31 Desember 2008

AJNATZ, the second year of journey, catatan penghujung tahun


Tahun kedua kehidupan AjNatz berumahtangga. Berbeda dari tahun 2007 yang kita isi dengan jalan jalan, tahun kedua ini ada petualangan yang jauh lebih seru dan, jujur, melelahkan. Maksud gue secara fisik. Namun kelelahan itu sangat kita nikmati dan syukuri :_)

Ada 2 peristiwa penting sepanjang tahun 2008 dalam kehidupan Aj dan Natz. Bukannya yang lain ngga penting, namun kedua ini yang paling utama dan ‘mengubah’ kehidupan kita.

16 November 2008

Pertama, tentu tanggal penting di atas. ‘Little precious’ atau ‘bundle of Joy’ orang menyebutnya. Kami menyebutnya ‘Kelly’. Mahluk mungil ini menyita hampir seluruh kehidupan dan perhatian kita. Seluruh kebahagiaan kita. Tidak ada hal lain lagi yang lebih penting bagi kita. Ia pelengkap keluarga kita, AJNATZ no longer stands for Aj dan Natz, tapi ada Kelly di dalamnya.


Tahun ini juga kita mengangkat 2 anak asuh dari HDI Foundation, Risma Nur Alita dan Amalia Ramadani, keduanya murid TK Tunas Bangsa, Tangerang. Tunggu sampai Kelly besar sedikit, nanti kita kunjungi mereka :_)

Keputusan Penting

Yang kedua, yaitu keputusan penting untuk berhenti dari AKR dan bergabung dengan perusahaan sekarang ini. Awal July lalu, di Lampung, dengan long distance call berkali kali, akhirnya gue decide, menumpukan keuangan keluarga, tidak lagi pada AKR, tapi (mudah mudahan) ke tawaran yang lebih baik.


Assignment trip

Tak jauh berbeda dengan 2007, tahun ini pun banyak gue isi dinas di luar Jakarta. Dari sejak di AKR, dan di perusahaan baru, nature kerjanya tidaklah berbeda jauh. Surabaya, Palembang, Lampung, Medan dan Guigang (China) bersama AKR. Semuanya berkesan, Palembang, Medan dan Surabaya gue suka makanannya, Lampung, gue menikmati suasana dusun dan petani, China, asyik aja karena menyelami kehidupan sehari hari negeri lain.

Sejak di perusahaan baru (baru 4 bulan), mengunjungi Jambi, Pekanbaru dan Bangka, serta Hongkong. Jambi dan Pekanbaru juga suatu excitement karena pertama kali, walaupun tak terlalu istimewa. Sedangkan Bangka, jangan tanya, memang tanah kelahiran gue, jadi ngga heran gue enjoy banget. Hongkong, apalagi, sekali lagi, menjalani kehidupan mereka, bekerja, hang-out, sarapan pinggir jalan, layaknya orang sana.

Gue menikmati setiap trip yang ditugaskan, gue suka traveling, suasana baru, dan, tentunya, makan :_) Hanya saja, 2009 harus lebih sedikit bepergian, harus lebih banyak waktu untuk si kecil dan mamanya :_)


Leisure time

Tahun 2008 lebih banyak diisi oleh hari hari kehamilan Natz. Tapi dasar penyuka jalan jalan, tidak ketinggalan mengisi lembaran tahun ini dengan jalan. Namun tahun ini lebih banyak jalan jalan bareng keluarga Aj dan/atau Natz.

January 2008 adalah trip yang paling mengesankan. Phuket – Phi Phi island, KL – Genting dan Singapore. Kita bahkan sempat celebrate first anniversary di sebuah resto di Patong beach. Tidak mewah sih, tapi amat sangat melekat di hati.

Maret 2008 dan Agustus 2008, dalam kondisi hamil 1 dan 5 bulan, agenda jalan jalan tetep jalan :_P Kelly dalam kandungan mama sudah mengunjungi Danau Toba, Pulau Samosir dan Berastagi; Bukittinggi, Ngarai Sianok dan Lembah Harau. Juga menikmati saksang, durian medan, nasi kapau dan es durian padang :_P


Pada saat hamil gede pun sempat ke Anyer (Mambruk) dan sempat sekali ke Bandung. Bukan AjNatz namanya kalau tidak ada jalan jalannya :_P

How many nights in Hotels

Penasaran berapa malam gue spend the nights in Hotels. Sampai dengan akhir tahun 2008, ternyata ngga lebih banyak dari 2007. Total 77 malam dibanding 2007 96 malam dan 2006 74 malam. Di perusahaan baru ini harusnya frequency-nya berkurang, dengan tempat tujuan yang lebih bervariasi :_)


New Gadget


Tahun 2008 ini kita menahan diri tidak ganti handphone. Tapi sempet 2 kali beli digital camera. 1 Olympus (April) dan sebuah Canon (September). Olympus, habis trip ke Padang, diminta Mama, yang tiba tiba jadi hobi foto. Sebagai gantinya, sebuah Canon Ixus 950 yang ganti menemani kemanapun Aj. Puas banget menikmati makro-nya yang sangat sangat fantastis. Sayang kurang tajam untuk foto panorama, kalah sama Olympus. Begitu juga dengan zoom dan image stabilizernya, menang Olympus.

