Tampilkan postingan dengan label Makassar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makassar. Tampilkan semua postingan

28 Februari 2009

Makassar, “Welcome to the Paradise”

MP3 di telinga gue lagi ngumandangin lagu “Welcome to my Paradise” ketika samar samar terlihat kota Makassar dari balik jendela pesawat. Selama seminggu gue disini, memang, ini salah satu “Paradise” di Indonesia !

16 – 20 February 2009

Menginjakkan kaki di bumi Makassar lewat pintu gerbangnya, bandara Hasanuddin, sudah terasa lain. Bandara baru itu berkesan megah dan bersih. Lihat day one Makassar. Gue langsung jump cerita ke hari berikutnya aja ya.

Bangun pagi di atas selat Makassar… wuahh… terdengar eksotis ya… Begitulah, pagi itu beranjak dari kamar 606 Hotel Pantai Gapura, persisnya bungalow yang menjorok ke laut. Hotel yang pantas direkomendasikan. Dan pasti akan balik ke sini lagi, bersama keluarga, one day.


Makan pagi di hotel. Restaurant Pinishi tempat bersantap pagi itu dibuat menyerupai kapal, berwarna putih dan menjorok ke laut. Persis disamping restaurant itu, bisa melihat aktivitas penduduk yang hilir mudik dari Pulau Lae Lae ke Makassar. Pagi itu beberapa perahu ukuran sedang merapat, membawa banyak warga Lae Lae yang akan memulai aktivitas mereka di kota (Makassar).


Tidak banyak yang bersantap pagi itu, banyak meja yang kosong. Santapannya pun tak banyak pilihan, hanya roti, prasmanan dan bubur. Yang unik mungkin nasi kuning khas Sulawesi dan sop merah (asal Jawa Timur??). Tulisannya sih sop kacang merah. Memang ada kacang merahnya dan daging. Nasi kuning dimakan dengan teri goreng, kacang tanah, tahu, tempe dan telor rebus.


Mendapati makan pagi yang biasa aja di hotel, gue bertekat makan pagi di luar aja, bareng teman teman kantor Makassar. Nyari makanan khas yang lebih otentik dan pastinya, lebih menggigit.

Di kantor, disuguhi penganan ringan yang kata mereka ‘khas Makassar’, tapi jelas bohong :_P Bukan maksud mereka untuk bohong sih, memang ada nama khusus yang mereka sebut untuk pastel dan lumpia semarang, yang gue lupa namanya.


Siangnya, gue diajak makan kepala ikan di RM Ulu Juku. Resto ini memang specialist kepala ikan. Bangunan RM nya agak tua, tapi pengunjungnya ramai sekali. Gue pesan Pallumara Sunu. Sunu dalam bahasa Makassar adalah ikan kerapu. Sementara Ulu = Kepala, dan Juku = ikan. Kalo Pallumara itu cara masaknya. Ada juga pilihan gulai, goreng atau goreng tepung. Tapi gue pilih pallumara, simply because gue belum pernah denger aja. Tapi ternyata ngga salah pilih lho, enak, kenyal dan gurih. Makan ikan kerapu seperti makan kikil, namun dengan tanpa merasa berdosa (kikil = kolesterol tinggi). Sementara kuahnya muantab. Asem, pedas dan segar. Begitu juga dengan ikannya. Ikan di Makassar ngga ada yang amis, semuanya segar.


Soal harga pun sedikit mengejutkan. Hanya 20k untuk Sunu dan Kakap Putih dan 22k untuk Kakap Merah. Ngga heran, sebab kepala ikan tak lain adalah limbah ekspor. Ikan di Makassar sudah tanpa kepala saat dikirim ke Jepang, Australia, dan Negara lainnya. Baca juga tentang Ulu Juku di sini.

Selesai makan, gue ditawari ke Forth Rotterdam. Wah gue langsung mengiyakan. Sayang banget, kalo ke Makassar ngga singgah sebentar ke bangunan peninggalan bersejarah itu.


Masuk, langsung disambut seorang guide yang menawarkan jasanya. Oke, kita juga kepingin tau lebih banyak, bahkan Deddy dan Irianto yang notabene sudah lama si Makassar, jarang jarang ke situ. Pak Gun yang asli Madura, juga bukan baru di Makassar, walaupun baru 6 bulan setelah sempat 4 tahun di Semarang. Dulu beliau sudah tugas di Makassar lebih dari 7 tahun.

