Tampilkan postingan dengan label Lampung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lampung. Tampilkan semua postingan

22 Juli 2008

My Last Assignment, Perjalanan Menuju Site yang Terpencil itu

click above title for photos related to this blog

This could be my last assignment under the company that I currently work with; ada semacam perasaan sentimentil, mungkin akan gue tulis sedikit lebih detail. Akan gue buat sequence supaya ngga kepanjangan, gue usahakan bisa dibaca secara lepas tanpa harus membaca keseluruhan. Gue posting mulai yang paling bawah duluan supaya enak dibaca dari depan :_)

Jam 7 pagi Senen, 7 July 2008. Sepagi itu gue udah sampai di bandara untuk penerbangan pk. 8.45 (+ delay). Untungnya di Terminal 1 B tempat gue menunggu, ada Eljohn executive lounge di mana gue bisa bersantai sambil menunggu pesawat. Lampung, ke mana pagi itu gue akan menuju, hanya ada 1 penerbangan yang pasti, yaitu Sriwijaya Air. Merpati kadang terbang kadang ngga. Sedangkan Garuda tidak melirik rute ini sama sekali. Mungkin sebagian orang memilih jalur darat untuk menyeberang ke Lampung, dari Jakarta ke Merak (Banten) lalu Bakaheuni, hanya sekitar 4 – 5 jam. Gue pernah, makanya gue tau kalau perjalanannya cukup menyenangkan. Apalagi ketika di atas kapal feri, full music, tapi musik dangdut :_)

Di Eljohn, gue masuk pakai GE Gold, dan kebetulan di depan gue ada 3 orang, 2 bapak bapak dan 1 ibu yang hanya punya 2 pass untuk masuk ke sana. “Pake punya saya aja Pak” gue tawarin, karena kebetulan gue punya kartu kredit Mega Translusion yang juga bisa menjadi pass masuk. Sang bapak yang menunggu pesawat ke Pekanbaru itu langsung menjabat tangan gue dengan gembira.

Walaupun sedang libur sekolah, tidak banyak terlihat leisure traveler pagi itu. Sebagian besar penumpangnya kayak gue, rapi dengan kemeja dan menenteng laptop. Juga terlihat beberapa pekerja bule. Dalam beberapa tahun terakhir ini, Lampung mulai dilirik sebagai tujuan berinvestasi, pemodal lokal maupun asing. Bos gue salah satu-nya. Dan ngga tanggung tanggung, pemilihan lokasinya di Lampung Timur, yang masih sekitar 200 KM dari bandara Reden Inten di Tanjung Karang. Berlawanan arah dari tujuan gue, adalah kota Bandar Lampung, yang bisa ditempuh dengan waktu 45 menit.


Sekitar jam 9 pesawatnya baru berangkat dan sampai di sana tak lebih dari 30 menit saja. Belum sempat duduk tenang, sudah mendarat, syukurlah. Begitu sampai disana, suasana pelosok sudah terasa. Kira kira mirip bandara Pangkal Pinang di Bangka atau Adi Sumarmo di Solo. Kecil sekali. Line pengambilan bagasinya pun hanya satu dan berujung, sehingga kalau bagasi anda terlambat diambil, akan menumpuk di ujung line yang panjangnya hanya sekitar 3 meter itu.


Sudah menunggu di luar, sopir dari kantor yang akan gue kunjungi, Pak Jun nama sopirnya. Umurnya sudah 30an tapi belum berencana menikah. Setelah menempuh perjalanan kira kira 1 jam, sampailah kita di kota Metro. Disanalah tempat gue menginap, walaupun masih 50 KM jaraknya dari site, merupakan kota diantara desa desa di sekitarnya. Mirip kota Madiun di Jawa Timur, rumah rumah besar dengan pekarangan yang luas, dipenuhi tanaman yang sedikit kurang rapi merupakan pemandangan sepanjang kota ini. Gapura dengan bentuk khas kota Lampung ada di mana mana, juga patung patung gajah yang sedang bermain sepakbola. Gajah memang icon kota Lampung. Disini gue singgah sebentar di hotel untuk meletakkan koper dll.

Di kota Metro ini gue minta dimampirkan ke ATM BCA untuk mengisi dompet yang isinya tinggal beberapa puluh ribu. Gue harus prepare agak banyak uang tunai, karena di Lampung Timur ini, hampir bisa dipastikan kartu kredit tidak berlaku alias barang mati. Makanya, selain kartu kredit yang bisa dipakai untuk executive lounge, yang lainnya gue tinggal di rumah. Di antrian ATM, tepat di depan gue, ada seorang bapak tua yang hendak menarik tunai tapi ngga tau caranya, keliatannya baru pertama kali. 2 orang dara muda di depannya dengan simpatik membantu mengambilkan. Kaget juga gue ketika melihat pak tua itu memencet no pin, gue kira dia main main, tapi ternyata ngga tuh, uang 150,000 yang dia mau ambil buktinya bisa keluar. 999999 no pin-nya. Gue ngga kuasa untuk ngga meminta kepada si bapak, untuk kalau bisa, PINnya diganti saja. Kedua dara yang membantunya juga setuju, mereka iba juga dengan si bapak yang sudah agak bongkok itu.

Ohya, waktu menunggu Pak Jun membayar listrik di PLN (sekalian karena jarak pabrik cukup jauh), gue sempet motret becak Lampung yang menurut gue agak aneh. Sadel tempat duduk si abang sedikit lebih tinggi dari becak becak di Jakarta. Ada yang pernah kasih tau gue, kalau itu untuk mengantisipasi kontur jalanan di Lampung yang banyak tanjakannya. Iya, itu berlaku untuk kota Bandar Lampung. Namun di Lampung Timur, jalananya cukup rata tanpa banyak tanjakan yang berarti. Entahlah.


Perjalanan sekitar 1 jam lagi dari kota Metro untuk sampai ke pabrik kita di Desa Tambah Subur, Kecamatan Way Bungur, kota terdekat namanya Sukadana, namun tidak kelihatan seperti kota. Lebih mirip Parit 18, tempat singgah perjalanan dari bandara Pangkal Pinang ke dusun kelahiran gue, Belinyu, di Pulau Bangka sana. Hanya saja, jalannya sedikit lebih lebar dan lebih mulus. Sepanjang perjalanan, yang ada hanya hamparan hijau kebun singkong dan kebun jagung di lahan yang lebih mirip sawah itu. Di musim hujan, lahan tersebut memang sawah, hanya saja di musim kemarau seperti sekarang ini disulap menjadi kebun singkong atau jagung yang berumur lebih pendek.

Dari desa Sukadana yang jalannya mulus, belok ke sebuah jalan sempit, yang baru tahun ini diaspal, sebelumnya masih jalan berbatu. Itupun batunya dari kita, sebelumnya hanya tanah kuning. Di ujung jalan itu, disitulah pabrik kita berdiri. Yup, diujung jalan, sebab extension jalannya kita yang bangun.

My Last Assignment, Site yang Terpencil itu

click above title for photos related to this blog

Butuh sekitar 2 jam dari bandara Raden Inten, Tanjung Karang (Lampung) menuju site yang berlokasi di Desa Tambah Subur, Kec. Way Bungur, Lampung Timur. Sesampainya gue di site, semua petinggi langsung sibuk, bak menyambut tamu agung dari kantor pusat :_P They quite surprise waktu gue bilang ini kali keempat disana. Mereka pikir gue baru pertama kali. Jauh sebelum mereka menjabat disana, bahkan ketika pabrik dan fasilitas lainnya baru mulai dibangun tahun 2006, gue ini sudah pernah datang meninjau. Kali ke dua bersama Roy dan Darwin, waktu itu mengaudit biaya proyek, waktu itu bawa mobil, dengan sopir tentunya – Pak Masyuni, dari situlah gue tau musik dangdut di atas feri. Karena bawa mobil kita ngga sia sia kan untuk borong seabrek duren dan petai. He he bau’ bau’ deh tuh mobil (mobil kantor sih). Kali ketiga, bersama Darwin waktu mengaudit early operation. Kali ini audit full operation. Hanya si Samsul yang gue kenal dari pertama kali datang ke sini, orang kecil yang makannya banyak ini, setiap kali gue dateng, dialah yang nemenin meninjau kebun singkong.