Gadget lain mungkin terlalu kecil untuk disebut. Sebuah scanner Canon untuk scan foto foto jadul yang takutnya bisa ‘musnah’; dan sebuah external harddisk 100GB untuk menampung lagu (downloadan dari multiply) dan foto dari Olympus, Canon dan scanner yang bejibun. Sayang external harddisknya sekarang ngadat kena virus.

Gonta ganti Mobil


Naik Innova sejak awal 2006 lalu, September 2008, sempat menjajal Nissan X-Trail lama sampai akhir Oktober. Salah satu paket benefit dari kantor baru. Dan sejak November 2008, Honda CRV untuk 4 tahun ke depan. Mudah mudahan awet :_)

Selain Innova, X-Trail dan CRV, juga sempet bawa Honda Jazz baru dan Toyota Yaris beberapa hari. Tukeran sama Khioko dan Cece. Saking seringnya gonta ganti mobil, Pak Ubai (sopir temporary kita) jadi bingung. Mobil bapak tuh yang mana sih? he he. Ohya, belum pernah mention sebelumnya di blog ini, bahwa kita hire seorang sopir (Pak Ubai) selama Natz hamil. Sekarang pun masih sering kontak dan pake jasa dia kalo dia lagi libur di majikan baru.

Laptop baru

Penghujung tahun, sekaligus hadiah ultah dan Natal untuk Natz, , sebuah Compaq seri CQ20 layar 12”. Mendapatkan itu (dengan harga murah) ngga gampang, tak kurang dari surfing internet (glodokshop, bhinneka, babeku dll) dan telepon ke beberapa kenalan toko IT. Paling murah ada yang bisa ngasih 8.1 juta (Babeku.com). Satu hari menjelang Natal, iseng telepon toko resmi HP, ternyata mereka bisa ngasih harga 7.9 juta (promo) yang membuat pesaing lain langsung angkat tangan. Sampai Ambasador, ternyata salesgirl toko salah menyebut harga promosi yang sudah lewat. Tapi pelanggan adalah raja ternyata berlaku disini. Kompensasi khusus diberikan, USD 759 dengan kurs 10,500 (kurs saat itu 11,300). Hemat 600 ribu dari harga resmi namun hanya 130 ribu dari babeku.com. Tapi, positifnya, gue dapet dari toko resmi, tentunya lebih terjamin.

Melengkapi ‘mainan’ baru tersebut, sebuah modem 3G merk Hwawei yang dibeli dari Bhinneka.com seharga 1.1 juta (juga harga termurah yang barangnya available). Supplier IT deket rumah membandrol 980an tapi tidak bisa janji kapan bisa deliver barang. Ambasador malah hanya berani di harga 1.3 termurah 1.15 juta. Gue sengaja ngga beli paket dengan penyedia layanan 3G supaya modemnya lebih fleksibel pake layanan apa aja. Lagian beli di luar paket lebih murah dan ngga terikat kontrak (setahun) dengan, misalnya IM2, Indosat atau Flash.

Terakhir, akin lengkap dengan paket murah Telkomsel Flash, untuk internet-an di rumah, 125 ribu perbulan + PPN. Gue pilih Flash karena layanan marketingnya jauh lebih baik ketimbang IM2 apalagi Indosat, yang terakhir ini, marketingnya mangkir mentang mentang besok hari libur.

(Agak panjang dan semangat membahas Laptop baru ini karena masih gress banget) :_P

Itulah rangkuman singkat kehidupan AjNatz di 2008. Tak terlalu istimewa, seperti judul blog ini ‘an ordinary journey’. Namun dijalani dengan syukur dan mood yang baik, semua jadi terasa lebih indah dan sangat istimewa.

Kembang api pun sudah bertebaran di luar sana. Selamat Tahun Baru 2009. Chapter baru petualangan biasa AjNatz (dan Kelly).

30 Desember 2008

BANGKA, the other side that I never knew …

Benar benar ngga nyangka bisa assignment ke kampung sendiri, 3 hari pulang kampung dengan biaya kantor :_) Dan 2 hari berada di sini, baru tau, dan benar benar ngga nyangka, ternyata lokalisasi bertebaran di pulau kelahiran gue ini.


18 – 20 December 2008

Sekali lagi gue meninggalkan Natz dan Kelly, lagi lagi assignment pendek, setelah Jambi dan Pekanbaru, kini gue berkesempatan kembali ke kampung. Seperti kata Nat, gue kayak kangen orang tua saja, pasalnya Mama yang seyogyanya datang 16 Dec 2008, tiba tiba ngga jadi, malah gue yang menyambangi mereka :_)

Ada semacam perasaan haru dan kangen meliputi diri gue ketika, dari balik jendela pesawat, perlahan pulau kelahiran gue itu tampak. Indah sekali. Mungkin biasa saja buat orang lain, namun bagi gue, indah, indah sekali. Beberapa spot terlihat kerusakan bekas tambang timah yang ditinggalkan begitu saja.


Yang menyenangkan lagi, pagi itu begitu mendarat, langsung diajak makan mie khas bangka di Pangkalpinang oleh Pak Yusuf dan Pak Ujang. Siangnya, selepas meeting beberapa jam dengan Pak Yusuf, Pak Tony dan Ita, kembali menikmati nikmatnya masakan Bangka, ikan tenggiri bakar dan lempah darat (keladi) di RM Istana Laut, yang didesain berbentuk kapal laut. Dibalut dengan nuansa pantai Pasir Padi yang siang itu sedang pasang dan ombak lagi tinggi tingginya. Lengkap sudah menikmati makanan enak dan pemandangan indah yang keduanya merupakan khas Bangka.