Menarik, memang. Bagunan itu merupakan saksi sejarah bahkan sejak sebelum Belanda datang ke Indonesia. Benteng Pananyua dan Ujung Pandang nama lamanya. Dinamakan begitu, sebab ia berada di ujung (dekat laut) yang banyak pohon Pandan-nya (pada masa itu). Nah, lidah orang Makassar menyebutnya Ujung Pandang (dengan ‘ng’ dibelakang). Sedangkan Pananyua dalam bahasa Makassar berarti penyu, dan memang bentuk benteng ini menyerupai seekor penyu yang menghadap ke laut.


Disini ada yang jual mata uang Gulden jaman dulu, mahal, yang bagus 50k, yang agak hitam tergerus 18k. Pak Gun malah beliin gue satu yang 50k. Bagus juga untuk kenang kenangan :_) walaupun diragukan keasliannya.


Sempat ada satu kenyataan lucu yang membuat kita tertawa miris. Dikatakan oleh guide bahwa jaman dulu, Belanda itu pasukannya ngga pernah banyak. Yang turun hanya komandan komandannya saja. Sisanya dia pakai tenaga lokal untuk berperang. Pak Gun langsung nyeletuk, “sekarang juga, Belandanya cuma 2, tapi yang diperintah banyak” merefer pada kantor tempat kita bekerja sekarang ini :_P

Fort Rotterdam – baca dan liat gambarnya di sini

Malamnya habis pulang kerja. Kita mampir untuk makan malam di Restaurant Surya Super Crab, yang menu andalannya adalah kepiting super. Pesanan kita kepiting lada hitam, kepiting saos (merah) dan kepiting soka. Untuk appetizer-nya, sop tom yam. Gue pilih markisa – terong belanda untuk minumannya. Dikatakan ini khas Makassar, kok mirip mirip di Medan ya?

Seperti biasa, makanan pembuka-nya otak otak. Yang ini lebih ramping daripada yang kita makan di Ratu Gurih (malam pertama di Makassar).


Tom Yam-nya not bad, udangnya besar besar dan ngga pelit. Begitu juga dengan ikannya. Namun rasa kecutnya berbeda dengan Tom Yam pada umumnya, karena dia menggunakan nanas untuk membangkitkan rasa asamnya itu. Jadi mirip lempah kuning di Bangka.


Kepiting soka-nya biasa. Ngga ada yang bisa ngalahin yang di Pondok Laguna (Jakarta). Tapi untungnya yang namanya Lada Hitam dan Saos Merah enak banget. Jujur, bukan bumbunya sih yang membuat dia enak atau ngga, tapi kepitingnya itself ! Enak banget, lembut, gurih dan wangi. RM Surya ini rekomendasi semua orang kantor Jakarta yang pernah ke Makassar. Memang pantas untuk direkomendasikan.


Malamnya tidur di atas selat Makassar lagi :_P

Keesokan paginya, seperti yang gue ingin kemaren, makan pagi di luar hotel. Maka dibawalah gue ke China Town Makassar untuk makan bubur Makassar. Nama tempatnya Aan Ping Lao. Terkenal juga dengan mie pangsitnya. Namun gue pilih bubur, pengen cobain yang namanya bubur Makassar. Mie pangsitnya mungkin lain hari (namun sampai hari terakhir belum kesampaian). Di depannya gerai bubur ini, ada toko Cahaya, yang terkenal sebagai pusat oleh oleh dari Makassar.


Bubur Makassar, tadinya kirain kayak bubur Manado yang isi sayuran, ternyata beda. Ada pilihan ayam dan babi. Gue pilih babi. Mirip bubur Chinese pada umumnya, hanya saja babinya sudah dimasak bersama bubur. Beda sama bubur di Jakarta yang ayam/babinya terpisah, dipesan, baru dicampur. Yang sama yaitu dikasih cakue, tongcai, bawang goreng dan daun bawang. Tambahkan sedikit merica, rasanya sedap sekali. Ohya, ada tambahan telor ayam mentahnya juga. Sementara yang lainnya pesan mie pangsit. Ngiler juga sih.

Siangnya di kantor, gue disuguhi kacang disko (kacang rempah nama Makassarnya). Kacang dibalur dengan tepung goreng. Ada rasa sedikit pedas. Entah kenapa dinamakan kacang disko.


