28 Oktober 2008

HONGKONG at Halloween

Belum keluar dari bandara internasional HongKong, sudah disambut suasana Halloween. Bahkan ada karakter berbaju ‘seram’ yang bisa diajak berfoto. Dan layaknya turis. Kita ngga ketinggalan untuk itu.


Bandara Hongkong besar, tapi sangat mudah. Semua petunjuk dalam bahasa Inggris, semua orang bisa bahasa Inggris. Beda banget sama Guangzhou, yang notabene juga ‘mengaku’ bandara internasional.

Keluar dari Bandara dengan taxi sangat mudah dan ngga mahal. HKD 380 perkiraannya. Dengan bus HKD 150 per person. Makanya kita decide to take taxi. Sopir taxi entah sengaja entah ngga, mengantar kita ke hotel yang salah. Bukan L’hotel, tetapi Langham Hotel. Gue baru mau senang, sebab, sekitaran hotel itu merupakan mal dan pusat belanja dan makan, mirip hotel gue dulu di Liuzhou. + setengah jam kemudian, setelah memutar balik dan masuk tol sekali lagi, sampailah kita di L’hotel, yang… hmmm gue lebih suka suasana di Langham. Apalagi the actual bill, ternyata HKD 470, kata sopirnya, itu include tol HKD 30 + 40 (which yang 30 adalah salahnya dia) + tips angkat koper totalnya HKD 140 diluar argo yang cuma HKD 330. Artinya angkat koper HKD 70 ? (kurang sedikit dari Rp 100,000).

Waktu naik, gue agak simpati dengan si ‘asuk’ yang mengendarai taxi kita ini. Old man in the big city, working hard for his family. Sekarang agak berkurang. Paling ngga tidak terlalu kesal, since gue enjoy sepanjang perjalanan yang didominasi bay view, dengan alat berat pelabuhan, jembatan jembatan kokoh, dan kapal kapal pesiar yang gue harap ada tour malam hari yang bersahabat dengan kantong.

Sampai di L’hotel..hmm.. sekali lagi gue kecewa. Memang sebuah boutique hotel di tengah kota. Rate-nya hampir Rp 2 juta semalam. Bintang 4. Kamarnya ngga lebih gede dari Somerset. Dan sekitarannya ngga serame hotel yang salah alamat tadi. Entah lebih baik atau ngga, gue kok berharap hotel yang tadi tidak salah alamat. Sudah keburu exited soalnya. Ohya, waktu si pengantar bagasi menunggu tips, gue bilang, “sorry, I don’t have any change but only this” sambil nunjukin HKD 10 kembalian taxi tadi. Gue pikir tipsnya kekecilan waktu dia berjalan berlalu, “well, this the only small money I have” dia melirik, dan kembali, “Is it 10 dollar? 10 dollar is good enough”. Wah.

Laper banget. Makan siang terakhir jam 11an WIB. Sekarang udah jam 17an waktu setempat. Belum banyak resto yang buka around this corner. Akhirnya kita menemukan sebuah gerai yang harga makanannya reasonable. Dengan menu berbahasa Inggris dan seorang ‘ai’ yang bisa bhs Inggris. Senangnya. Meal pertama di Hongkong sukses. Wonton Soup, Hakau, dan Congfan. Melia pesen nasi goreng YangChou. Lumayan. Walaupun jangan berharap seenak di negeri sendiri.

Just around the corner of Hongkong, banyak sekali orang Indonesia. Most of them adalah orang Jawa yang TKI. Dan sama noraknya ketika mereka di negeri sendiri, mereka berpakaian agak mencolok dan senang berfoto. Hari ini Minggu, mungkin hari off-nya mereka. Kita bahkan menemukan seorang ‘asuk’ yang jualan perdana Simpati Kangen. My gosh.. I’m so gladful. SMS kurang dari HKD 0.5. Luar biasa Simpati. Menyelamatkan perasaan ‘kangen’ ini, to my baby, of course. My two babies at home :_)

After beli minum dan roti untuk besok pagi (hotel belum termasuk breakfast, breakfast + HKD 85 -> shoot me dead !), return hotel, gue dan Melia ke lantai 39 untuk sekedar melihat lihat. Kolam renangnya kecil banget, dan ada sauna yang sangat sepi pengunjung (untungnya). Sayangnya, gue ngga bawa celana renang. Mungkin gue akan beli aja. Sebab, untuk menuju kolam renang, harus lewat semacam pintu air yang sengaja mereka nyalain. Artinya, kalo ngga mau berenang, ya, jangan lewat. Kolam renangnya sepi. Sayang juga untuk dilewatkan.