Malamnya, gue pergi sendiri ke Y2 café deket hotel Bumi Asih, tempat gue menginap. Disini, bertebaran café café yang dikelola oleh perorangan secara kekeluargaan. Tak jarang, pemilik café sendiri yang ‘turun’ menemani tamu untuk berbincang. Tak heran, di kota kecil ini (Pangkalpinang dan kota lain di Bangka pada umumnya), semua seolah saling mengenal, dan kalau dirunut runut, bisa jadi ternyata masih ada hubungan saudara.

Hari kedua di kota ini, masih tetap mencari masakan khas Bangka, gue diajak ke ‘kantin nad’ bersama seluruh staff kantor (hanya 4 orang). NAD bukan stands for “Nangroe Aceh Darussalam” sebab tidak ada masakan Aceh di sini. Pemiliknya pun asli orang Chinese Bangka. Ikan dalam lempah kuningnya luar biasa memikat. Gulai daun singkong (ho lan su jap) pun bikin makan makin lahap. Sudah lama gue ngga menikmati masakan demikian. Lidah gue bagai dibawa nostalgia masa kecil gue :_)


Kembali kerja dan dalam suasana mati lampu (sering banget), gue menuntaskan assignment ini dengan report singkat yang didiskusikan bareng dengan Pak Yusuf. Beliau setuju, tutup assignment. Malam ini gue mau have fun :_)

Sorenya, diajak makan bakso, karena malam nanti mau makan malam agak larut (jalan jalan lihat outlet). Kembali ke hotel, gue menikmati hotspot gratis di lobby sambil ditemani coklat panas. Jam 9 malam, dijemput lagi oleh Pak Ujang, Pak Yusuf dan Pak Tony. Jalan jalan malam.

Gue cukup kaget. Ternyata Bangka penuh dengan kehidupan malam, terutama yang kelas wisma dan remang remang. Gue baru sadar betapa naif-nya gue selama ini. Gue diputerin ke kompleks Piangsut dan Parit 16 (mirip Kalijodo di Jakarta). Dari balik jendela Innova yang mengantar gue, wanita wanita malam berpakaian serba minim melambai lambai. Malam itu suepi pengunjung. Sayang, gue ngga sempet foto. Tepatnya, gue ngga berani ngambil foto, nanti disangka naksirrr :_P

Lepas dari 2 tempat esek esek kelas bawah itu, gue diajak melihat segmen pasar yang lebih tinggi dari bisnis yang sama, pub, karaoke dan ‘pijat’. Nama tempatnya ‘Millenium’. Ada hotel, diskotik, bar, bilyard, karaoke dan tempat bobo. Diinformasikan Pak Tony, dulu ada striptease, yang sekarang sudah dihentikan. Disini, lebih baik, paling tidak ‘barang’nya bisa berdandan layaknya orang daripada di lokalisasi tadi. Beberapa sempat datang ke meja kita menawari diri, mereka cukup luwes, dan tidak terlalu memaksa kalau kita memang tidak mau ditemani mereka. Rata rata mereka ini orang Jawa, Indramayu atau Cirebon, atau Lampung, tapi Lampung Jawa. Kehidupan memang tidak ramah, sampai harus ada yang bekerja di lahan ‘nista’ seperti ini. Kabarnya, mereka ini bisa langsung diajak ‘ngamar’ dengan rate 400 ribu saja.


Berikutnya, kita masuk ke suatu café yang ada live music-nya. Gue lupa nama cafenya. Yang punya namanya Pak Damas, Chinese Bangka, dan beliau sendiri yang turun mengobrol sama kita. Mostly memang omongan bisnis. Performance band-nya cukup apik, cukup interaktif dan menghibur. Dan hiburan ini ada tiap malam, bukan hanya malam malam week-end saja, walaupun sebenarnya café-nya sepi pengunjung.

Dari semua tempat yang kita singgahi malam itu, memang terlihat sangat sepi. Sejak harga timah jatuh, geliat perekonomian pulau Bangka ini langsung melambat. Pendatang dari Jawa yang mengorek rejeki lewat bisnis Timah (bekerja sebagai penambang)pun banyak yang memilih pulang. Kota langsung sepi. Dulu, waktu timah lagi jaya jayanya, jangan tanya… bisnis hiburan malampun gemerlap.

Esoknya, pagi jam 6 gue sudah bangun. Breakfast bareng Pak Ujang yang udah janjian mau nganter gue dari Pangkalpinang ke Belinyu (desa kelahiran gue). Butuh sekitar 2 jam dengan jalan yang mulus. Dulu, jaman gue masih anak anak, bisa 3 sampai 4 jam, dan perjalanan Belinyu ke Pangkalpinang adalah sesuatu yang ‘berharga’ karena dari desa ke kota, dulu, waktu gue masih kecil. Sampai parit 18, gue beli nasi tim ayam untuk Mama. Hanya untuk mengenang masa lalu, selalu mampir makan nasi tim disini. Dan Mama doyan banget, katanya sulit banget nyari yang begini, apalagi di Jakarta.