Siangnya, gue diantar ke RM Paotere di pinggir laut. Restaurant ini begitu terkenal sejak disinggahi Presiden SBY beserta ibu Ani. Kabarnya, si empunya restaurant sampai renovasi toilet khusus menyambut orang no 1 RI tersebut.


Di depan resto, sudah wangi tercium aroma ikan, udang dan cumi panggang. Pilih pilih ikan, langsung nyari tempat. Di dalam sudah ramai sekali. Di depannya ada 3 orang pengamen, salah satu diantaranya masih anak anak. Membawakan lagu Inggris maupun Indonesia bagus sekali. Untuk mengapresiasi mereka, gue kasih 10,000 ke dalam kotaknya.

Ngga berapa lama nunggu, yang datang duluan sop usus pesanan Deddy. Ini bukan usus sembarang usus, ini isinya usus ikan bandeng. Gue ikut nyicip karena pengen pesen satu lagi ternyata udah habis. Rasanya enak, walaupun agak agak pahit empedu ikan. Kuahnya pun gurih.


Tak berapa lama, datang semangkok kuah yang mirip dengan sayur lodeh. Isinya kacang panjang dan kol yang diberi santan segar, warna kuah nya masih putih. Ini adalah teman makan ikan bakar, semua yang dimeja masing masing dapat 1 mangkok. Juga untuk cocolannya dikeluarkan saos kacang dan cabe. Waktu gue pakai buat cocol otak otak, malah diketawain mereka, katanya itu buat ikan, untuk otak otak ini nih. Disodorin saos merah kental seperti biasanya.


Ikan bandengnya datang. Bersamaan dengan udang dan cumi putih. Seperti biasa, ikan bakar di Makassar tanpa bumbu, tapi sudah enak banget. Dan cumi putihnya itu juga gurih dan garing. Tidak kenyal. Mirip dengan cumi bangka. Seperti biasa, semuanya itu lebih sedep kalo diperaskan jeruk nipis diatasnya.

Sorenya, pas balik ke hotel masih belum malam, baru hampir jam 6. Masih ada waktu buat liat sunset nih. Kebetulan, Hotel Pantai Gapura ini menghadap laut. Tapi sebelumnya gue minta pindah kamar dulu. Rate 675k semalam di bungalow rasanya terlalu tinggi, dan cukuplah 2 malam gue merasakan eksotisme tidur di atas laut :_P Malam ini gue pindah ke kamar superior aja yang 475k. Yang deluxe 425k. Sedangkan yg bungalow tidak menghadap laut 625k. Itu semua harga paket Valentine. Published rate paling malah 1 jutaan, weleh…


Sunset di Losari memang luar biasa. Gue sampai tidak beranjak sampai matahari benar benar hilang. Yah, ditambah hujan juga sih, sehingga pengunjung di Sunset Bar pun bubar. Banyak juga lho bule bule disini. Juga tamu non-nginap, yang khusus datang untuk menikmati bir dingin atau juice sambil menatap sunset.

Gue dijemput jam 8 malam untuk makan malam. Disepakati malam itu untuk makan di Kios Semarang, yang berhadapan dengan pantai Losari. Gue sempet mention mau makan di Flamboyan (Chinese food – baca di Multiply). Wah, mereka bilang, jangan, lebih baik ke kios Semarang. Kios Semarang ini tempat legendaris peminum peminum bule berkumpul. Selain jual bir, dia juga jualan chinese food, yang juga digemari para bule.


Sampai sana langsung disambut 3 SPG, dari Bir Bintang, Guinness dan Phanter. Kita sih pesan Heineken (tentunya!). Dibanding 2 SPG lain, SPG Guiness memang kelihatan lebih menarik, ya orangnya, ya bajunya, ya penampilannya. Dibanding SPG Panther yang udah tua, tampang jutek, jauh dari langsing pula. Dari sini kelihatan siapa yang lebih berani bayar mahal untuk SPG. Namun yang lucu, hal itu kelihatannya tidak ada pengaruhnya. Walaupun para peminum itu belum mabok, tetep aja getol godain SPG Panther, yang bisa bisanya sok jual mahal juga. Entahlah, ini memang misterius, namun untuk menjadi SPG sukses bukan butuh sekedar cantik, namun harus bisa mengelola social skill nya terhadap para tamu.