Site yang sangat pelosok ini adalah sebuah fasilitas penghasil tepung dari bahan baku singkong segar. Seperti yang kita pelajari di Ekonomi Makro di kuliahan dulu, ada 4 tipe lokasi usaha, 1) dekat dengan bahan baku 2) dekat tenaga kerja 3) dekat pasar (market/customer) dan 4) dekat pengiriman (pelabuhan). Tipe pertamalah model lokasi usaha pabrik tepung kita ini. Merupakan cabang dari pabrik yang lebih besar di Pandaan, Jawa Timur. Di Pandaan merupakan pengolahan dari tepung menjadi sorbitol, salah satu bahan utama untuk pembuatan biskuit, permen, susu, vitamin C, bahkan pasta gigi. Hubungan Pandaan – Lampung ini semacam hulu – hilir, hanya saja kebun singkong belum dimiliki kita sendiri, namun merupakan kerja sama dengan pengumpul pengumpul besar yang tidak memiliki lahan, namun membawahi kelompok tani yang jumlahnya mencapai ratusan. Kita sebut mereka Plasma. Kita pinjami mereka biaya untuk menanam singkong, hasilnya dijual ke kita.

Hari pertama, bukannya kerja serius, gue malah disibukkan oleh telepon salah satu perusahaan multinasional berlokasi di Tangerang yang nawarin gue posisi bagus di perusahaan mereka :_P

Sore menjelang malam, sang GM sendiri yang menawarkan, gimana kalau selama di Lampung, gue tinggal di rumah dinas dia, yang masih ada 2 kamar kosong. Mubazir daripada tinggal di hotel. Sebenarnya gue agak sungkan tinggal di rumah bareng GM, namun lebih sungkan lagi untuk menolak. Tapi malam itu gue stay di hotel 1 malam, mengingat bookingan hotel untuk 2 minggu masak mau dibatalkan seluruhnya. Hotel Metro Pacific, ini juga bukan kali pertama gue menginap di hotel tidak berbintang tersebut. Di kota Metro, belum ada jaringan hotel reputable yang masuk ke sini. Dan si Dessy, receptionist mungil yang manis itu masih mengenal gue rupanya.


Malam itu, gue pulang dengan Pak Ismail (Senior Manager Finance & Accounting) dan diajak beliau makan di RM Subur. Gue pesan Gurameh Bakar dan sayur asem dengan tahu tempe. Pak Is juga pesan sayur asem dan tahu tempe. Gue pikir guremehnya bisa buat berdua, makanya gue OK aja ketika ditawarkan gurameh 8 ons. Ternyata Pak Is seorang vegetarian. Dan menurut ceritanya, sudah dia lakoni sejak tahun 1998. Sejak berhenti jadi external audit, sebab katanya, walaupun udah lama sebelum itu beliau berniat menjadi vegetarian, profesinya sebagai auditor ngga memungkinkan menjadi seorang vegetarian, sebab (he he) saban hari ada aja yang ‘entertain’. I couldn’t agree more sebab gue pun mengalami hal yang sama :_) Pak Is se-almamater dengan gue, sama sama ex-KPMG, tapi berbeda era. Ohya, gurameh, gue bukannya salah tulis atau sengaja tulis gurameh, memang menu-nya tertulis gurameh. Dan gue ketahui belakangan, hampir semua restoran lain menulis gurameh dalam menunya (gurame dengan ‘h’). Dan 8 ons man, gue habiskan sendiri! Gara gara Pak Is ngga ngomong sebelumnya kalau dia vegetarian. Gue juga baru tau sekarang, padahal 2 tahun yang lalu sudah mengenal beliau waktu tugas 2 minggu di Ponorogo.

Pagi hari kedua, sopir pak Min (GM) datang ke hotel dengan membawa mobil CRV seri terbaru, untuk menjemput gue. Agak ngga enakan juga sama si Dessy waktu mau check-out dan membatalkan bookingan selama 2 minggu. Sampai di rumah Pak Minarta, beliau sudah siap, sehingga kita langsung berangkat.

Disini, saking jauhnya pabrik (merangkap kantor juga), banyak karyawan yang ‘terpaksa’ menebeng mobil atasan untuk mencapai lokasi. Tercatat ada 5 mobil yang setiap pagi bisa ditebengi mereka, mobil Pak Min (CRV), Pak Is (Panther), Pak Manaf (Inova), Pak Willy dan Pak Supri (Xenia). Yang 2 terakhir ini tidak setiap hari tersedia, karena kadang Pak Willy nginap di site, dan Pak Supri sering langsung ke lokasi lahan, mencari singkong. Dan penumpang yang harus ‘diangkut’ adalah Eko, Waluyo, Inez dan Dian. Ngga banyak memang, tapi kalau ada satu hari dimana hanya ada 1 mobil yang berangkat, apalagi sedang banyak tamu seperti sekarang ini, maka penuh sesaklah 1 mobil. Pernah suatu ketika, Panther Pak Is isinya 9 orang. Sopir, Pak Is, Gue, Roy, Ardiansyah (tamu), Dian, Eko, Inez, dan Waluyo. Sampai terpaksa Pak Surip (sopir pak Min), yang hari itu sebenarnya sudah ikut, harus turun, ‘tukar tambah’ dengan Inez yang mau ngga mau harus berangkat kerja pada jam itu. Sementara Pak Surip harus cari tebengan lain yang mudah mudahan lebih siang nanti ada.

Hari kedua, seperti juga hari pertama, perusahaan multinasional di Tangerang itu menelepon lagi, kali ini langsung dengan Finance Directornya yang orang Belanda. Gue minta waktu 2 jam untuk menimbang tawaran dia yang sebenarnya gue anggap sudah cukup worthy untuk diambil, tapi diskusi dengan Natz dulu sebentar. Setelah makan siang, tepatnya jam 1.30, gue telepon balik ke sang FD langsung ke no ponselnya dan mengiyakan tawarannya.

Seperti juga hari pertama, siang itu makan siang di kantin pabrik yang menyediakan makanan yang sangat sederhana. Berupa rantangan yang berisi nasi putih, kerupuk, sambel dan 1 macam menu utama yang sangat sederhana. Gue bilang sangat sederhana karena, misalnya sop daging, isinya penuh dengan lemak dan tulang muda (sedikit sekali daging), atau sop ayam, isinya kepala dan leher, atau sebutir telur rebus dengan pecel sayur. Sangat sederhana bukan? Hanya hari tertentu yang cukup OK, misalnya gurameh (lagi lagi dengan ‘h’) kuah kari atau ayam goreng 1 potong (daging ayam, bukan kepala atau leher). Yang lumayan enak dari kantin ini adalah gorengannya, bakwan, tempe, tahu isi atau pisang goreng. Gurih dan murah banget. Bakwan yang sebesar jari tangan direntangkan itu harganya cuma Rp 500 per biji-nya. Bayangkan di Jakarta gorengan ukuran sepatu anak bayi aja ada yang jual Rp 2000 dapet 3. Apalagi pisang gorengnya, manis dan gurih banget. Tapi ya itu, gorengannya harus bayar sendiri dari kantong pribadi karyawan, belum termasuk paket yang dibayar perusahaan seharga Rp 5,750 per porsi. Biasanya gue nambah gorengan 3 biji, jadi Rp 3000 saja sudah bayarin porsi makan teman yang lain :_)

My Last Assignment, Ranah Jawa di Tanah Orang Melayu

click the above title for photos related to this blog

Malam kedua assignment di Lampung Timur, gue diajak Pak Min makan di Rumah Makan Suroboyo. Merupakan rumah makan masakan Jawa Timur, sesuai namanya. Gue pesen nasi pecel + rawon, pak Min nasi pecel + ayam goreng. Disini bisa dijumpai masakan rujak soto, makanan khas Banyuwangi, yang di Surabaya sendiri, ngga mudah dijumpai.


Jangan heran kalau rumah makan bernuansa Jawa, terutama Jawa Timur, menjamur di kabupaten Lampung Timur ini. Mungkin bisa dikatakan, ngga ada propinsi lain di Indonesia yang memiliki orang Jawa sebanyak di Lampung, kecuali, ya di P. Jawa sendiri tentunya. Masuk akal sekali, sebab, pulau Sumatera memang pulau besar yang terdekat dengan pulau Jawa. Dan gerbang ke P Sumatera adalah Lampung (yang ujungnya – Bakaheuni dengan ujung barat Jawa – Merak, hanya berjarak sekitar 2 jam perjalanan kapal feri). Hal lain, adalah ketika jaman kolonial Belanda, dari mana kompeni kompeni itu memperoleh tenaga kerja yang mau bekerja keras, murah dan mudah dipindahkan (dekat), kalau bukan dari P Jawa? Masuk akal sekali. Apalagi jamannya program transmigrasi ala Soeharto, Lampung (terutama pelosok seperti Lampung Timur), merupakan salah satu target utama ‘pemerataan’ penduduk.