Sampai dirumah, baru pk 8.30 pagi. Papa aja sampai kaget, gue sepagi itu sudah sampai. Dan kabar gue mau balik, baru gue sampaikan hari Rabu yang lalu. Cukup mendadak, namun cukup waktu untuk membungkus semua oleh oleh pesanan gue :_) Masuk ke dalam rumah, sudah bertumpuk rapi getas dan kerupuk untuk gue bawa ke Jakarta. Dan Mama juga menyiapkan martabak bangka untuk sarapan pagi itu. Papa dan Pak Ujang sempet ngopi bareng pula. Pak Ujang ini kelahiran Toboali dan lama di Pangkalpinang, sempet di Jakarta hanya 3 tahun. Dan dia lebih tau Belinyu daripada kita orang Belinyu :_P

Masih pagi itu juga, kita minta tolong Pak Ujang antar ke kuburan Kakek Nenek dari pihak Papa. Dalam suasana Natal, alahkah baiknya berdoa sejenak disana, juga merupakan kebiasaan gue setiap pulang kampung. Mengunjungi rumah Apak (koko-nya Papa) dan mengajak Apak serta ke kuburan, berdoa bersama. Gue sempet mengamati souvenir olimpiade di rumah Apak, yang dibelikan anak anaknya dari Jakarta. Ohya, sebelumnya sempat mampir ke rumah produksi otak otak, untuk membuat pesanan, 80 otak otak untuk dibawa ke Jakarta :_P


Selepas itu, pulang ke rumah, Papa Mama segera menutup toko. Kita lanjut ke pantai. Ngga afdol dong kalo ke Belinyu ngga ke pantai. Belinyu ini gudangnya pantai indah, Mantung, Penyusuk, Remodong, pantai sungai Belinyu dan R_______. Pantai terakhir inilah yang kita kunjungi. Bukan karena paling bagus, namun karena yang ini, belum pernah gue kunjungi sebelumnya. Orang Chinese menyebutnya ‘Muk Ka Theu’ (Pohon Pepaya), mungkin karena dulu banyak tumbuh papaya disini. Sekarang hanya ada 1 – 2 batang saja.


Ombak besar menyambut disana, puluhan nelayan (Chinese) duduk menganggur di depan rumah. Puluhan juga kapal tidak melabuh, memenuhi bibir pantai. Tak lama kita disitu, hanya foto foto sejenak. Perut keroncongan, balik untuk cari makan siang.

Jatsun. Itu yang terlintas di benak gue. Mie khas Belinyu ini, dulu waktu ‘honeymoon’ dengan Nat di Bangka, sempat terlewatkan. Akhirnya kini kesampaian juga. Mie dan Selada (semacam gado gado). Nikmat banget. Sayang haram, sehingga Pak Ujang tidak bisa ikutan. Pemiliknya, Om Jatsun, masih tampak segar diusianya yang sudah 70 tahun. Ia dibantu anaknya. Tak nampak banyak perubahan pada wajah orang tua itu, tak jauh berbeda dengan ketika gue masih kanak kanak.


Balik ke rumah, gue sempet liat bunga bunga Mama yang apik. Untuk mengisi hari, selain menjaga toko pakaian yang biasanya sepi, Mama mengisinya dengan memelihara tanaman bunga. Beberapa ia bawa dari Jakarta.

Setelah oleh oleh di pak dengan rapi, gue berpamitan dengan Papa Mama, berangkat jam 12an untuk pesawat jam 5 sore. Soalnya masih mau mampir ke Goa Maria Belinyu. Sekedar berdoa dan mengambil beberapa foto disana. Orang dari jauh semua datang ke sini untuk berdoa, gue sudah disini, tak ada salahnya mampir. Tak lupa mampir untuk ambil pesanan otak otak tadi pagi.


Lanjut perjalanan kembali ke Pangkalpinang. Sekitar jam 2an sudah kembali. Dan gue minta mampir kembali ke hotel, untuk souvenir yang sudah gue taksir, namun dari pagi toko souvenir di pojok hotel Bumi Asih itu masih tutup. Ternyata masih tutup sampai sore itu. Gue tetep maksa harus bisa. Akhirnya 3 buah tempelan kulkas ‘otak otak Bangka’ berhasil gue boyong pulang :_)

Sama Pak Ujang, gue dimampirkan ke RM Fuksin, untuk mengambil babi panggang pesanan pak Yusuf. Pak Yusuf yang asli muslim ini (orang Palembang, besar di Malang, lama bertugas di Lampung), tau benar oleh oleh khas Bangka ini. Dan di tempat ini, berbeda banget sama tempat lain, gurih, harum dan tidak berlemak. Dulunya gue biasa beli di lapak depan bandara, yang ini (Fuksin) jauh lebih enak. Lain kali harus nitip sama Papa nih :_) Gue bawa ke kantor juga 1 kg untuk cicip teman teman kantor dan mereka tergila gila :_P

Ngga nyangka :_) Penugasan yang ditutup dengan manis. Pesawat Batavia pun hanya delay beberapa menit setelah bandara diguyur hujan lebat. Pulau Bangka (propinsi Bangka Belitung) sungguh kaya akan potensi pariwisata, namun terbengkalai. Ada investor hotel dan tempat hiburan berdatangan namun angkat kaki di tengah proyek berjalan. Novotel misalnya, sudah memasang tiang pancang untuk hotelnya, namun angkat kaki. Lokasi Mal besarpun sudah di kosongkan, namun pembangunan tak ada kabar. Masalah yang paling besar adalah ketersediaan listrik. Listrik di Bangka ini sangat mahal (karena pakai genset). Pemerintah belum mampu memberikan listrik yang cukup, sehingga dimatikan secara bergiliran. Tak heran, setiap rumah di Bangka pasti ada pembangkit listrik sendiri (genset). Dan tak heran pula, solar menjadi sangat langka disini.


