Beliau juga menyempatkan untuk foto bareng kita. Very humble servant. Mengenai air suci di bawah kaki patung Bunda Maria, ada cerita di balik itu. Waktu pembangunan gereja, ada air yang mengalir terus tapi tidak diketahui sumber mata airnya. Dicari terus, ketemu, tapi ternyata airnya keruh. Suatu malam, Pastor James bermimpi, didatangi Bunda Maria yang mengatakan kepadanya bahwa, mata air tersebut ada di bawah kakinya. Ternyata benar, digalilah tanah dibawah kaki patung sang bunda, dan meluap luap air yang jernih bersih dan dapat diminum. Tak lupa kita mengisi air tersebut ke dalam bekas botol Aqua. Bangunan dalamnya tertulis ayat ayat kitab suci dalam 4 bahasa, Indonesia, Inggris, India dan China. Ada suatu muzizat yang terjadi menjelang pembangunan gereja ini, yaitu tidak terbakarnya uang sumbangan untuk pembangunan Gereja sebesar 10 juta, sebuah kitab suci dan rosario dalam suatu peristiwa kebakaran. Dan muzizat muzizat lain berupa penampakan sang Bunda di Velankani, India, yang bisa dibaca di sekitaran rumah doa yang diperuntukkan bagi sang Bunda.

Masih ada sedikit waktu sebelum penerbangan kita yang sengaja kita jadwalkan yang paling malam, duren Medan! Hehe, sampai bang Yohanes bilang, “tenang bu, duren ibu aman” karena memang Nat yang paling getol minta duren Medan. Kita dibawa ke suatu daerah yang mirip mirip pasar. Setelah mobil diparkir, langsung kita menyerbu tukang duren yang ramai berjualan di sana. Lapak jualan duren di Medan, seperti halnya di daerah daerah lain di Indonesia, menyediakan tempat untuk langsung makan di tempat. Bisa minta dipilihin yang manis atau kalau suka, yang agak pahit pahit sedikit. Kita minta dibukain 5 biji seharga Rp 50,000. Duren Medan memang tiada duanya, enak, lembut dan gurih.

Terakhir, sebelum menuju bandara, kita dimampirkan di rumah makan BPK (babi panggang Karo). Berbeda sedikit dengan saksang, babinya dipanggang dulu, kemudian disiram kuah yang mirip kari berwarna coklat pekat. Karena takut keburu pesawat, BPK nya dibungkus untuk makan di Bandara atau bawa pulang ke Jakarta.

Sesampainya di bandara Polonia Medan, memang agak membingungkan. Terminal ke berangkatan bandara ini sempat terbakar bulan Desember yang lalu, sehingga keadaan agak kacau. Pintu masuknya pindah ke belakang, counternya-pun amburadul, dan yang lucu, timbangan bagasinya menggunakan timbangan manual yang bulat gede lengkap dengan jarum penunjuknya. Selesailah perjalanan 3 hari yang cukup padat dan sangat menyenangkan. Tak sedikitpun rasa lelah membekas di wajah wajah para petualangnya. Tak terkecuali Nat, yang seharusnya lelah, di awal masa masa kehamilannya. Semua puas. Pulang membawa ceritanya yang sama, namun dengan sudut pandang yang mungkin berbeda beda.

Asal muasal Danau Toba
Dalam suatu kesempatan berbincang dengan Papa ketika berada di Feri. Papa terkagum kagum dengan awan yang menyelimuti bukit barisan. “Langitnya sangat dekat” katanya. Kerena kita memang berada di permukaan tinggi, sebuah bukit atau gunung. Dugaan kita, danau toba ini hasil letusan gunung yang amat sangat besar, mungkin ribuan tahun yang lalu. Ternyata memang benar, menurut Wikipedia, diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu dan merupakan letusan supervolcano (gunung berapi super) yang paling baru. Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan pada beberapa spesies juga diikuti kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA, letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar ribuan saja.Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir.

Sepanjang perjalanan meninggalkan danau Toba, mungkin ada 1 jam perjalanan lamanya pemandangan tak lain hanya danau Toba saja, dan ibaratnya laut, tak kelihatan ujung yang danau di seberang sana. So we wonder, berapa ya luasnya danau ini? 100km x 30km, dan diklaim sebagai danau paling luas se-Asia Tenggara, bahkan Asia. Sementara P. Samosir dipercaya sebagai asal muasalnya orang Batak. Warga asli P. Samosir sebagian besar bermarga Samosir.