Sehingga, sangat masuk akal, bila sangat mudah dijumpai desa desa dengan nama bernuansa Jawa. Bahkan diambil langsung dari desa asal muasal mereka di tanah Jawa, semisal, Bantul, Purbolinggo, Sidodadi, Pekalongan, Adirejo, Purwosari, Purworejo dan sejenisnya. Jangan heran pula kalau penduduk sini sangat fasih berbahasa Jawa. Namun ketika ditanya asalnya darimana, sebagian besar dari mereka akan menjawab, asli Lampung. Ketika ditanya lebih lanjut, baru ketahuan, orang tua dari orang tua dari orang tua mereka, aslinya Kediri atau Jogja atau Pekalongan. Seperti Pak Jun sopir gue di hari pertama, orangtuanya asli orang Jogja, namun sudah kelahiran Lampung, berarti dia sudah generasi kedua yang lahir disini. Tapi, muka, perawakan, tingkah laku dan tutur katanya, persis orang Jawa. Maka, ketika Pak Is yang asli Surabaya dan Pak Min yang asli Bali tapi lama di Surabaya ditanya, apakah kerasan tinggal di Lampung, jawabannya sama. Tidak terasa suasana tinggal di negeri asing ketika mereka pertama menginjak bumi Lampung. Berbeda bila ditempatkan di Medan atau Kalimantan, di Lampung, suasananya tidak berbeda dengan kampung halaman mereka, tanah Jawa. Apalagi Pak Is pernah lama di Ponorogo, yang menurut gue mirip sekali feel-nya dengan kota Metro. Gue merasakan sendiri karena pernah 2 minggu penuh di Ponorogo. Bedanya di Metro hanya lebih baik sedikit, karena ada makanan seafood, sementara di Ponorogo hampir mustahil.

Perasaan lucu muncul ketika melihat peta seperti di bawah ini. Ini bukan di Peta pulau Jawa lho, tapi pulau Sumatera, tepatnya Lampung, Lampung Timur.

My Last Assignment, the Place I stayed, the Food I ate

Hari ketiga assignment gue di Lampung Timur, pagi ini gue sendiri di rumah, karena Pak Min berangkat ke Bali untuk leader summit group perusahaan. Bingung mau sarapan apa, gue minta Doni, si pesuruh rumah, untuk buatkan indomie telor. Pagi keempat dan kelima pun demikian. Sampai habis indomie dan telor ayamnya Pak Min :_P


Rumah dinas Pak Min cukup besar. Ada 3 kamar tidur, kamar tidur utamanya ada kamar mandi di dalam. Tiap kamar dilengkapi AC, sehingga cukup nyaman bagi tamu. 2 kamar kosong disiapkan untuk gue dan Roy, yang akan bergabung dengan gue di minggu kedua. Luas tanahnya kira kira 15m X 20m, luas bangunan berlantai satu, mungkin 10m X 15m. Setahun sewanya Rp 15 juta, tanpa perabot (isi sendiri). Coba kalau ditaroh di Jakarta, sewanya paling sedikit Rp 25 juta setahun. Ada fasilitas Speedy dari telkomnet yang bisa dipakai. Akses internet langganan itu dipasang oleh Pak Min, sebagai penghubungnya dengan dunia luar, istri dan anak anaknya. Memang setiap hari bisa telepon (walaupun jaringannya sangat susah), tapi dengan e-mail lebih asyik bertukar cerita, bahkan foto untuk mengobati rasa kangen. Speedy itu juga yang menyelamatkan gue dari terisolasi dengan dunia luar. Gue bisa cek e-mail, googling, buka friendster dan tulis blog.

Mengenai jaringan telepon yang kerap kali sibuk ini, membuat gue dan Natz kebanyakan komunikasi lewat SMS saja. Calon kantor baru gue pun sampai telepon ke Hotel Metro Pacific, malam pertama gue di Lampung, karena tidak bisa menelepon ke HP gue. Repotnya, hotel itu ngga punya line telepon di dalam kamar, sehingga gue harus keluar dan menerima telepon di receptionist. Dan ketika sang FD telepon gue hari kedua, bukannya telepon ke HP gue, melainkan telepon ke nomor Ceria kantor yang gue inform ke HRD lewat SMS, mengantisipasi telepon gue tidak bisa diakses.

Malam ketiga dan keempat, gue makan di Rumah Makan Hj Sri MR. Malam pertama gue jalan kaki ke sana, restorannya persis di muka hotel Metro Pacific. Sate Goreng (terbuat dari Kambing) yang gue pesan kurang memuaskan. Walaupun sudah gue tambah kuah gulai, tetep aja kurang sedap. Malam kedua, gue titip si Roni yang beli, titipnya nasi goreng dan soto daging, dibelikan nasi goreng dan sop daging lengkap dengan nasi untuk sop. Nah lho, Ron, iki nasinya buat apa, kan udah ada nasi goreng? Ya sudahlah. Rumah Makan di kota Metro, pernah dikunjungi beberapa artis, walaupun ngga bisa disebut banyak atau sering, tapi adalah. Mereka sangat bangga sekali bila didatangi artis. Pemiliknya pasti ngga melepas kesempatan untuk berfoto bersama sang artis dan memajang besar besar foto dan tandatangan sang artis. Contohnya Rumah Makan Hj Sri MR ini, tak kurang dari foto Inul Daratista, Grace Simon dan group musik Steven and the Coconut Tree dipajang dengan bingkai yang cukup besar.

Di RM SABAR, ada foto beberapa penyanyi dangdut yang gue ngga kenal (ternyata gue ngga se‘dangdut’ perkiraan gue ya :_P). Cuma foto Mas Polo (pelawak yang terjerat kasus Narkoba) yang berhasil gue kenali. Lain lagi Di RM AGAM, nuansanya lebih berbau politis. Di rumah makan yang menjagokan Pindang Baung itu, terpampang foto Jenderal, Tokoh Partai Politik dan Ulama, sedikit yang berhasil gue kenali diantaranya A’a Gym dan Wiranto. Di dekat pintu rumah makan ini juga lengkap tertempel semua calon Gubernur Lampung, mirip ajang kampanye. Maklumlah, banyak orang tamu penting dan pejabat setempat yang makan di tempat itu.

My Last Assignment, Executive Lounge Bandara Lampung

click the above title for photos related to this blog

Hari kelima assignment di Lampung, Jumat, merupakan hari yang gue nanti nanti. Di sela 2 minggu masa tugas gue, gue boleh mengambil waktu Sabtu Minggu untuk pulang. Ini gue manfaatkan betul. Sekitar jam 15.30 sore, gue mulai perjalanan menuju bandara. Dengan asumsi perjalanan satu setengah jam, Pak Jun ngga perlu mengebut untuk mengejar penerbangan pk. 18.15. Butuh sekitar 2 jam perjalanan dari site kita di Lampung Timur menuju Bandara yang letaknya di Tanjung Karang.

Beberapa menit sebelum jam 5 sore, sudah sampai di bandara Radin Inten, gue langsung cek in di counter Sriwijaya. Counter lainnya adalah Merpati, Riau Air dan AdamAir. Yang terakhir ini sudah ngga ada yang jaga menyusul ditutupnya perusahaan penerbangan yang banyak dirudung kecelakaan pesawat tersebut. Bayar airport tax hanya Rp 8,000 + sumbangan antah berantah Rp 2,000. Di pojok ruang tunggu yang penuh dengan bangku sambung itu ada sebuah executive lounge juga. Juli tahun lalu ketika visit Lampung sama Darwin, tempat ini masih sedang renovasi sehingga masih tutup. Tahun ini sudah buka, namun belum ada kerjasama dengan penerbit kartu kredit. “Sementara kita masih pake cash, pak, 35,000” kata si mbak penjaga ramah. Gue pun bayar, nanti charge ke kantor, pikir gue.