Pesanan kita malam itu adalah Kodok goreng mentega, Cumi goreng mentega, Fu Yung Hai, dan Sayap Ayam. Yang khas disini memang Sayap Ayam. Nikmat banget, apalagi digado dengan bir dingin. In overall makanannya not bad.

Kiosnya pun tidak terlalu bagus, penataan meja pun terkesan sembarang. Tempat makan yang berada di lantai 3 dan terbuka ini sudah berdiri sejak 1975, didirikan oleh seorang Chinese bernama Yao Ming. Dipanggil Koming (Koh Aming). Koming sendiri yang duduk bersama kita dan bercerita. Di tempat seperti ini, memang biasa pemilik menghampiri tamu-nya dan minum bersama sambil ngobrol ngalor ngidul. Meja lain tampak ramai, ada beberapa meja isinya bule dengan ‘gadis’nya. Yang ngga bawa gadis, biasanya ditemani SPG.


Waktu ditanya kenapa namanya kios Semarang, kakek 2 orang cucu ini (salah satu cucunya berkeliaran di situ) bercerita. Neneknya (dalam hal ini nenek laki laki – kakek – orang Makassar menyebut moyang = nenek) yang asli dari China dulunya tinggal di Semarang. “Untuk menghormati saya punya nenek, saya kasihlah nama Semarang” dengan logat Makassar yang kental banget. Komingnya sih asli kelahiran Makassar. Sempet juga bercerita suka duka membuka kios bir, juga pada masa kerusuhan 1998. Si Om juga Ketua Makassar Hash, kumpulan bule bule yang suka joging, lari lari sore menyusuri pantai Losari dan kota Makassar. Larinya setiap Sabtu, abis lari, tak lain kegiatannya adalah minum minum (bir), maklum, bule. Dan bule di Makassar kebanyakan Eropa Utara, bukan Amerika.

Dari kios ini, bisa melihat aktifitas orang di pantai Losari. Pantai yang tak ada pasirnya ini, dipakai biasanya untuk piknik keluarga dan pacaran. Walaupun sebenarnya sangat tidak nyaman karena langsung berbatasan dengan jalan raya. Dulu, sepanjang jalan ini penuh dengan penjual mie gerobakan dan penjual pisang epe (pisang bakar penyet). Namun, sekarang sudah sangat jarang. Paling hanya satu dua orang saja berjualan pisang epe.


Kios ini saking ramainya, bisa menjual lebih dari 100 krat bir semalam hanya untuk 1 merk. Ia pun menunjukkan tempat pendinginan birnya, yang sekali tampung bisa 141 botol dan itu pun belum cukup. Harus dibantu oleh kulkas lainnya. Rahasianya adalah, dia buka dari sore. Sore menjelang malam, orang berkumpul (sebagai titik temu sebelum tujuan berikutnya), sambil menunggu orang makan dan minum. Habis itu, mereka pergi ke bar atau Karaoke. Sampai di sana, minumnya sudah ngga banyak, karena sudah banyak minum di sini :_) Begitu cerita sang empunya kios.

Seneng denger cerita si Om. Orangnya lucu, juga berapi api. Hanya saja logatnya yang agak susah ditangkap, kental banget. Misalnya dia menyebut ‘preman’ dengan ‘pareman’, stop dengan satop. Walah…

Pulangnya ke hotel di kamar 204 itu malah ada mimpi aneh. Mimpinya di dalam kamar itu ada kucing, trus kucing itu gigit tangan gue, rasanya sakit. Lalu kucingnya bisa gue pukul dan gue banting. Kejadiannya persis di kamar itu. Seperti bukan mimpi.

Kamis pagi di Makassar. Pagi ini gue request nasi kuning Makassar. Tempatnya tak jauh dari Hotel, persis di hadapan bangunan RRI Makassar. Nama tempatnya Nasi Kuning Riburane. Mirip nasi kuning Manado, dia pakai daging asap (masing masing 2 potong), daging gulai (masing masing juga 2 potong), telor kecap, abon, kering kentang, dan diberi potongan labu. Dengan lauk sebanyak itu, nasinya sampai hampir ketutupan. Cocok banget buat makan pagi. Tentu saja enak, dengan lauk yang melimpah begitu.