Karo dan Tapanuli
Berbeda dengan Manado yang mayoritas warganya pemeluk agama Kristen, di Medan, mayoritas adalah muslim, dengan pemeluk agama Kristen yang juga hampir tak kalah banyaknya. Sehingga ada suatu pemandangan yang agak ngga biasa. Disini, rumah makan yang khusus berjualan masakan muslim, tertulis besar besar, ‘Rumah Makan Muslim’ sedangkan yang tidak menuliskan hal tersebut, hampir bisa dipastikan menjual makanan non-muslim alias haram bagi umat Islam. Makanan seperti BPK, Saksang, Lomok Lomok (daging babi muda atau anak babi), tertulis besar besar di depan restaurannya. Menurut bang Yohanes, yang asli Ambon namun yang sejak lahir tinggal di Medan dan menikah dengan marga Sipayung ini, mayoritas orang Batak ada 2, yaitu Tapanuli dan Karo. Tapanuli kebanyakan tinggal di Medan, Siantar sampai ke Parapat sana. Sedangkan di Berastagi akan banyak menjumpai warga Karo.

Horas adalah sapaan awam orang Batak Tapanuli. Artinya, salam, selamat datang, selamat tinggal, selamat pagi/siang/malam, Tuhan memberkati, semoga sehat walafiat, dan banyak lagi yang bagus bagus. Sama halnya dengan sapaan khas orang Batak Karo, Majuah juah yang artinya kurang lebih sama. Selain kedua kata itu yang gue inget, ada kata lain seperti: Pajak = Pasar. Pasar = jalanan di depan pasar. Lomok lomok = anak babi / babi muda. Mendurung = meminta sumbangan di tengah jalan pakai jala, biasanya untuk pembangunan Masjid.

Yang terlewatkan
Sewaktu kita bersantap di restaurant Acek Botak sambil berbincang bincang dengan Linda, terbersit penyesalan yang sedikit merusak kesenangan dan kepuasan perjalanan kali ini. Namun, salah siapa, memang waktu yang kita atur (dan yang kita punya) sangat tidak memadai untuk semua keindahan Sumatera Utara, terutama di danau Toba dan P. Samosir. Selain air terjun si piso piso, ternyata masih ada beberapa tempat, terutama di P. Samosir yang terlewatkan. Menurut cerita Linda, tak jauh dari Tuk Tuk itu ada sumber mata air yang konon memiliki 7 warna. Juga makam tua raja Batak yang bernama Raja Sidabutar, yang ternyata letaknya hanya di atas sedikit dari kios kios jualan souvenir di Tomok. Berarti situs yang terlewatkan oleh kita ternyata hanya sebatas jalan kaki saja. Amat sangat disesali. Juga sebuah legenda yang terlewatkan, yaitu Batu Gantung yang seharusnya bisa kita lihat ketika menyusuri danau Toba. Satu lagi, yaitu TWI, Taman Wisata Iman, tak jauh dari lokasi air terjun si piso piso.

Pulang, ngga lama, langsung gue melakukan searching di internet, what have we missed. Ternyata ngga semua kok. Gue sempet masuk ke beberapa situs wisata Samosir maupun Danau Toba, tidak menemukan apa apa tentang mata air, apalagi 7 warna. Namun, sedihnya, yang lain semuanya nyata, dan di situs situs itu dipromosikan dengan sangat indah. Maybe next time :_P

01 April 2008

AjNatz, journey of second year, the beginning

My life will change, they say… Sudah mulai terasa sih… Tahun pertama kita yang penuh jalan jalan traveling leisure akan berubah. Memang sudah cukup bagi kita dan betapa kita sudah siap menerima anugrah yang membahagiakan ini. Tak ada maksud lain untuk menunda-mu selain kita ingin menerima-mu dengan penuh kesiapan dan tanpa setitik-pun penyesalan. Cukup sudah Papa Mama-mu mengisi hidup untuk diri kami sendiri. Cukup sudah petualangan kami berDUA. Tahun kedua (dan juga seterusnya), hidup dan cinta kami hanya untuk-mu, Anak-ku. Kamulah kisah petualangan kami yang baru…

Pagi itu, suasana tegang. Koper sudah siap. Pesawat sudah menanti. Mens sekitar 2 – 3 hari lagi. Test pack yang dibeli dari China sudah siap. Wadah untuk menampung pipis pertama di pagi hari pun sudah terisi. Hasilnya 2 garis, 1 jelas 1 gak jelas. Duh, mana gue lupa lagi, itu artinya apa ya… maklum, keterangannya bahasa mandarin semua. Udah pernah nanya teman kantor sih cara bacanya, cuma setelah beberapa bulan, sudah lupa tuh… Apa ya artinya, positif, atau ragu ragu ya? Yg jelas sih bukan negative, soalnya kalo negative satu garis. “Udahlah pake Sensitif aja” OK deh. Ternyata sama. 1 garis jelas dan 1 garis ngga jelas. Kata Sensitif: “Ngga perlu ragu: POSITIF” WOW. Masih setengah ngga percaya bercampur perasaan senang dan surprise, gue ambil satu lagi test pack made in China. Hasilnya SAMA. We’re gonna be Mom and Dad. Congratulation.