Padahal, kalo dikembangkan, Pantai-nya (yang bertebaran), tak kalah menjualnya dari Bali. Masyarakat pun ramah, sangat welcome dengan orang asing. Peradaban budaya orang Chinese-pun menurut gue bisa dikemas sebagai daya tarik. Sebab, disini cukup terpelihara budaya chinesenya dan orang Melayu pun menghormati. Lalu, pemerintah tunggu apa lagi?

Foto foto selama di Bangka di sini

26 Desember 2008

Pekanbaru – Duri – Dumai, buminya CEVRON

Menginjakkan kaki di bumi Riau bagai memasuki sebuah dimensi yang berbeda. Dimensi dimana sebuah kota dikuasai bukan oleh diri kita sendiri, kita hanya mengais dari sisa pundi pundi raja minyak dari Amerika, CEVRON. Sebuah pemandangan yang amat memiris hati. Memasuki kota Duri, ada sebuah pigura bertuliskan: “Minyak Bumi Tuah Negri” yang seharusnya diberi tanda tanya. Kok diambil orang asing?


9 – 11 December 2008

Di bandara. Bertemu Fifi Kartini (ex KPMG) yang pagi itu kebetulan juga terbang ke tujuan yang sama. Ternyata ada Arifin (ex KPMG juga) yang juga sama, ternyata mereka satu company, bedanya Arifin base di Jakarta sementara Fifi base di Pekanbaru (hari itu baru pindahan). Sayang sepanjang berada di Pekanbaru, tidak sempat jalan/makan bareng.

Tiba di Bandara Sultan Syarif Kasim II masih pagi. Jemputan Hotel Grand Elite Pekanbaru sudah menunggu di muka pintu. Masih bersama Bernard (= Jambi). Setengah jam kemudian sudah sampai di Hotel di dalam kompleks perkantoran itu. Hotel yang lumayan apik, Bintang 4 dan baru saja (sedang) di renov. Sayangnya, kenyamanan dan fasilitas Hotel yang sebenarnya memadai, ternodai orang staff staff Hotel yang amat tidak cekatan dan tidak simpatik. Ria, employee of the month, menjawab sekenanya waktu kita tanya tanya soal kota Pekanbaru. Beda banget waktu tanya di Novotel Jambi yang sangat jelas menjelaskan kota Jambi. Kelihatannya memang belum cukup ditatar, atau jangan jangan orang Pekanbaru memang baru segitu tingkat peradabannya? Mudah2an ngga.


Hari itu juga kita decide langsung keliling kota Pekanbaru. Diawali dengan makan siang yang cukup apik di Pondok Gurih. Entah makanan Sunda atau Melayu, mungkin campuran. Ada Gulai patin dan telur ikan pepes. Tahu isinya pun sangat gurih. Ngga salah nih rekomendasi si sopir.


Ternyata kota ini tak jauh berbeda dengan Jambi. Tempat hiburan hanya mal. Tidak ada gunung dan tidak ada pantai. Jadilah malam itu kita main ke Mal Ciputra Seraya, yang letaknya dekat dengan Grand Elite, kira kira 300 meter saja. Tidak ada yang istimewa di Mal ini. Malamnya, iseng kita ke Furaya Hotel dan baru tau kalo ada jembatan yang mirip di sungai musi, namanya jembatan Tengku Agung Sultana Latifah, diatas sungai Siak (terbesar di Pekanbaru). Namun, sampai hari terakhir, wujud aslinya tidak pernah tampak. Memang kita ngga niat niat amat untuk melihat, mungkin karena orang Pekanbaru sendiri tidak semangat mempromosikannya. Ngga pernah kedengaran mereka menyebut nyebut ‘objek wisata’ ini. Kita pun taunya dari poster yang tertempel di dinding hotel.


Esoknya, kita decide untuk hunting lebih jauh, ke Duri dan Dumai. Pekanbaru boleh ibukota Riau, tapi jantung kehidupan sebenarnya di propinsi ini, adalah kedua kota di atas. Tiap dollar mengalir dari sana, masyarakat sejahtera namun semu, bumi Riau, bumi Cevron. Seluruh kota sudah dikuasai perusahaan minyak raksasa Amerika itu. Sepanjang jalan antarkota nan mulus itu, pipa pipa berukuran besar bertulisan “awas” dan “caution” di kiri kanan jalan. Sudah pasti milik Cevron. Jalanan didominasi mobil pengangkut sawit, mobil pengangkut CPO dan mobil mobil besar lainnya milik Cevron. Truk besar terperosok dan bahkan terbalik adalah pemandangan pasti dikala hujan. Itu kita buktikan sendiri pada perjalanan pulang yang diguyur hujan cukup deras.