Ada internet di kamar, tapi harus bayar sejam HKD 30, 3 jam HKD 50. Untungnya ada internet gratis di lobby. 2 komputer, first come first served. Jam 11 malam di Hongkong. Well, that’s the whole day. Setelah dokter bilang lebih baik jangan ke luar negri dulu dalam waktu dekat setelah masuk RS 2 hari, I hope I’ll doing fine for the whole week ahead. Sabtu depan gue pulang. Harusnya bisa cepat dan mudah. Pekerjaan ini maksudnya.


Jalan jalan malam di depan hotel. Double-decker dan taxi merah mendominasi. 3200 km dari rumah. Hampir 5 jam penerbangan. I miss my baby.

24 Oktober 2008

SPERTA @ grand kemang hotel


Minimalis dan mewah. Begitulah kesan pertama memasuki hotel berbintang empat di bilangan Jakarta Selatan itu. Lobby-nya luas, banyak sofa dan agak remang remang. Sparca Pub dan Bar letaknya agak di ujung dekat kolam renang. Sperta resto ada di belakangnya. Disitulah tujuan kita siang itu.

Suasana temaram dengan view kolam renang, seorang waitress menghampiri kita, menyiapkan meja, dan membawakan menu. Biasanya, hari minggu, ada Sunday Brunch (buffet), dengan rate 215 K ++ per person, namun siang itu sedang tidak ada. Hanya ada menu ala carte Asian dan Western.

Untuk appetizer, gue memilih Oriental Crab Meat, sop kental berisi daging kepiting dan asparagus. Natz langsung ke menu utama, Lamb Chop, well done tentunya. Gue memilih Tenggiri Bakar Dabu Dabu (ala Manado) sebagai menu utama. Untuk penutup, jus mangga buat Natz dan segelas hot chocolate buat gue.


Sambil menunggu pesanan diantar, sajian roti dengan butter yang lembut menemani obrolan santai. Jus dan hot chocolate pun sudah disajikan. Yang gue inget, hot chocolatenya ditemani sepotong cookie yang juga beraroma cokelat dan enak banget.

Ketika menu utama datang dan kita cicipin, komentar pertama adalah, kita ngga salah pilih menu ! Daging domba yang amat lembut namun renyah di mulut. Dibalur bumbu yang sangat sedap dan berkesan. Ini Lamb Chop yang paling sedap dari semua yang pernah kita coba. Beneran.


Begitu juga tenggirinya. Entah bumbu apa yang dipakai, yang jelas, sangat meresap sampai ke dalam dalamnya. Dengan potongan cabe rawit dan bawang yang gue lahap dengan potongan ikan dan nasi, nikmat tiada tara. Sampai mengirim gue ke RS keesokan harinya. Jahat memang, tapi itu ngga merubah penilaian gue terhadap enaknya si tenggiri :_P

Setelah puas makan dan meminta bill, kita sempatkan untuk melihat lihat hotel ini. Bersantai sejenak di pinggir kolam renang yang siang itu hanya ada kita berdua. Hotel ini tergolong sepi, kecuali di bar yang terlihat beberapa orang bule bercengkerama. Beberapa bersama teman wanita orang Indonesia.

Cozy place, good hospitality and delicious food. Beruntung punya pengalaman ini. Thanks to restoDB !

06 Oktober 2008

HDI Foundation



Setelah hampir seminggu ngga buka e-mail karena libur (karena biasanya nge-net gratis di kantor :_P), kemaren pas nongkrong di Caffee Bean RS Royal Taruma (lagi lagi nge-net gratis :_P), terima e-mail yang mengharukan dari HDI Foundation. Pemberian gue dan Natz sudah diteruskan untuk membantu biaya sekolah kepada anak anak sesuai keinginan kita. Anak anak usia TK yang lucu dan lugu, Amalia Ramadani dan Rizma Nur Alita, keduanya dari keluarga miskin yang sekolah di TK Tunas Bangsa, Bantul, Jawa Tengah. Gue dan Natz memang sengaja memilih anak TK sebagai anak asuh kita, selain karena mereka lucu dan lugu, kita berencana meneruskan bantuan kita sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ini foto keduanya yang imut imut itu.