Siangnya gue diajak sesuatu yang khas Makassar: Pallubasa. Pallubasa ini tak ubahnya sop daging dan usus sapi, diberi kelapa sangrai. Ada dua yang terkenal di Makassar, satunya Pallubasa Serigala dan Pallubasa Onta. Keduanya berada di Jalan sesuai namanya, dan jarak keduanya tidak terlalu jauh jauh amat. Dikatakan, Pallubasa Onta yang lebih otentik walaupun Pallubasa Serigala yang buka duluan. Konon, si juru masak Pallubasa Serigala hengkang dan mendirikan tenda makannya sendiri. Iya, tempat makannya berupa tenda, tapi jangan tanya ramenya kayak apa.


Bisa pilih mau di ceplokin telor mentah atau ngga. Gue coba dengan telor mentah yang menjadi matang kena kuah panasnya. Mangkoknya kecil, tapi rasanya dahsyat dan bisa membuat nambah nasi. Daging dan ususnya memang empuk. Kuahnya pun boleh dibilang sangat berasa. Namun kelapa sangrai nya yang terlalu banyak sampai terasa mengganggu kenikmatan. Tapi in overall masih bisa di toleransi. Gue sampai nambah nasi, 2 nasi tambah dibagi bertiga Deddy dan Irianto. Teteep, jangan lupa peraskan jeruk nipis :_P

Selesai makan, kita ke kios durian di jalan Veteran. Tadinya pas ke Pallubasa udah liat, dia lagi unloading durian, langsung ngiler. Maka habis makan siang, berikutnya makan durian :_)


Duriannya baru datang hari ini dari Palopo, luar kota Makassar. Durian yang tampak kecil kecil itu ternyata isinya banyak dan rasanya jangan ditanya. Memang ada beberapa yang agak mengecewakan, tapi ada juga yang sangat creamy… manis agak pahit, begitulah durian yang nikmat. Selesai, ritual minum dan cuci tangan pakai kulit durian tidak lupa.


Setelah itu sempat ngider di depan rumah Pak Wapres Yusuf Kalla.

Sore itu sempat juga kita ke Tanjung Bunga. Disini sedang dibangun theme park indoor yang (katanya) terbesar di Asia Tenggara. Mungkin akhir tahun ini baru diresmikan.

Sempet juga mampir ke pantai Akarena yang berpasir hitam. Sore sore begini tampak beberapa mobil goyang. Ada juga yang duduk duduk pacaran, mungkin sudah selesai ber-‘goyang’ :_P


Tanjung Bunga ini semacam kota dalam kota yang dibangun dengan sebagian lahannya menguruk laut (reklamasi). Di dalamnya sudah ada perumahan, Mall (GTC Makassar), arena permainan anak anak (Amazon), ruang serba guna dan convention center.

Malamnya, melihat dan foto foto sunset di hotel lagi. Sebenarnya pengen juga ke anjungan pantai Losari untuk mengambil foto dari sudut pandang yang berbeda, tapi jaraknya mungkin butuh setengah jam jalan kaki, jadi, males juga. Ini foto di anjungan pantai Losari yang gue ambil dari fhianmhinie-amikprofesional.blogspot.com/


Malam itu dijemput makan malam agak malam (jam 9) karena rencana habis itu mau market visit ke bar dan karaoke. Gue dibawa ke tempat makan mie kering, karena siangnya gue sempet mention tentang mie titi, mie kering yang terkenal. Mereka bilang mie titi itu amat biasa, lebih enak coba yang di sini, di depan pelabuhan (terminal penumpang). Ternyata ngga enak juga, gimana dengan mie titi ya? Mie kering itu benar benar kering dan garing (ingat makan Mammie?). Disiram kuah kental dengan dominasi sayuran dan daging diatasnya. Tidak terlalu enak, terutama mienya, rasanya aneh. Tersedia juga mie goreng biasa (bukan mie kering), tapi rasanya juga tidak istimewa.


Saat itu juga dapat telepon kalao Kelly opname RS Hermina. Duh… hati langsung ngga tenang. Gue langsung putuskan untuk mencari tiket penerbangan paling pagi besoknya. Padahal siang tadi, sudah memajukan pesawat dari jam 5 sore ke 3.45. Tapi kerjaan tetap harus diselesaikan, maka malam itu tetap night visit dulu ke beberapa bar / karaoke. Ini salah satunya.