Sanjaya Executive lounge, kecil tapi ada fasilitas wifi, namun sayang masih belum gratis alias harus beli voucher, Rp 50,000, gue lupa nanya untuk berapa jam. I supposed minimal bisa 4 jam, sebab di Tretes saja Rp 25,000 bisa untuk 2 jam. Sebenarnya ini wifi bandara untuk keperluan manajemen bandara, kemudian dikomersialkan. Selain gue, ada 2 orang lagi yang buka laptop. Ngga tau deh mereka wifi-an apa ngga. Yang jelas sih gue ngga, cuma denger lagu sambil nulis nulis aja :_)

Makanan di lounge ini cukup bervariasi, mulai bubur kacang hijau, mie goreng, roti (ada toaster), kue kecil macam pastel, risol dan bolu, sampai cemilam cemilan kecil, kacang keripik pisang (khas Lampung), dan keripik singkong balado. Gue cobain semua :_P

Pesawat yang direncanakan pk. 18.15, baru mendarat dari Jakarta pk. 18.30. Boarding baru pk. 7.00. Untung penerbangan hanya setengah jam, jadinya ngga terlalu BT, dan untung lounge-nya udah dibuka kembali. Sampai Jakarta 7.30 langsung melenggang keluar tanpa bagasi :_) Dan sudah menunggu si Natz diluar sana, yang sebenarnya kepingin masuk untuk settle pembayaran voucher menginap di Pangeran Beach (Padang, 30 July nanti) ke counter KAHA Tour di dalam Terminal kedatangan 2 B itu. Karena ngga bisa masuk, akhirnya gue yang melakukan pembayaran dan ngambil vouchernya. Malamnya kita langsung menuju Lembur Kuring (dekat bandara) untuk makan malam Gurame (tanpa ‘h’) goreng garing :_)

Sabtu Minggu di Jakarta harus gue manfaatkan bener, karena Senin pagi sudah harus berangkat lagi menunaikan pekerjaan yang belum tuntas di Lampung.

My Last Assignment, Sehari Bersama Petani, Kapan Lagi?

click the above title for photos related to this blog

Moment like this will be the moment that I miss the most about this company.

Minggu kedua assignment di Lampung. Setelah Sabtu Minggu ‘istirahat’ di rumah, hari ini harus kembali ke Lampung meneruskan pekerjaan yang belum tuntas. Untung kali ini datang bersama Roy. Juga karena udah settle deal dengan calon perusahaan baru, maka minggu ini bisa bekerja lebih fokus dan efektif.

Dalam perjalanan ke site terjadi pembahasan seru, mengapa gue harus pindah. Roy yang baru saja diangkat manager QA itu, akhirnya bisa menerima. Dia sendiri setuju, tawaran dari perusahaan di Tangerang itu, worthed untuk diambil, sangat worthed malah.

Sampai site, semua pekerjaan lancar dan bisa tepat schedule. Sehingga, seperti sudah dijadwalkan, gue dan Roy akan diajak berkeliling ke lahan singkong di bawah naungan plasma kita, untuk verifikasi status singkong. Ratusan petani di bawah naungan plasma ini menerima pinjaman dana untuk bercocok tanam singkong selama 1 musim tanam (sekitar 8 – 10 bulan). Pengerjaan lahan, penanaman bibit, pemupukan, penyiangan, sampai kegiatan panen, diawasi langsung oleh 4 root coordinator perusahaan.

Maka, Kamis pagi itu, pagi pagi sampai di site, kita langsung berangkat lagi. Menggunakan mobil Panther yang memang sangat cocok untuk masuk ke medan medan sulit. Salah satu root coordinator, Sigit, yang menyetir. Satu lagi, Anwar, pake sepeda motor, mengantisipasi ada lahan yang tidak dapat kita masuki dengan mobil, bisa disambung dengan bonceng sepeda motor.

Lahan pertama yang kita verifikasi adalah lahan yang dikoordinasi Pak Dirman, berlokasi di Sukadana. Pak Dirman, bersama puluhan pemilik lahan lainnya, tergabung dalam kelompok tani (koptan) Sukadana, yang dibentuk oleh Dinas Pertanian Pemda setempat. Sehari sebelumnya Pak Supri (Kepala Pembelian Singkong) sempat bercerita bahwa koptan Sukadana ini banyak yang tidak kooperatif dan tidak senang diverifikasi sebab dikiranya curiga dan tidak percaya pada mereka. Bahkan root coordinator sering diancam (kadang pakai badik-cluritnya orang Sumatera) waktu sedang bertugas ke sana. Sempet agak ngeri juga :_(

Kesan begitu memang ada ketika pertama kali bertemu Pak Dirman langsung. Namun, ternyata setelah diajak berjalan jalan berkeliling kebun-nya, pria hitam dan berperawakan sangar itu ternyata cukup ramah. Ternyata dia bukan orang Lampung atau peranakan Jawa. Marganya Sinaga, lengkapnya Sudirman Sinaga, orang Batak rupanya. Setelah capek berkeliling, kita singgah kembali ke rumahnya. Rumahnya sangat adem, dan -khas rumah di kampung kampung- halamannya sangat luas dengan bermacam tanaman bunga. Dia bercerita, saking seringnya root coordinator datang ke lahannya, sudah seperti saudara sendiri. Orangtuanya yang muncul dari belakang rumah ternyata tidak sependapat, beliau sempat curiga dengan kedatangan kita. Untunglah Roy pintar berkelit, akhirnya malah cerita bagaimana pengalaman pahit getirnya sang bapak yang sudah malang melintang di dunia persingkongan. Sampai melenceng ke acara TV kegemaran sang bapak, Mamamia. “Hiburan buat orang tua” kata bapak yang sudah berumur 72 tahun tapi masih mengaku muda ini.

Keluarga Sinaga memiliki total lahan seluas 12 Ha yang dirintis dengan membuka hutan, mengusir gajah dan macan liar, semua oleh sang bapak sendiri. Lahan seluas itu bisa menghasilkan paling sedikit Rp 120 juta sekali panen. Dengan total biaya sekitar Rp 3.2 juta per Ha (termasuk pupuk, tenaga kerja, pengangkutan dan bunga pinjaman), untuk sekali musim panen, bisa mengantongi keuntungan tak kurang dari Rp 80 juta. Artinya, sekitar Rp 10 juta sebulan. Lebih besar dari gaji supervisor berdasi di Jakarta :_)

Tak lama mengobrol, kita pamit dengan Bang Dirman dan bapaknya untuk melanjutkan verifikasi ke lahan lain, yang dikoordinasi oleh Mba Ning. Di perjalanan Sigit menggambarkan mba Ning sebagai wanita perkasa, yang mengambil sebagian besar pekerjaan laki laki. Terbayang deh, wanita perkasa itu bakalan sangar kayak cowok. Apalagi diceritakan dia naik sepeda motor Honda Tiger untuk mengawasi lahan yang semuanya dimiliki kaum pria itu.

Lagi lagi kita salah. Di rumah yang tampak belum selesai dibangun itu, hidup sepasang suami istri yang sangat ramah. Mba Ning berperawakan besar, namun raut wajahnya penuh senyum dan tutur katanya penuh canda tawa. Suaminya, yang tampak kecil dibandingkan sang istri, juga ramah dengan wajahnya ber-template senyum. Rumahnya pun teduh dan ada semacam perasaan senang bergaul dengan mereka.

Suguhan susu manis panas dan biscuit vanilla pun menemani siang yang penuh kehangatan itu. Si bapak bercerita bagaimana ia dan sang istri, dari Blitar, lalu mengadu nasib di Jakarta sejak tahun 1977, di mulai dari bersekolah di belahan selatan Jakarta. Ketika krismon menghantam perekonomian Indonesia, usaha kecil kecilan mereka pun terkena imbas yang sangat parah sehingga bangkrut. Dasar jiwa pejuang dan petualang, entah datang dari mana bisa muncul ide untuk move ke Lampung. Sejak tahun 2000, mereka sudah menetap di Lampung Timur, memulai usaha cocok tanam singkong. Saat itu, masih menjadi penyuplai untuk kompetitor terbesar kita. Sempat kecewa, kini ia mencoba lagi masuk sistem plasma bersama perusahaan kita yang baru rintis setahun belakangan ini.

Pejuang, petualang, namun berhati sangat lembut. Ia sempat menuturkan, bagaimana pekerjaan yang ia lakoni sekarang, menuntutnya selalu ada di lapangan, dan dia merasa kasian sekali dengan putra satu satunya yang masih duduk di kelas enam SD. “Hanya malam aja dia mendapat kasih sayang ibunya” tutur mba Ning dengan pandangan sedikit menerawang, seperti menyesali sesuatu.