Kenapa memilih HDI Foundation
HDI Foundation didirikan oleh orang yang kita (Natz) kenal baik. Beliau adalah warga Singapura yang memiliki dedikasi luar biasa untuk pendidikan di Indonesia. Melalui uluran tangannya sudah beberapa sekolah dibangun dan sedang di bangun di berbagai pelosok tanah air, yang notabene bukan tanah airnya, tapi beliau begitu peduli. Sekolah yang sedang dibangun yaitu satu TK di Landak – Kalbar; dan 3 TK lainnya di Papua.


Ngga mahal kok biaya pendidikan mereka, hanya Rp 90,000 sebulan (setahun 1,080,000), kita sudah bisa membantu anak anak ini. Anak anak petani, nelayan, tk becak dan tk bangunan yang penghasilannya tidak menentu. Yang kadang makan kadang ngga makan. Paling tidak mereka peduli akan pendidikan anaknya dengan mendaftarkan mereka di HDI Foundation. Mengapa kita tidak?


gambar gambar diambil dari newsletter HDI Foundation dan e-mail pribadi

JAMSOSTEK, tabungan tak terduga

Agustus 2008 lalu, gue dan Natz yang kebetulan sedang cuti (Natz cuti, gue pengangguran) memutuskan untuk ‘mencoba’ mengambil uang tabungan kita yang ada di Jamsostek. Kebetulan Natz, tahun 2008 ini genap 5 tahun sejak pertama kali di daftarkan di Jamsostek waktu masuk KPMG dulu. Kalo gue sih udah 6 tahun, jadi keduanya udah bisa di-claim.

Setelah cari info sana sini, inilah data data yang diperlukan untuk meng-claim uang ‘tabungan’ kita itu:
1. KTP asli dan 2 lembar fotokopi
2. KK asli dan 1 lembar fotokopi
3. Kartu Jamsostek asli
4. Surat keterangan tidak bekerja pada perusahaan peserta Jamsostek -> yang ini tersedia formulirnya di kantor Jamsostek

Syarat lainnya adalah: 1) sudah 5 tahun sejak pertama kali terdaftar, kapan pertama kali terdaftar, bisa dilihat di kartu Jamsostek 2) sudah 6 bulan berhenti dari perusahaan yang mendaftarkan. Nah, disini musti hati hati, jangan sampai salah membawa kartu perusahaan tempat kerja sekarang.

Gue dan Natz mendatangi kantor Jams terdekat yaitu yang di Sumur Bor, Daan Mogot, hanya 5 menit dari rumah :_) Disana, pas dipintu masuk, sudah disambut seorang bapak berkumis dan sangat tidak simpatik. Untung dokumen kita lengkap semua, kalau ngga, bisa dimarah marahi sama si bapak kumis itu.

Setelah dapet nomor dari Pak Kumis, berkas diserahkan ke meja di depan seorang ibu yang tampak sangat sibuk. Maka menunggulah kita sampai berkas kita disentuh si ibu. Kira kira 1.5 jam, nomor urut Natz dipanggil, diverifikasi dokumennya, dan sempat ditanya tanya. Antara lain untuk memastikan sekarang ini kita tidak bekerja pada perusahaan peserta Jamsostek, sehingga berhak dibayar tabungan Jamsosteknya. Namun, tidak sulit untuk meyakinkan mereka bahwa kita berhak. Semua jawaban bisa diterima, sekolah, kerja sama paman atau apapun, tampaknya hanya pertanyaan basa basi. Lagipula kita sudah tandatangan diatas materai menyatakan hal tersebut.