Perjalanan ke Medan menjadi lain. Lebih berhati hati, iya. Tapi ngga membuat kita terbeban. Malah dalam setiap langkah kami, terbersit kebahagiaan dan perasaan bersyukur. Bahwa semua rencana kami direstui yang Maha Kuasa. 1 tahun pertama untuk honeymoon, memuaskan jiwa jalan jalan kami, sambil menyiapkan mental kami untuk menimang sang bayi. Ketika mulai kita merasa siap dan rindu akan kehadiran anugrah bayi lucu itu, tak ditunda tunda kebahagiaan kami sebagai calon orang tua.

Minggu lalu, ketika medical check menjelang kehamilan, memang ada hal yang sedikit mengganggu. Toxoplasma, Rubella dan CMV ketiganya positif. Untung IgM-nya negative hanya IgG-nya saja alias pernah kena dan ada antibody-nya. Dulu memang si Nat pelihara anjing waktu di kampung halamannya, Palembang. Waktu ketemu dokter specialist kehamilan di RS Hermina Daan Mogot (dengan dr. Yusuf), memang confirm bahwa tidak berbahaya, yang harus dilakukan hanyalah menjaga stamina dan kesehatan, supaya ngga terkena kembali. Bila dalam keadaan belum hamil, sebaiknya diobati, kecuali sudah hamil, begitu kata doker. Akhirnya obatnya kita ambil. Obat seharga Rp 500,000 yang ngga diminum (karena ternyata udah hamil). Untung obatnya dibayar kantor.

Pulang dari Medan, hal pertama yang kita lakukan adalah membeli susu ibu hamil. Tanya Tanya kiri kanan dan pilih pilih, akhirnya milih Prenagen, pertimbangannya, banyak yg minum. Nutrition-nya pun lengkap, dengan protein, folat dan DHA yang cukup tinggi. Besoknya, tes lab untuk kehamilan di laboratorium RS Hermina. Bayar Rp 50,000 dan cukup tunggu 15 menit, keluar hasilnya. KLOP, POSITIF.

Berikutnya, nyari dokter. Lebih baik dokter di RS Hermina Daan Mogot Baru, karena rencana persalinannya di RS ini dengan pertimbangan lokasi yg amat dekat dengan rumah. Dan kita langsung ngga milih dokter Yusuf karena orangnya rada plin plan. Waktu itu kita milih dia (untuk minta pengantar cek TORC) karena dia yang antriannya paling pendek. Ada satu dokter yang terkenal banget di RS Hermina ini, NK Hee. Tapi denger denger dokter ini suka sembrono, mungkin karena udah terkenal dan rame. Ihwal memilih dokter ini, seorang teman pernah berkata, “yang penting sreg, ngga penting reputasinya” Ia juga sih, as long as kita sreg dan percaya sama dokternya, itu yang paling penting.

Akhirnya pilihan kita jatuh pada dokter Hendy Mochtar. Belum bener bener pilihan sih, masih nyoba, gimana dokternya. Baru Kamis 28 Maret 2008 kemaren ketemu dia. Yang enak dari dokter ini, dia prakteknya dari jam 4 sore sampe jam 9 malam, jadi pas kita datang jam 7an jam 8 gitu udah sepi banget. Kemaren malah kita langsung masuk tanpa mengantri. Dokter ini kebanyakan basa basi, sampai ada sesi tebak tebakan lagu westlife segala (berawal dari kartu Re-life, asuransi kantor-nya Nat). Tapi, in overall OK lah, bisa tanya tanya dan penjelasan dia pun meyakinkan. Namun kita belum decide.

Ya, inilah awalnya. Awal kehidupan baru kami. Awal petualangan baru kami. Awal kebahagiaan baru kami. Betapa senangnya, melalui USG 2 dimensi, bisa melihat kantong rahim mungil yang sudah dipersiapkan untuk si kecil. Dan lebih bahagia lagi, gue bisa berada di samping Nat, pada saat mengetahui kabar gembira itu. Benar benar melengkapi kebahagiaan kami. Tahun kedua, kita sambut kehidupan baru, bersama si kecil, yang diperkirakan lahir 24 November 2008 nanti.