Tanpa terasa, susu dan biskuit pun ludes. Tiba waktunya kita berangkat verifikasi lahan. Ngga juga sih. Waktu makan siang, lebih tepatnya :_P Diajaklah kita, oleh mba Ning dan suami, ke sebuah rumah makan Padang yang bisa lesahan. Mba Yuli pemilik warung, lagi lagi orang Jawa, pernah tinggal di Bekasi, mencoba nasib di Lampung Timur dengan berjualan nasi Padang. Jujur aja, masakannya biasa, hanya suasananya aja yang enak, nyaman, dengan angin sejuk sepoi sepoi.

Perut kenyang, mulailah kita berangkat. Gue dan Roy dengan mobil Panther Putih yang disetirin Sigit. Anwar naik MegaPro, mba Ning dengan Tiger. Yang lucu, suaminya yang diboncengin, mba Ning tanpa helm dan tanpa jacket, hanya kaos, celana pendek dan sandal jepit. Di lokasi yang tak jauh dari Taman Nasional Way Kambas itu, medannya cukup berat. Sebuah sungai dengan jembatan bambu mengakhiri perjalanan dengan mobil. Lahan singkong mba Ning ada di seberangnya. Disinilah gunanya Anwar membawa Megapro. Akhirnya 2 motor bonceng 6 orang. Anwar, Roy dan Gue di Megapro. Mba Ning, suaminya dan Sigit di Tiger. Tetep, yang nyetir, mba Ning.

Disana, kita diajak mampir ke sebuah saung yang cukup besar. Di bawahnya ada beberapa ekor sapi putih diikat dekat tiang. Di atas, beberapa pemilik lahan mengawasi lahan masing masing sambil mengobrol. Mba Ning langsung naik dengan tangga kayu yang memang disediakan itu. Kita pun diajak naik. Semua naik kecuali Sigit yang masih gemar memotret sapi sapi di bawah. Di atas, kita disediakan kopi hangat, sehangat suasanan yang mereka tawarkan ke kita. Ngobrol selalu diiringi canda tawa. Padahal masih beberapa lahan lagi yang dananya belum turun ke mereka, walaupun mengeluh, mereka percaya perusahaan kita pasti memenuhi janjinya. Kalau ngga, kita udah ditempelin clurit/badik kali :_P


Dari atas saung besar itu, terlihat hamparan hijau tanaman singkong tak bertepi. Di sanalah lahan lahan yang dimiliki Pak Mali, Pak Senen, Pak Suwondo dan bapak bapak yang lainnya, termasuk punya mba Ning. Denger denger, mba Ning sendiri punya 50 Ha. Betapa kayanya petani petani kecil di depan kita ini. Namun tetap bersahaja dan layaknya petani, tetap rendah hati dan menganggap kita –orang orang kota ini– sebagai lebih baik dan lebih hebat dari mereka. Padahal, dengan uang mereka, cukup untuk menimbun kita hidup hidup. Sayang foto petani petani kaya ini, entah kenapa, tidak jadi. Tustel Kodak yang dibawa Anwar, entah kenapa, hilang sebagian foto fotonya. Sayangnya, gue juga ngga njepret, si Anwar kan udah ada, pikir gue.

Waktu kembali ke mobil dengan motor, ada accident yang cukup membuat tertawa. Motor Megapro yang ditumpangi Anwar, Roy dan gue kehilangan keseimbangan dan tiga tiganya jatuh ngusruk ke kebon singkong orang. Untungnya gue sempat lompat di saat saat terakhir. Roy, yang memang ditengah, ngga bisa apa apa dan jatuh dengan posisi terakhir telentang (seperti kura kura terbalik). Dan Anwar ikut masuk ke kebon bersama motornya. Anwar memang terlalu kecil untuk membonceng gue dan Roy yang lebih dari 150 Kg berat berdua ditambahi. Habis jatoh bukannya pada langsung bangun, malah tertawa semua. Untungnya ngga ada cedera serius. Cuma lecet dikit aja.

Itu membuat tempat tempat lain yang kita kunjungi menjadi kurang bersemangat. Dan setelah pamit dengan mba Ning dan suami dan petani petani lainnya, kita lanjut verifikasi 2 lagi lahan kepunyaan Pak Nicky. Sayang juga, karena udah kesorean dan juga cape plus pegal pegal habis jatuh dari motor, kita ngga jadi mampir ke Taman Nasional Way Kambas. Lokasi penangkaran gajah yang amat terkenal di Lampung itu hanya berjarak ngga lebih dari 3.5 KM lagi di depan kita.

Begitulah sehari bersama petani petani yang bisa menghasilkan banyak uang itu. Rumah mereka besar besar, lahannya luas, sapi, kerbau, kambing, beberapa malah punya truk besar sendiri untuk ngangkut singkong dari lahan ke pabrik. Semua orang kaya yang gigih berjuang dengan lahan subur pemberian alam.


Tak lupa, ditengah jalan, kita mampir untuk menikmati manisnya durian Lampung. Yang ternyata, ngga manis manis amat (karena masih muda). 3 biji harga Rp 45,000, hanya 1 yang manis.

Sedikit Fakta mengenai Singkong yang gue pelajari dari Petani:
1. Jenis Singkong yang baik (untuk dibuat tepung tapioka) ada 2 macam: jenis cassesa dan jenis Thailand. Namun jenis cassesa sedikit lebih baik.
2. Jenis cassesa berumur lebih panjang, 10 bulan, sedangkan Thailand hanya 8 bulan. Namun, jenis cassesa makin lama makin baik (tinggi kandungan aci / pati-nya). Sedangkan Thailand > 12 bulan makin turun kadar aci-nya.
3. Singkong baik ditentukan dari kadar aci-nya (SC = Starch Content), makin tinggi harganya makin mahal. Alat pengukurnya disebut 'rendemen' yaitu berupa alat menyerupai timbangan dimana singkong dimasukkan ke dalam sebuah ember berisi air. SC singkong Lampung rata rata 24, lebih baik dari singkong Jawa yang biasanya di bawah 24.
4. Banyak sedikitnya singkong yang dihasilkan oleh 1 tanaman singkong dapat dilihat dari buku buku pada batangnya. Makin rapat, hampir bisa dipastikan, makin banyak dan makin besar 'jari' umbinya. Jadi tidak dilihat dari lebat atau hijaunya daun, misalnya.
5. 1 Ha lahan bisa menghasilkan paling sedikit 20 Ton singkong segar. Jenis cassesa bahkan bisa menghasilkan 30 Ton / Ha jika waktu pemupukan dan jenis pupuknya tepat.
6. Singkong sambung, adalah jenis cassesa yang disambung dengan singkong hutan (diikat). Singkong sambung akan tumbuh lebih besar dari singkong biasanya namun menghasilkan jauh lebih banyak. 1 Ha bisa mencapai 50 sampai 100 Ton, dengan jarak tanam 1 m tiap pohonnya.
7. Telo (ketela), Puhung, dan Bedot adalah antara lain sebutan untuk singkong. Bedot adalah sebutannya di Lampung :_)

My Last Assignment, Penutup yang Manis

Jumat, minggu kedua di Lampung Timur. Penutupan nih. Semua kerja keras selama 2 minggu ditutup dengan sebuah report yang harus di-agree dan ditanggapi management. Meeting cepat, serius, namun santai selama 2 jam penuh itu dihadiri 8 orang dari wakil perusahaan vs gue dan Roy. “Waduh, ditawur 8 orang nih” canda gue, mereka tertawa santai.

Selesai meeting 2 jam itu, waktu sudah hampir jam 4 sore. Sudah waktunya kita harus berangkat. Perjalanan ke bandara paling cepat butuh waktu 1.5 jam. Sedangkan pesawat kita jam 6.15 sore. Setelah bersalam salaman dan pamit pamitan. 2 buah koper dan 1 kotak berisi keripik pisang pesanan dari Inez pun masuk mobil Inova warna telor asin yang mengantar kita, gue, Roy dan Pak Maru (orang India) ke bandara.