Kota (atan peradaban) pertama yang kita temui setelah kota Pekanbaru adalah kota kecil “Kandis”. Selebihnya adalah lapak lapak yang bisa dipastikan adalah warung remang remang pada malamnya. Bilboard kecil Guinness memonopoli warung esek esek tersebut. Percaya deh, sepanjang jalanan yang kita lewati, banyak banget tempat ‘istirahat’ atau tempat ‘bobo’ sopir sopir yang kelelahan. Tempat tempat seperti ‘Zam Zam’ dan ‘Pinggir Rel’ dll, ‘disponsori’ oleh produk produk minuman keras.

Kontradiksi dari warung remang remang, adalah gereja... Di lokasi lain perjalanan, suasana religius justru menyelimuti. Gereja dan Lapo (warung dalam bahasa Batak, biasanya menjajakan masakan babi ‘saksang’), tak heran, sebab disini 80% penduduk adalah pendatang asal sekitaran Medan yang notabene orang Batak. Menarik.


Tiga setengah jam perjalanan, memasuki kota Duri, jauh dari kesan kota besar, tak jauh beda dengan Kandis, hanya saja rumah rumah di Kandis agak lebih renggang. Disini, kita hanya mampir makan siang di RM Padang, Simpang Raya, yang kata sopir kita sih, cuma ini restaurant yang cukup besar disini.


Kira kira satu jam berikutnya, sampailah kita di kota Dumai. Terlihat lebih ramai dan lebih besar. Banyak restaurant dan Hotel yang cukup besar dan sebuah Mal (Plaza Dumai). Kota-nya pun lebih hidup dari Duri. Kita sempat jalan ke pelabuhan barang dan pelabuhan orang. Banyak sekali ruko tempat berjualan tiket Feri express ke Batam, Bintan atau Singapore dan Malaysia. Tak jauh, tak lebih 10 jam dengan Feri itu. Disana, sempat kita berhenti di Comfort hotel *** untuk sekedar minum dan istirahat sejenak. Sampai sore, sekitar jam 5, kita putuskan untuk kembali ke Pekanbaru.

Sampai Pekanbaru, kita makan malam di Pondok Serba Nikmat rekomendasi temen temen Fifi (lwt SMS) yang asli Pekanbaru. Memang nikmat banget. Ikan bakar yang segar, udang pete, dan gulai kerupuk jange, dengan kuah yang hangat hangat kental. Bener bener serba Nikmat.

Hari terakhir, pesawat kembali ke Jakarta jam 5 sore, memberi kita banyak waktu lagi disini. Kita isi dengan berjalan ke Mal yang belum kita datangi, Mal SKA (terbesar di Pekanbaru, mereka membacanya S-K-A, bukan Ska) dan Mal Pekanbaru (mereka menyebutnya MP ‘Melrose Place?’). Tidak ada yang istimewa selain Samsat (layanan STNK, SIM dll berkenaan dengan kendaraan) ada di dalam Mal SKA. Dan MP, tak ubahnya pusat handphone. Kita sempet makan siang disini, Ikan Goreng Cianjur. Bukan salah tulis, memang bukan ikan Bakar Cianjur.


Sore itu, bandara cukup ramai, namun didominasi penerbangan ke Jakarta (semua maskapai). Batavia sedianya terbang jam 6, delay sampai jam 9 malam. Untung gue naik Garuda (jam 7 malam). Disini ada lounge (Serendit Lounge) yang lagi lagi gue ngga bisa masuk :_( Sekarang persyaratan kartu kredit untuk airport lounge makin susah, termasuk yang platinum :_(

Hanya ini yang bisa gue share tentang Pekanbaru. Tak lebih istimewa dari Jambi, namun juga tak lebih membosankan. Yang hebat disini semua hotel dan banyak tempat umum yang free hotspot. Hotel Grand Elite pun demikian. Juga hotel Comfort di Dumai, bahkan hotel yang ga ternama seperti Gran Zuri pun lengkap dengan free hotspot. Riau, infrastruktur cukup bahkan sangat memadai berkat imbas dari Cevron. Namun harusnya bisa lebih dari itu. Sepanjang jalan Pekanbaru – Duri – Dumai, hampir semua rumah dan gubuk punya parabola sendiri. Namun seharusnya bisa lebih dari itu. Harusnya merekalah (pemerintah) yang empunya bisnis minyak ini, tidak hanya menonton dan senang dengan cipratan saja.

16 Desember 2008

Manisnya dunia Aj


Hari ini, dua orang yang paling berarti dalam hidup gue merayakan hari istimewa, Natz merayakan ulang tahun dan Kelly kecil genap 1 bulan.

Lengkaplah kebahagiaan gue sebagai suami dan Papa. Tidak ada hal lain yang lebih penting lagi bagi gue :_)

Foto Kelly 1 bulan di sini.

09 Desember 2008

JAMBI, tidak ada yang istimewa disini …

Teman seperjalanan gue (Bernard) menyebut ini perjalanan sekali seumur hidup. Tidak dalam arti yang terlalu positif. Maksud dia, “ke Jambi? Ngapain (kalo ngga ditugasin kantor)?” Dan gue sangat setuju sama dia.

1 December 2008 – 4 December 2008

Keputusan untuk visit ke Jambi diambil hanya dalam hitungan menit. Pagi 1 December 2008, menyadari Tanjung Pinang bukanlah lokasi yang tepat untuk disurvey, pagi itu juga langsung berubah haluan ke Jambi. Tiket pesawat pun di-cancelled (non-refund). Pagi itu juga, langsung nyari penerbangan ke Jambi. Dan kita cukup ‘beruntung’ untuk dapat 2 seat terakhir.