Mereka sempet puterin gue ke tempat beli oleh oleh (Toko Cahaya) yang ternyata udah tutup malam itu. Pulang sampai hotel sudah hampir jam 12 malam. Malam itu juga gue langsung grasak grusuk nyari penerbangan besok pagi. Akhirnya dengan bersusah payah, dapat juga, yang jam 7.30, kelas yang sama pula, sehingga hanya kena cancellation fee 25% dari harga tiket. Sampai jam 1 malam baru bisa dapat, sebab telepon lokal Garuda Makassar sudah tutup, sementara telepon premium 0814 tidak bisa diakses dari hotel maupun Matrix gue. Tak hilang akal gue telepon ke hotline Garuda di Jakarta (no-nya dapat dari 021 108 – 108-nya Jakarta). Setelah dapat tiket, hati lebih tenang dan coba untuk tidur.

Sebelum nya datang Papa Mertuanya Pak Louis yang mengantar ikan asin 2 kotak. Memang itu pesanan gue ke Pak Louis (sekarang di Semarang, dulunya di Makassar). Sampai hari ini belum gue bayar karena Pak Louis sepertinya tarik ulur ngga mau dibayar, jadi ngga enak hati. Pokoknya mau gue tagih terus (yang bayar kok malah yang nagih he he he). Malam itu juga gue telepon Pak Gun untuk rencana besok pagi.

Pagi pagi jam 6.10 gue dibangunkan oleh telepon Pak Gun, duh, gue malah kesiangan. Setelah cek out, Pak Gun sempet punya cerita lucu. Dia ngga tau gue udah pindah kamar, jadi pagi itu langsung nyelonong ke bungalow 606, lalu manggil. Tapi dia bingung, yang nyahut kok cewe.. dalam hatinya.. “wah sempet sempetnya nih Pak Andi..” Pas keluar tuh cewek, ternyata bukan kamarnya Pak Andi. Gue tertawa aja…


Untungnya sampai bandara ngga telat. Sempet masuk lounge blue sky yang masih sepi banget. Baca disini ulasannya. Ternyata pesawat gue transit Balikpapan dulu. Dan mereka kayaknya lupa kenain charge cancel :_) Jadi, gue udah 2 kali ke Balikpapan tapi hanya mampir di Bandara Sepinggan. Tahun 2007 dulu transit dari Manado sama Natz, dulu itu sempet ketemuan juga sama Dion (temen kampus yang pindah ke sana). Total perjalanan 4 jam, 3 jam di udara (1 jam Makassar – Balikpapan, 2 jam Balikpapan – Jakarta). Sempet dapet foto pelabuhan di Balikpapan yang oke banget dari atas.


Sampai Jakarta langsung ke RS Hermina. Untung Kelly sekarang udah sembuh, setelah intensive care. Makanya baru sekarang sempet nulis lengkap soal Makassar. Makassar benar benar Paradise. Next time ke sana musti ke Tana Toraja (8 jam darat), Pulau Khayangan (setengah jam speed boat), makan mie pangsit, makan coto makassar dan sop saudara (khas Makassar). Next time, dengan Natz dan Kelly :_)

Foto Kuliner Makassar dan lain lain di sini
Foto Fort Rotterdam di sini
Hotel Pantai Gapura di sini
Sunset dari Hotel Pantai Gapura di sini
Perjalanan Makassar - Balikpapan - Jakarta di sini

18 Februari 2009

Makassar day one... berbaring di atas selat Makassar

Pagi bangun agak telat. Berangkat jam 6 kurang untuk schedule flight 7.10 menuju Makassar. Pak Ubai agak ngebut sih, jadinya masih jam 6 lewat sedikit sudah di bandara. Pagi itu hujan dari jam 3 pagi. Sampai di depan counter check in, ternyata kursi jendela maupun aisle sudah penuh, tinggal kursi tengah, well, have no choice but to blame my self why woke up so late?