Dalam perjalanan, Roy sempat bilang, kalau Inova ternyata lebih nyaman dari CRV (beberapa kali kita diantar jemput dengan CRV-nya Pak Minarta-GM). Baru kali ini diantar Inova, dan gue juga sependapat, Inova lebih empuk goyangannya. “Lu mesti bangga lu, sebagai pemilik Inova”, kata Roy. “Iya, dan nangis pas mau ngisi bensin” sambung gue :_P

Seperti biasa, masuk Executive Lounge sambari menunggu pesawat. Bertiga sama Pak Maru. Banyak juga bercerita dengan beliau. Pria berumur 42 tahun asli orang India ini termasuk India yang rendah hati, down to Earth, dan sangat friendly. Sangat berbeda dengan India India lain di kantor :_P Beliau sudah 14 tahun melalang buana bekerja di Indonesia dan mostly di Jakarta. Sudah pernah ke pelosok Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Sungguh, pribadi yang menyenangkan dan ngga sombong.

30 menit tidak terasa berada di pesawat Sriwijaya. Apalagi tidak delay. 15 menit sih, tapi itu ngga boleh dihitung delay :_P Sampai di Jakarta, langsung dijemput Natz dengan sopir. Begitulah 2 minggu di Lampung Timur. Penugasan terakhir yang akan gue rindukan. Di atas motor, sewaktu dibonceng bertiga oleh Anwar, Roy sempat mengemukakan, “Di tempat baru, lu ngga ada lagi yang kayak gini.” Bener banget. Dan hal hal seperti inilah yang gue paling kangen dari perusahaan ini. Dan Lampung Timur menyisakan kenangan manis tentang kota di pelosok, singkong, keramahtamahan petani, jatuh dari motor, pisang Cavendis, Rumah Adat Lampung dan potensi bisnis yang mungkin bisa gue tekuni dikemudian hari ;_)

29 Oktober 2007

About QA and My Assignments

Since I joined QA team about couples of years ago, the pattern of my life have been changed a little bit. I’ve become a traveler, or more a business trip-per. I work out-of-town more than in Jakarta, sometimes no work at all back in head quarter office. Last week could be in Medan, back to Jakarta for a week and then could be in Surabaya the next week. I probably stayed in hotel more often than my own home for the past 2 years. I go more places than before. People said that being auditor can offer you the most experiences of traveling (at Company’s cost, of course) than other any profession. Well, I guess they’re right. This has been kind of exited for me, for now. I’m not sure that I still have the same excitement after another one year doing like this. Until then, let’s just enjoy all the possibility offered by life.

Well, maybe I not yet been to so many places as others might been to. Or not to a places that so different than anybody else. But this has been enough to make me feel thankful. To open my eyes to many beautiful places in Indonesia, even abroad. And a little proud too. I mean some people are perhaps know Timbuktu better than let say, Guigang or Tanah Grogot (I was, 3 years ago). Now, I have chance to go there. And the amazing thing about it, I am not just go there as a tourist, I have a chance to feel what is it like to have a life like them, to live their life, something I always wanted so much for so long.

The job, the people I’ve met, the food, and of course, the beautiful pictures I’ve taken, which also can be viewed at http\\ajnatz.multiply.com. Ohya, about the job, I will tell you as little as possible so you don’t get boring too much, or not, cause I probably have nothing to say about the job. As one of my co-worker often said to me at 5 PM before we leaving the office, “another ‘hard’ working day” with a big grin coming out of his face.

I don’t really want to work here
I joined QA team 2 years ago, as I said in the beginning. I was offered to an accounting supervisor position by this local, seldom heard, not located at Sudirman, Thamrin or Kuningan-Company. I got a feeling that they will hire me, but I will refuse them at the very end of the recruitment process which could took a long time. So, this could be a waste of time, both for me and the Company. But, considering I am an unemployment at that time, with all respect to the karma, I come to the very first interview. Like I often said, if you refuse to answer the call of interview, you might not get one when the time you need them bad, that’s karma. So, I came.

The title “accounting supervisor” it self has frighten me. Supervisor? I’ve been an Assistant Manager before. And Accountant? My God, did I mentioned why I was unemployed at that time? Because I couldn’t stand being an accountant. Yes, I quit the job as Finance and Accounting Assistant Manager at an MNC (Multi National Company), everybody heard off, and located at Kuningan-Company after working there no longer than 2 months. I’m sick of accounting! But, as I said above, I came.

But maybe it’s true that this is my destiny. On my first interview, they change the offer to an internal audit, they call it QA here. QA = Quality Assurance, later change to Corporate Assurance but people still like to call it QA instead of CA. And at the very end of interview, they higher my position to become an assistant manager (ass-man ha ha), maybe because of the salary I asked is in that level.

It’s not really a team when I first stepped in the QA. Just two of us + one Senior Manager, an India. As soon as he leave us (resign from the Company), we prepared our schedule ourselves, developed the report, working paper and new way of work. Now, there are four of us in the team. Me, Roy, Darwin in Jakarta and Agung located in Surabaya. None of us is head, and as a youngsters, we work in a fun way, as long as we can deliver what our boss, which is the owner of the Company, want. The Company has branches spread all over Indonesia from Medan to Bali. Also there are subsidiaries in Sumatera, Java, Sulawesi, even in GuangXi Province, South of China. Anywhere there’s a company owned by our boss, that’s where we assigned (ourselves) to. Below is the detail stories of each location I’ve been to.

Surabaya
There’s a branch and 4 subsidiaries here. Actually my boss’ business was started here from a small chemical store. During 2006, I spend more of my time in Surabaya than in Jakarta. I assigned to Surabaya more than my other assignments. That’s make Surabaya my second city, and Somerset hotel have been a second home for me. But actually, I’m not always work in Surabaya during the assignment, there’s a small city +- 60 KM from Surabaya called Pandaan, very near to Pasuruan, but I often stay at Somerset, a four star hotel located at Kupang Indah.

From Jakarta to Pandaan through the highway is about 45 minutes. The highway across the location of Lumpur Lapindo, one of the nation disaster that haven’t been solved until today. I have been a witness of this big disaster from its very first day happen. When the smoke is still as small as rubbish burning. Now, the highway is closed. And the Lumpur Lapindo has become not only local news headline, but also international headline. I show you the picture taken from news and other picture taken by me :) Now going there has took more than 45 minutes as before. Now could took me 2 hours, sometimes even worst, to get there from Surabaya. There is a period of time that I chose to stay at Hotel in Tretes, mountain range near Pandaan (only 30 minutes). I’d stay at Hotel Surya, owned by Gudang Garam. Old hotel, quite spooky there. But when you wake up in the morning you can smell the morning dew and feel the pleasant cool weather.



Somerset has been my second home during 2006. Some of the employee even indeed recognize me. I choose to stay here because near highway gate to Pandaan, so I don’t have to spend more time in the city traffic. At the evening, not hard to find the food or place to hang out. Very near to the hotel, there’s plenty of fine restaurant serving Chinese food, Noodle, Sea Food, Steaks etc. Some of them are quite famous in Surabaya, such as Nasi Udang Bu Rudi, Bebek HT, Kepiting Cak Gundul, Fajar Noodle House, XO and Jade Imperial. Not far from the hotel, there’s a kind of high class pujasera, and Sea Master restaurant are there. One of my favorite sea food restaurant. Or, I can take a 15 minutes taxi to Supermall (PTC), there’s a fine Chinese restaurant there, one of the place I always return to, La Shang Wei. Their pork ribs coated with honey is fabulously delicious. I also eat once at BonXo before they closed. I don’t understand why they have to close it. The place is nice, the food too. Not very far from Supermall, there’s G-Walk, a street with many choices of restaurants and foods that only open at night. Located in the Citraland residential, the place is safe, cozy and can be very relaxing. I ate at Hachi Hachi Bistro, Japanese style of steak and sushi, a couple of time, also ate once at Restoran Khayangan, a Sundanese and Javanese style restaurant. I remember there is a grandiose Catholic Church near there.

What other good food in Surabaya…. Hmmm Let me think for a while… Ow, I like Ayam Penyet Bu Kris so very much. In fact, our company’s driver has know where to take me lunch, “Ayam Bu Kris, pak Andi?” yes, hot and spicy. Also Ayam Goreng Pemuda, Ayam Goreng Presiden and Ayam Goreng Hartono. Though they all taste the same but I enjoy eating them. Not so crispy but they sure yummy… Beside the above, there’s still some places that offer a good food, such as warung ijo in Pandaan or Soto Banjar at Tanjung Perak which I happen to eat this afternoon. The Soto taste real good, not to mentioned the sate, with best quality peanut sauce. Other place that quite famous here is Kya Kya road, only open at night, because at night the road is close for car and motorcycle. The foods are mostly Chinese food, because Kya Kya is located in China Town (Jl. Kembang Jepun). I only past the street a couple of time. Haven’t try the food, people told me the food not so special.