Penerbangan 1 jam itu sangat ramai. Tante yang duduk disebelah gue menyebutnya kayak di pasar. Dan memang kayak di pasar. Pramugari lalu lalang ‘panen’ jualannya amat sangat laku. Bos bos Jambi borong. Mulai dari perhiasan imitasi, parfum, sampai peralatan menicure. Baru kali ini gue melihat keramaian seperti ini di dalam pesawat. Tapi gue dapet gambar yang lumayan bagus dari atas pesawat. Dugaan gue ini kita masih diatas kepulauan seribu.


Sampai Jambi, sudah ada penjemput dari Novotel yang gue pesen juga baru dari tadi pagi. Ada 3 hotel yang cukup representative disini, Novotel (Accor) dan Abadi Hotel (local management). Keduanya berbintang 4. Kalau mau lebih mewah, bisa di Abadi Suite (Bintang 5), dengan rate dari limaratusan ribu sampai sejutaan semalam. Perjalanan kurang setengah jam dari bandara menuju lokasi ketiga hotel tersebut di tengah kota (Pasar Angso Duo).


Setelah istirahat sebentar, sore menjelang malam, kita turun untuk makan malam di hotel dan kemudian tanya tanya ke Business Center, apa yang bisa kita lakukan di Jambi ini. Menurut ‘ayuk’ Yuli yang jaga malam itu, dengan sangat jujur dia mengakui Jambi tidak ada apa apa. Hanya jalan jalan ke Mal, atau daerah pinggiran sungai Batanghari. Biasanya, orang Jambi wisata keluar kota, misalnya ke Gunung Kerinci yang jaraknya sampai 9 jam dengan mobil (what??!). Waktu gue tanya, ada pantai ngga? “Oh ada, di Kuala Tungkal, 3 jam dari sini (toewewewew!!).” Dia menjawab bagus dengan mantap waktu kita tanya pantainya bagus apa ngga. Ohya, sebenarnya sedang musim durian di Jambi. Tapi sayang, sampai malam terakhir, ngga terwujud mau makan durian di pinggir jalan. Mengingat, hampir setiap malam kita pulang minum bir (berkenaan dengan tugas), riskan banget ditimpalin durian.

Besoknya, after lunch dan berdiskusi dengan sopir dari rental mobil yang kita sewa, kita memutuskan memperluas survey ke daerah Kuala Tungkal. Perjalanan awal cukup mulus, namun, setelah lewat kota S_______, perjalanan mulai tidak nyaman. Berlubang lubang, batu, tanah, bahkan lumpur. Beberapa truk tampak terseok di tengah jalan berlumpur itu. Tapi gue cukup menikmati perjalanan 3 jam itu. Rumah rumah panggung mendominasi awal perjalanan, sementara rumah walet sepanjang jalan menjelang dan di dalam kota Kuala Tungkal. Yang membuat gue terjaga dari tidur adalah truk truk besar dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan di jalur yang hanya muat 2 mobil kecil itu. Truk muatan kayu adalah yang paling mendominasi.


Selain itu, yang membuat gue terjaga, dan tak kuasa menahan geli, adalah, foto foto para caleg DPRD setempat yang jadul abis. Ada yang melotot, ada yang mengulum bibir atas seolah menyembunyikan kumisnya yang lebat, ada yang pose mayat (kaku) dan ada yang benar benar seperti mayat. Ada yang style sopir angkot, cleaning service, tukang reparasi, ada yang pose nyetopin mobil tebengan (kasih jempol) dll deh. Sepertinya para caleg itu perlu kursus berpose dulu. Very funny and entertaining that keep me awake the whole journey. Sayang gue ngga sempet foto, soalnya mobil melaju cukup kencang.

Sampai di Kuala Tungkal, tentu, kita ngga mau melewatkan untuk melihat pantainya. Sopir kita pun cukup meyakinkan bahwa pantai ini bagus dan sayang untuk dilewatkan. Ternyata, di pantai yang mereka sebut Ancol ini, tak lebih dari sebuah muara sungai ke laut, dengan pohon bakau sekeliling. Mereka membuat pondok untuk bersantap dan sebuah panggung hiburan. Sama sekali tidak menghibur. Tidak ada pasir, pohon kelapa, angina semilir, bahkan ngga bisa disebut sebagai pantai. Tapi inilah yang ada disini, nikmatilah selagi disini, tanpa bisa mengeluh…


Kita juga menyempatkan diri ke pelabuhan barang dan pelabuhan ferri. Pelabuhan yang sangat kecil sekali ini merupakan akses terdekat / pintu gerbang penumpang dan (terutama) barang, dari dan ke Batam/Singapore.


Kembali ke hotel lewat jam 8 malam. Walaupun belum terlalu malam, rasanya sudah ngga kuat lagi untuk beranjak. Perjalanan PP 6 jam lebih dengan kondisi jalan yang sangat tidak mulus membuat badan ini rasanya mau rontok.