Masih ada waktu untuk executive lounge nih. Tapi begitu sampai di Sunda Kelapa Lounge (lounge fav gue), kecewalah gue karena both Mega Translution dan BII Platinum yang used to be bisa dipake, entah sejak kapan ngga bisa lagi. Juga di Indosat Lounge :_( My oh my, gue bukan ‘king of free Platinum and Gold card’ anymore… Kartu kredit sebanyak itu Gold dan Platinum, ngga ada yang bisa dipake di Lounge, apa kurang KK gue? Haruskah gue apply more and more KK? Insane…

Jadilah gue ke deretan Starbucks, Rotiboy, Oh Lala dkk. Gue berhenti di counter syomai dan tertarik. Sepiring syomai 22,500. Si mbak kehilangan beberapa biji syomai (jatuh) karena kepenuhan. Enak juga sih, sayang saosnya kurang banyak. Jelas enaklah 4500 sebijinya. Yang sebiji 1250 aja (syomai motor) berasa mahal he he he…


Ngga lama, udah dipanggil masuk ruang tunggu. Setelah selesaiin syomai agak terburu buru dan melangkah ke pintu F4 yang terjauh, ternyata belum naik pesawat. Toilet di ruang tunggu ternyata sedang renov, wah semoga jadi lebih representative deh. Suka risih kalo naik pesawat belum ‘bersih’ benar. Dan toilet bandara selalu ngga bisa diandalkan, suka ilfil duluan. Moga moga habis renov lebih bagus.

Pesawat tidak delay sama sekali, dan hujan sudah berhenti sesaat mau naik pesawat (thank God). Tidak duduk di jendela membuat gue memaksa diri untuk tidur. Tapi bapak sebelah mengajak ngobrol. Konsultan ADB itu lagi ada acara di Manado. Iya, pesawat pagi itu memang connecting ke Manado. Sempet cerita tentang warung warung makan belakang GKBI/BRI, karena kantor ADB ternyata di BRI II. Di dalam pesawat sempat guncang guncang seperti di bis. Dalam mata yang terpejam, ngeri juga ngebayangin kalau tiba tiba pesawat terpelanting seperti peristiwa Adam Air beberapa tahun lalu.

Lebih 2 jam berada di pesawat, dan tepat 10.30 WITA sampai di Makassar (bandara Sultan Hassanudin). Begitu keluar pesawat langsung WOW, surprise dengan bandara yang ternyata udah baru (baru 6 bulan terakhir beroperasi). Tahun 2007 waktu ke Manado (transit Makassar), duh, bandaranya jelak banget, tua dan kuno banget. Ternyata kasusnya sama kayak Surabaya, dulunya punya angkatan laut dan bangun yang lebih baru lebih megah. Someway, Hassanudin jauh keliatan lebih megah dari Juanda, entahlah ada hubungannya ngga dengan Yusuf Kalla (wapres) asli Makassar.


Di luar, Pak Gunawan sudah menunggu. Karena udah siang (mau jam 11 WITA), langsung menuju kantor yang jaraknya sekitar 1 jam. Sebenarnya sih cukup setengah jam rasanya, tapi orang sini nyetirnya pelan (sama kayak Manado), jadi butuh 1 jam. Keluar area bandara langsung ketemu macet, nah lho, macet di Makassar. Untung ada tol langsung ke pusat kota. Kantor kita kawasan Lapangan Karebosi. Ternyata semua yang gue baca tentang Makassar ngga jauh jauh dari sini. Lapangan Karebosi dan Sop Konro Karebosi, Forth Rotterdam, Pantai Losari, bahkan kantor, semua berdekatan. Langsung tuing tuing deh terbayang mudahnya jalan jalan di sini :_P

Meeting bentar, udah jam 12 lewat, duh WITA kok terasa lebih cepat ya he he. Hal pertama di benak gue untuk makan siang itu adalah Sop Konro Karebosi yang maha terkenal itu. Letaknya ngga persis persis amat di depan lapangan yang kesohor itu. Tapi ini the one and only di Makassar, ngga kayak Jakarta yang ada beberapa cabangnya. Persis di depan gerainya, tempat iga iga yang padat daging itu dibakar.


Gue coba sop konro karena khas Makassar. Ada pilihan Iga bakar dan juga Sop campur (iga dan babat – yang kebetulan siang itu lagi kosong). Iga bakar amat menarik, tapi gue berusaha fokus pada orisinalitas. Untung Mas Deddy (yang siang itu ikut makan siang) memesan iga bakar sehingga gue bisa ikutan icip.


Walaupun sop, hidangannya diatas piring, karena disajikan dengan tulang yang panjang panjang. Walaupun tulang, cukup padat daging. 2 potong tulang yang berlimpah dagingnya dalam satu piring. Dagingnya pun empuk banget, agak agak liat, dan copot banget dari tulangnya. Dan you know the best part dari tulang iga? Ada semacam lapisan yang liat melekat antara daging dan tulang, kalau bagian itu mudah copot dari tulang, serasa dunia kenikmatan ada dalam genggaman. Dan bila ngga, betapa kesal dan wasted banget makan iga seperti itu.