I know quite a lot now, don't I? he he.. When I first assigned here, there’s only little things I know about the food. Thanks to my cousin, Jamie, who introduce me to most of the above. She’s a young freelance designer who like to eat. In fact, their family owned a restaurant themselves. Depot Sehat, located at Mayjen Sungkono. Chinese/Medanese food which cooked specially by the father himself. Special Menu is Ayam Goreng Bawang Putih, crispy and taste good in your mouth.

Ohya, beside stayed at Somerset and Hotel Surya, I also been stayed at Plaza Surabaya Hotel, Garden Palace Hotel, Novotel Surabaya and Hotel Elmi. In fact, right now, I’m writing this blog at Garden Palace. There's legendary ice cream house (Zangrande) just outside the hotel. If I were in Somerset, I probably been drinking Forever Tonight while writing this. I remember one night, when four of us (complete QA team) have a chance to have dinner at Terakota Restaurant, Somerset level 2, I recommend the drink Forever Tonight to them. From then, Forever Tonight have been a favorite drink of QA team. About Garden Palace, I like the breakfast buffet. Elmi, no comment, I stay there only one night, and that is because I cannot have reservation at other Hotel. Plaza Surabaya, I don’t like. Although I stayed there many times. The felling when being in the hotel is not comfortable to me, I don’t know why, maybe because I have a bad dream once in here. But one thing good about Plaza Surabaya, the café is great, open air, and they play a sound of birds in the morning.

The language, you don’t have to be able to speak Javanese here, most people can speak Indonesian. However, I learn a view of simple Javanese words my self. Like sampean = you, ghetok = see, ono = there is / have, ora = no, akeh = a lot/many, muleh = go home, mangan = eat, etc.

Some of the tradisional food in Surabaya:
1. Rujak Cingur = this one is #1 traditional food here. You haven’t come to Surabaya if you haven’t try this one. Me my self haven’t tried it, and probably never will. If I told you what it made of, you would probably agreed. Cingur means nose, yes, the main component of rujak cingur is cow’s nose. Others are vegetable with peanut and chili sauce. I like vegetable with peanut sauce like many other traditional food in Indonesia (Gado gado / karedok / pecel) but please remove the nose, I mean the cow’s nose… iyach…
2. Lontong Balap. This one I’ve tried. Lontong = steamed rise in a pandan leaf. Eat with cockle and a lot of chili.
3. Tahu Campur. Bean-curd with cow’s inside (lungs, intestine, liver, complete)
4. Semanggi. This is semanggi leaf in peanut and cassava dressing.
5. Rawon. Stewed meat with dark liquid.
6. Sate Kelapa. This is originally from Madura.
From what I’ve been tasted, Surabaya’s foods are relatively so-so. Maybe my tongue is different from the Javanese.

About the work. We have a branch at Jalan Sumatera, a logistic company (shore tanks and warehouse) at Tanjung Perak, a glue manufacturer at Rungkut (SIER), and 2 starch fabrics located at Beji (Pasuruan) and Pandaan. The last one is the most often visited this last 2 years. During my assignments in Surabaya, I've been inside the empty shore tank and climbed up to the top of HMC (Harbour Moveble Crane; which used to moved containers). Also I've been on top of shore tank to do the stock taking.

Ponorogo
2 things about Ponorogo. Beautiful sun rise and great taste chicken satay. From the first day I arrived in Ponorogo, they’ve been suggesting sate Ponorogo to me, to bring home. This is one thing they very proud of.

The beautiful sunrise is because Ponorogo is surrounding by hills and mountains, that makes the sun beautifully rise from one of those hills/mountains, giving a tremendous picture when the gleam touches the field of rice down below.

I go there twice, last year July and early this year. My company own a starch manufacturing company, which quite famous here. The local called us “pabrik telo” which means “cassava manufacturer”. I was told that when we first here, Ponorogo really a village, not many people lived there. Now, with the exist of our company, the economy of the surroundings is lifted higher and that’s attract more people to come. I can say that we are the only big factory here, no other.

The company’s by product is pulp (waste, dregs of the cassava). Some of these pulp are given for surroundings for free, they can come to collect it at set time, twice a day. The pulp has a very unpleasant smell, but yet can make money by selling it to the factory that made animal food.

Near Ponorogo, there’s a St. Marry cave, which I never go there. I would really to, but Pak Santoso (one of the employee) told me that the road at that time is very slippery and not an easy road. He told me about story of a little girl once fell in to the deep and dark valley. A few days later, when everybody, including her mother, though they would never see her again, she came home safely, nice and clean. On one occasion, her mother took her to her friend’s home, a catholic. When she saw a statue of the holly Marry at the house, she jumped out and said, “Look Mom, that was the person who saved me from the dark valley.” They built a St. Marry cave on same location the girl was missing. Nice story.
In one Sunday morning, I have chance to went to the church, holly marry church. And when I tough that no Chinese in the town, I met a lot of my kind here, in the church. But all spoken Javanese. The Javanese here is main language. Unlike Surabaya, not many people can speak Indonesian. I have to learn one or two words here, like unju’an = drink; sundu’an = satay.

First visit, July 2007, I have a chance to go to Sarangan. A lake on top of the Mountain. Cool view, but not a cozy place for holiday. The water in the lake is dirty with oil dropped from poor maintenance boat. And very crowded, with village people, people selling traditional souvenir, and cars parked there. However, at least, I’ve been there. And eaten Sate Kelinci (rabbit satay) and Jagung Bakar (roasted corn). I even bought two Kuda Lumping (horse decoration made from coconut leaf), each complete with the whips.

And they really proud of the Satay (Sate Ponorogo). Both time, they pack 50 pin of satay for me to bring home. And something about the satay, the chicken is big, bigger than ordinary satay, and the taste is sweet, one said, they used gula merah to cooked it first. The sweet taste must influenced from Middle Java, because although Ponorogo is located in East Java, it is the nearest city to Mid Java. There's a narrow street called Jalan Sate which full with restaurant selling sate Ponorogo, but only one is famous amongs all Tukri Sobikun.

About the city, it has a lot of crossroads, and each crossroad has a statue. If you new here, or long time not coming, you will be dazed. You will find hard to differentiate one crossroad to another. I did.

Anyer (Banten) and Tanjung Priok
At Anyer, we have tank terminal and transport division for one of the private company serving petroleum in the gas station. Of course it’s located on the off shore of Anyer, not far from Carita. We know a location with good view and often go there to take pictures.

There’s a restaurant serving seafood called “Flamboyan”, with special menu fish head cooked with traditional spice. The fried fish as well delicious, cause the fish is fresh. The restaurant also serving lalapan (uncooked vegetables), tempe and asinan (salty fruits) which bring up the appetite, and we can take them as much as we want for free.

At Tanjung Priok we have tank terminal at the port and warehouses at Jalan Marunda. On the way to Marunda, there’s a delicious Padang restaurant, Caniago, with special crispy shrimp. On the port, we always ate at Saio Sakato, also a Padang restaurant.

Lampung
I go there three times. Once last year and twice this year. We have tank terminal at Panjang port and a starch manufacturer (just like one in Ponorogo) at Lampung Timur. First time here, I’d stayed at Sheraton Lampung, this is really a fine hotel, I must say. I enjoy there very much, the pool view was great. Although no fine restaurant near the hotel, it doesn’t matter, because having pindang ikan for dinner at the pool side is really something. Stay 2 nights at Sheraton Bandar Lampung, I moved to other city in Lampung called Metro, second big city after Bandar Lampung. In Metro, I stayed at the office that use also for residence. At that time, the fabric located at Way Sekampung was still under construction. Way Sekampung is about 50 Km from Metro. I go there to visit the under construction plant and also the cassava farmers that being our partner to support cassava when the plant is ready to operate. They are true villagers that very nice and welcome us. Most of them originally from Java, when Soeharto’s era of transmigration. There are 2 kinds of Javanese in Lampung, from transmigration (Soeharto’s era) and from colonial (Dutch era).