Uang bisa kita terima tunai atau masuk di tabungan. Jika ingin masuk di tabungan, maka harus membawa fotokopi buku tabungan, dan akan masuk dalam beberapa hari. Gue dan Natz memilih tunai karena lebih pasti dan ngga deg-deg-an. Jika itu pilihannya, si ibu akan meminta kita untuk datang lagi keesokan harinya, dengan birokrasi, harus di paraf sama ini dan itu sebelum uangnya bisa mengucur.

Kira kira 2 jam, semua proses selesai. Maksudnya selesai untuk hari ini. Besoknya, kita datang lagi pagi jam 9. Menemui si ibu kembali dengan membawa selembar kopi surat pengantar yang diberikan kemarin. Kira kira tunggu 1 jam, kita dipanggil dan semua dokumen asli kita diserahkan oleh kasir. Lalu meminta kita untuk ke counter sebelah, yaitu counter bank Bukopin (rekanan Jams). Dari situ dilayani dengan baik sekali (standard Bank). Tak lama, uang-pun mengucur, dan jumlahnya agak sedikit mengejutkan. Hampir 20 juta untuk gue dan Natz. Worth to wait untuk tabungan yang tak terduga :_P

Baca juga step by step meng-claim uang Jamsostek, klik disini.

02 Oktober 2008

LASKAR PELANGI

Menonton film Laskar Pelangi, tidak seperti menonton film Indonesia. Film ini dibuat sedemikian bagusnya sampai gue lupa, hei gue lagi nonton film Indonesia. Dan ini satu satunya film Indonesia yang begitu pengen gue tonton.


Berkisah tentang Ikal, Lintang, dan Marsan, murid kelas 5 SD dan 8 teman sekelas mereka yang lain. Berlatar belakang ‘kampung’ Belitung di tahun 1979. Tentang anak anak jenius yang haus pendidikan tetapi miskin. Tentang perjuangan 2 orang guru yang hebat. Tentang orang tua yang mendidik. Tentang kesenjangan sosial. Tentang buaya. Dan tentang cinta dan cita cita.

Tidak keluar remehan (bahkan dalam hati) seperti biasanya gue menonton film Indonesia. Semua dibuat begitu indah dan mendekati realita. Penonton diajak terkagum, simpati, tertawa dan terharu oleh aksi bocah bocah ajaib ini. Walaupun paroh akhir film ini mulai agak membosankan, namun tidak merusak keseluruhan keindahan.

Gue dibuat tergelak tawa, namun juga hampir menangis karena haru. Ketika Harun, murid ‘terbelakang’ yang menggenapi minimal 10 murid agar SD Muhammadiah Gantong tetap bisa beroperasi, melangkah dengan kakinya yang bengkok seperti Forest Gumb kecil. Scene lain, ketika Lintang harus pamit meninggalkan ‘laskar pelangi", ia tidak dapat meneruskan sekolah karena mengambil alih tanggungjawab sebagai ayah bagi adik adiknya, ketika ayahnya tidak lagi pulang setelah melaut. Semua dibungkus dengan emosi yang membuat penonton terdiam, dan beberapa mungkin sampai meneteskan air mata.

Gue memang sangat kepengen nonton film ini. Beberapa scene seperti rumah rumah, pantai dengan batu batu cadas menjulang, dan bahkan bekas bekas tambang timah, mengingatkan gue akan kampung halaman gue sendiri, Belinyu. Kampung pesisir di P. Bangka yang notabene masih tetangga dengan P. Belitung. Bahasa melayu yang dipakai dalam film ini sangat mirip dengan bahasa yang gue gunakan waktu kecil. Bahkan ada percakapan dalam bahasa China, yang merupakan bahasa yang masih gue pakai sehari hari di Bangka, bahkan sekarang masih, untuk bicara dengan Papa Mama.

Secara keseluruhan, film ini mengingatkan gue kalau gue adalah anak kampung. Yang berlarian dengan kaki telanjang di pantai berpasir putih. Yang nyebur ke air asin yang jernih. Gue bahkan punya beberapa teman seperti Lintang, yang naik sepeda puluhan kilometer untuk sekolah di SMP St Yoseph Belinyu. Dan hampir setiap minggu, gue dkk bersepeda 5 KM menuju Tanjung Gudang untuk berenang di air laut, menangkap kepiting dan ikan kecil, main bola, ngintip orang pacaran dll.