Esoknya, kita jalan sekitaran kota Jambi saja. Ternyata, yang unik dari Novotel Jambi, adalah terdapat pusat belanja Matahari dan tempat makan Pizza Hut. Dibelakang hotel, terdapat pasar dan Supermarket yang cukup besar, Tropi. Sebuah Mal sangat dekat dengan Novotel, Jambi Prima Mal. Cukup dekat, hanya 10 menit dengan taxi, namun, taxi disini benar benar keterlaluan. Mengetahui yang naik tamu luar kota, kita diberi tarif 25k sekali jalan dan semua kompak ngga ada yang mau lebih murah. Memang, di Jambi ini taxi tidak ada yang menggunakan argo, walaupun argometernya terpasang. Saking dekatnya dan pas pulang susah nyari taxi, kita sepakat untuk jalan kaki. Jalannya sangat mudah diingat karena tidak berbelok sekalipun, dan bisa ditempuh kurang dari setengah jam dengan berjalan santai. Jambi Prima Mal orang sini menyebutnya ‘Trona’ karena ada Supermarket bernama itu.


Satu lagi pusat keramaian yaitu WTC Batanghari yang letaknya persis di pinggir sungai Batanghari. Disini, kita sempat makan siang di resto fast food Jepang Zenbu, lumayan juga. Terutama karena bisa makan sambil ‘menikmati’ pemandangan Sungai Batanghari yang sebenarnya ngga ‘nikmat nikmat amat’. Sungainya butek, kuning. Tampak kapal kapal kecil lalu lalang. Tak jauh dari WTC, ada semacam ‘halte’ untuk menunggu kapal yang menyeberang ke seberang sungai sana. Harus diakui, sungai ini cukup besar. Mungkin perlu sekitar 20 menit, untuk kapal bermesin motor itu membawa penumpangnya menyeberang.


WTC ini boleh dibilang masih baru, pusat hiburan yang terbaru di Jambi. Sudah ada bioskop 21 (yang semua teaternya memutar film Indonesia), dan bakal hadir Hypermart yang tampaknya cukup besar. Taxi dari Novotel ke sini, sama, 25k untuk tamu luar kota :_( Jaraknya juga sangat dekat, sekitar 15 menit. Namun kali ini pulangnya ngga jalan kaki, karena jalannya agak memutar. Taxi pulang 22k karena bayarin parkir si taxi tadi.


Malam saatnya ber-leisure :_P Club malam dan live music adalah tujuan kita. Sempet didatangi Mami di Golden Palace dan di Novotel (diskotik) sempet ditawari si WTSnya langsung. Pekerjaan seperti ini benar benar harus pintar bawa diri. Tapi keduanya (WTS dan Mami) tampak cukup menghargai kalau ada tamu yang hanya sekedar datang untuk minum.

Terakhir, nonton live music di Abadi Suite, lagi ada live band dari Bandung. Pas break, salah satu personel band cewek mendatangi meja kita dan ajak ngobrol. Gue tawari minum, dan dia juga minta rokok (padahal kita ngga ngerokok). Orangnya cukup nice, umurnya baru 19 tahun, asal Kendari (Sulawesi Tenggara), dan baru sebulan berprofesi sebagai penyanyi band. Dia mengaku namanya Amanda, nama asli, bukan nama panggung, dan honor mereka sebulan manggung 22 juta dibagi rata untuk semua personel yang terdiri dari 10 orang, termasuk orang yang dibelakang panggung. Mereka sudah di Jambi hampir sebulan, artinya tugas mereka hampir rampung. Minggu depan mereka manggung ke Dumai (Riau – Pekanbaru), tempat yang sama yang akan gue dan Bernard datangi. Abis dia membawakan lagi ‘Get the Party Started (Pink)’ yang gue request, minta bill dan kita cabut. Minuman gue dan Bernard (berdua) hanya 110k, minuman dia 120k :_(


Esoknya, setelah ngepak dan makan siang, gue sempat mampir di satu toko mainan. Disitu gue membelikan Kelly sebuah boneka sapi hijau yang kalo ditarik bentuk hati-nya, akan mengeluarkan musik berdenting yang merdu. Bernard juga beli sesuatu untuk putranya. Memang kalau sudah punya anak pasti itu aja yang diingat kalau berpisah :_) Boneka hijau itu (setelah dibawa pulang) pernah jatuh tepat di muka Kelly (insiden monster hijau, maaf ya nak, untung kamu ngga apa apa), makanya sekarang ditaruh agak jauh dari Kelly.


Sambil nunggu pesawat di bandara, ada sebuah toko souvenir yang menjual pernak pernik Jambi yang cukup menarik. Antara lain, kaos yang gue beli. Agak meniru dagadu namun lebih aseli Jambi. Gantungan kunci khas Jambi yang juga lucu lucu.


Begitulah kota Jambi. Kecil, sepi, tidak menghibur, sering mati lampu, tidak ada makanan enak, tidak ada pantai dan gunung. Oleh oleh nya pun khas Palembang (kerupuk dan pempek) dan dodol. Tapi satu hal cukup menarik bagi gue adalah bahasa lokalnya yang sangat mirip bahasa Palembang, bahkan sangat mirip bahasa sehari hari di kampung halaman gue di Belinyu (kota kecil di pulau Bangka). Namun hal itu tidak cukup membuat gue merasa feels like home. Karena kondisi geografisnya yang amat sangat berbeda dan sangat amat tidak menarik.

Seperti kata Bernard, nikmatin deh selama disini, karena mana mungkin lu akan, atau lebih tepatnya, mau, ke sini lagi ...

Foto foto Jambi yang tidak menarik di sini