The second time here is to audit the Way Sekampung project. The three of us coming here, me, Darwin and Roy with a driver (we coming by car, through Merak – Bakaheuni). This is one hell of experience. We can eat durian with very cheap price, due to Durian season. Fresh fish in pindang ikan and lalapan. Also pete, just freshly picked from the farm, and can buy it directly from the farmer with unbelievable cheap price, only Rp 20,000 for more than 100 shaft. The good thing about it, since we came by car, we can bring them home with us, durian, pete, and of course, the famous Lampung original coffee. Also, Lampung snack from Yen Yen shop. There’s one person here, that we admire a lot for the way he ate. Samsul. You will admire him also if you saw him eat. He has a small body, maybe only 155 cm height. Can eat twice even three times as much as normal adult. We always wonder where the food goes.

The third time is operational audit. This time we (me and Darwin) came by plane. Not much experience this time. Not durian season and not pete season also. The second and third visit, we stayed at Metro Pacific hotel, with one cute receptionist girl (Dessy) who driving Darwin crazy.

Manado
From all places I’ve been during my assignments, this one is the one I want to share the most. Who don’t know Manado, one of the place that attract so many tourist, especially because of the amazing coral reef under the clear water sea in Bunaken. And the excitement was doubled, because my Natz also come with me, and all on the Company’s account !

Me and Natz were assigned to Manado at the same time. Very lucky! Not quite. Actually, I assigned my self to Manado at the same time Natz going there for a seminar. How do I do that? This is QA, everybody act a boss for themselves. Natz going first, after a view days, I come. We both set the date that make possible for us to extend on holiday.

My company owned the one and only golf course and driving range in Manado. A piece of cake, an easy audit. I complete the job and the report in three days. That’s left us another 3 days to enjoy Manado. Actually, not only for ourselves, I also doing the work, verifying the land owned by my boss, to make sure that the land is properly taken care. We were accompany by Mannopo’s family, Pak Jimmy Mannopo and wife, and sons, Haryanto (bobo) and Adi. Also accompany by Pak Iwan and Pak Yapi.

First adventure is Minahasa High Land. We visit Bukit Kasih. The hill that symbolized the harmonious of the five religion in Indonesia, Islam, Christian, Catholic, Buddhism, and Hindu. Before headed there, Pak Jimmy take us to see the new residences complex built by Ciputra (Citraland). Will be huge, I think, similar to Citraland in Surabaya.

Kasih means LOVE. Below the hill before we start climbing up, there are monument with 5 angle, each symbolized one religion. At the top of the hill there’s a momentous statue of cross, symbol of Jesus for Christian. But, unfortunately, due to rain, we not climb up to the top. In the middle of the hill, there are five prayer houses for each religion. Down to the other side of the hill, there are natural hot water. In some spot, the hot water is boiling, you can even cook eggs or cassava in the water.

Down from Bukit Kasih, there’s a lake named Tondano. We stopped to relax and take picture. And in the other side of the lake, there’s a restaurant with lake view. Great view, especially at evening. When we ate there, there’s a video making of Manado local singer, singing “Kisah kasih di sekolah” in Minahasa language. I learned that ‘bifi’ is and ant. "Malu aku malu, pada bifi merah" he he

Second day, Bunaken ! But I don’t dare to do the diving, because I’m can’t swim and I’m too afraid of drowning. Fortunately, for people like me, there’s bottom glass boat, and better than bottom glass boat, is Blue Banter, a side glass boat. There’s room under the boat, down the sea, and we can see through the side glass, not bottom glass. Quite expensive, but all paid off ! The coral reef was amazing. Not to mention the fish with many kind, color, and size. We also lucky to see a Napoleon fish that day. Napoleon fish usually so shy and very seldom to show up.

Enough seeing those stuff, Pak Jimmy and wife come and take us (and Adi) to Siladen island. We’re not stopping at Bunaken island, because Natz, that already been there, told me that Bunaken island has nothing to see. But Siladen is really something. Very nice view, white sand beach with very clear sea water, and the land looks still not much touched by human. However, the heat was killing. There are three island near to each other, Bunaken, Siladen and Manado Tua (is an inactive mountain). We have a good time, but already very tired when Pak Jimmy invite us to eat Paniki at his house. I have to say no, because that night, beside very tired, I have stomach ache. Actually, I wanted so much to taste Paniki (bat cooked with dozens of chili), Manado traditional food. But, I’m afraid that it will make my stomach more ache due to very spicy.

Day three, we visiting ex factory that used to produced smocked fish and export to Japan. The factory now closed and abandon. But the position of the land is good for a restaurant (facing the beach). From there, we headed to Hotel Sedona, the five star hotel in Manado. Natz were staying here for the seminar, before she moved to stay with me at Hotel Grand Central (three star hotel). Then we went to Wisata Bahari to have lunch. After that, we went to UD Kawanua to buy a view gift for people back home. Klapertart pie, peanuts, and other snacks.

Here, the religion life can be considered very harmonious. A lots and lots of Churches here. Nearly every corner, there is a Church. Majority of Manado people is Christian. Pak Jimmy even has raise a fund to build a church near the golf course. Beside religious, Manado people is famous of like party, like to eat and having fun of life. A lot of fine restaurant here and the place were designed to be a cozy place to hang out. I notice that almost every restaurant have music entertainment. This is because Manado people like to sing and good in singing. Pak Jimmy himself is one of the good singer. He never missed to sing every time we went dinner at the reataurant.

Manado’s food is mostly about sea foods. Some of the fine restaurant I have tasted:
1. ??
2. Sukur Jaya (famous with Napoleon fish head).
3. Restaurant Nelayan
4. Wisata Bahari
5. Soto rusuk babi (pork rib) at Manado Town Square

The other thing that I have a bit regret beside not eating Paniki, is not trying to play some golf, or just a swing or two in the driving range. I won’t missed that in my next visit. But in overall, Manado TOP.

Bandung
Bandung is a fun assignment. It’s all about food and factory outlet and of course, the famous brownies kukus. Going by train I can see the hill and river view along the way approaching Bandung. It took approximately 2 hours from Jakarta.

We tasted some good food at Sari Sunda, Batagor Kingsley, Laksana (at Cibabat, Cimahi), Madame Sari (Kartika Sari’s restaurant), and enjoy great view and cool weather at the Valley restaurant. The street musician playing accoustical jam is what I like from Batagor Kingsley at night.

We stayed at Grand Pasundan. On the last day, we don’t want to missed the factory outlet + buy some snack from Kartika Sari and Amanda.

Medan
Our company own a tank terminal at Belawan Port. I came with Roy and Reza Rajasa. This was the first time for all of us to Medan. First night, we stayed at Novotel Medan, then moved to Grand Angkasa (the only 5 star hotel in Medan).

Medan has a great food, unfortunately we here during Ramadhan. Due to Moslem people is fasting, not many restaurant open as usual. For example, Uda Sayang, a famous Padang restaurant is closed for the whole month. But, whichever restaurant is, the seafood is great. We also have chance to taste the Batak grill, the famous lapo (pork cooked with pig blood). We also order pulos pulos, papaya flower cooked with spices. Taste real good, TOP, yummy. Also the famous porridge buffet at Grand Angkasa Hotel, which only served at night, from 9 PM to 00 AM. Not bad, but not as delicious as we expected, just a little bit disappointed.

Durian Medan also one of the famous. Is Eddy (head of branch) who treat us here. After eating durian, he took us to Merdeka Walk. Nothing special there, the food not so good also, that’s what Eddy told us. So, we didn’t eat here, just take a look.

Special gift from Medan: Bika Ambon and Bolu Meranti. Only one store selling Bolu Meranti, but Bika Ambon, there’s plenty of store. Eddy took us to a street which full with Bika Ambon seller along the way. The famous one is ATI and Rika. In my opinion, Rika taste better.

Medan has been my next honeymoons destination. March 2008 ticket already in hand. People told me that Danau Toba is great. We can’t wait.

Guigang, Guangxi, China
I want to write this story separately. It has it own excitement :)

Conclusion
I enjoy my job very much. Among my friends who has the same level in KPMG, I could be the one who get the tiniest paid. But my life now is balance between work and enjoying life, which I never experienced before. I enjoy my life, I’m living it now, not later when I have ‘enough’ money, which probably would never will. I mean, how much is ‘enough’ when we talking about money. I work for my family, not for the money. For me, investment not just money or property, or any other assets. A happy and balance life for family also an important investment.