Waktu melihat buku karangan A. Hirata ini di Gramedia beberapa waktu lalu, gue langsung telp Cece untuk pinjem baca. Yang sampai sekarang gue belum baca karena belum dipinjemin :_P Sekarang, abis nonton filmnya, tambah pengen baca :_)

Kenapa orang berpindah kerja


Alasan klasik orang berpindah kerja: 1) kesejahteraan alias pendapatan yang lebih baik 2) tidak tahan dengan atasan 3) karir yang lebih baik alias di tempat lama karirnya ‘mentok’ dan banyak alasan lainnya. Sudah jelas itu bukan alasan gue kalau baca di Why I Leave AKR?

In my case, alasan gue cuma 1: “Keluarga”. Dan gue secara spesifik menyebut alasan ini pada saat job interview. Semua hal di bawah ini berujung pada 1 alasan, Keluarga.


Uang
Ngga gue pungkiri, Here, I get a better position and, of course, a better paid. Lalu, buat apa posisi yang lebih baik dan bayaran yang lebih baik dengan tanggungjawab yang lebih besar dan meninggalkan kenyaman di tempat lama kalau bukan untuk keluarga?

Gue bukan idealis yang mengatakan uang itu tidak penting. Paling tidak perut kita tidak meronta dulu sebelum kita memberi makan yang lain. Tapi gue percaya, semakin banyak kita memberi, semakin banyak pula kita diberi. Kalau memang kita tulus memberi, Tuhan akan makin mencukupi kita, supaya lebih banyak lagi kita memberi. Makanya gue ngga pernah kuatir akan kekurangan uang. Malah pernah berpikir takut punya uang banyak :_P

Wawasan
Disini, gue dijanjikan traveling yang lebih pendek waktunya, namun ke daerah yang lebih beragam. Tidak seperti di AKR yang ke luar negrinya bisa sebulan penuh dengan destinasi yang itu itu aja, disini, traveling paling lama 2 minggu (itu pun jarang sekali) dengan tujuan Asia Pasifik bahkan sampai Eropa. Kesempatan untuk menambah wawasan dan teman amat sangat terbuka.

Yang ada di benak gue adalah, di kemudian hari, sangat mungkin gue jalan jalan ke tempat tempat itu bersama keluarga tanpa harus ikut tour. Gue membayangkan, angkat telepon atau mengirim e-mail ke teman teman di sana, mengabari kalau gue akan datang bersama istri dan anak untuk ‘main’ (bukan tugas). Dan mereka akan dengan senang hati showing us around. Atau, kalau ngga pun, sangat mungkin gue bisa jalan sendiri karena sudah pernah disana. Seperti gue membayangkan suatu hari akan mampir ke Liuzhou dan Guigang bersama anak istri untuk sekedar ‘menyapa’ teman teman di sana.

Waktu
And this is the best part ! Waktu tempuh dari rumah ke kantor hanya 10 menit. Tidak ada lagi waktu terbuang percuma di jalan, atau hilang kesabaran melihat sembrawutnya Jakarta. Artinya waktu yang biasanya habis dijalan, bisa dihabiskan di rumah ... bersama si kecil...

Tak ada bayangan kebahagiaan yang lebih besar daripada menimang si cantik pk. 8 pagi sebelum berangkat ke kantor, dan kembali menemui dia jam 12 pas makan siang. Malamnya, bisa dipastikan jam 6 sudah kembali ada di sisinya. Sesibuk sibuknya di kantor, gue pasti bisa mampir pulang untuk bermain dengan si buah hati. Setiap detik berharga bisa gue lalui dengan melihat dia tumbuh. Tidak ada yang lebih membahagiakan buat gue, hanya membayangkannya saja sudah membuat gue tersenyum, dan tak sabar.

Jadilah, gue menerima pekerjaan baru ini dengan 1 alasan: Keluarga. Karir boleh biasa biasa saja. Penghasilan boleh tak lebih dari cukup. Asal keluarga di tempatkan di urutan pertama dalam hati, pikiran dan pekerjaan. Sebut gue kuno, tapi inilah nilai yang gue anut. Inilah nilai yang gue pengen anak anak gue pahami, dan amalkan.