Iga bakar yang gue icip dari mas Deddy, wuidih... berkesan banget di lidah. Iga bakar disajikan dengan saos kacang dan semangkok kuah sop. Sop baru keluar ‘jiwa’-nya ketika diperaskan jeruk nipis dan disiram cukup sambel merah. Enak banget.


Tempatnya ngga beda jauh dengan gerai yang di Gading, ya ubinnya, ya meja kursinya, ya pemanggangannya. Mirip abis. Rasa sop-nya? Ya, ngga beda beda amat... Hanya saja, ada sensasi khusus bersantap di tempat asalnya yang benar benar orisinil.

Sorenya, jam 6 sore, gue dibawa ke Hotel. Gue memang pilih hotel yang direkomen sama temen kantor di Jakarta (Felish, thanks ya sis, it’s a fabulous hotel!). Sengaja gue buat seolah mereka yang came out with the idea. Gue hanya bilang, kalau bisa yang di pantai, yang menghadap pantai gitu. Diantarlah gue ke hotel Pantai Gapura, yang punya bungalow yang bukan hanya menghadap pantai, tapi dibangun menjorok ke laut selat Makassar. Beyond my expectation. Ngga kebayang deh, gue tidur di atas laut :_P Bungalow gue persis menghadap Pulau Lae Lae, pulau kecil terdekat dengan Makassar.


Jam 8 malam, gue dijemput lagi. Masih sama Pak Gun dan Mas Deddy, menuju Ratu Gurih (seafood). Masuk, di depan udah disambut ikan ikan yang bisa dipilih, dan udang berbagai macam. Gue langsung pilih ikan Ciapak, simply because it’s new for my ear. Pilihan lain baronang dan ekor kuning amatlah biasa. Cara masaknya pun ngga macam macam, bakar tok. Ditambah udang 4 tusuk @ 4 ekor, gede gede lho udangnya. Ohya, orang Makassar makan ikan satu ikan untuk seorang. So, puas puasin deh…


Yang keluar duluan adalah berbagai sambel yang bisa diracik sendiri maupun dibuat sendiri sendiri. Dan ngga lama, datanglah otak otak. Disini otak otak dibungkus daun pisang dan digoreng (tanpa minyak) di atas tevlon. Gede gede juga otak otaknya dan gurih. Namun, bukan saos kacang cocolannya, entah apa, rasanya agak manis dan kental, kemerah merahan.


Malam itu makan amat kenyang. Seekor ikan ukuran cukup besar, plus setusuk udang isi 4 yang cukup besar juga + kangkung dan toge ikan asin. Ikannya amat gurih dan jauh dari rasa amis. Dibakar tanpa bumbu kecuali hanya bawang putih dan minyak goreng. Pengakuan Pak Gun, sebelum menginjak kaki di Makassar, beliau ngga doyan ikan, namun sekarang, jadi salah satu fav dia. Disini ikan sangat fresh, tidak amis, dan so pasti murah.


Untuk minuman, gue pesan sarang burung wallet karena penampakannya di menu yang cukup unik. Dikemas dalam batok kelapa, isinya selain sarang wallet, juga ada kelapa, nata de coco, irisan jeruk bali, rambutan, dan sesuatu yang disematkan di dalam rambutan (yang sudah dikeluarkan dari bijinya), warnanya kuning, ngga bisa gue tebak apakah itu. Yang jelas, rasanya enak sekali, gurih, manis, rasa buahnya juga bikin segar. Top banget.


Ruang resto itu penuh tumplek, satu beranjak, belum selesai meja dibersihkan, sudah menunggu tamu berikutnya. Bisnis makanan di Makassar benar benar oke, sekitaran resto Ratu Gurih (dan resto itu sendiri) penuh sesak dengan pengunjung. Terbukti dengan banyaknya mobil yang parkir di depan resto resto itu. It’s Monday night, almost 10 o’clock pula, tapi bukan alasan bagi lidah lidah orang Makassar ini untuk tidak bertualang rasa. Dan mereka suka makan sekeluarga, ngga beda jauh dengan orang Manado.

Malam itu gue diajak putar putar sedikit di Bolevard pantai Losari. Jauh dari bayangan gue soal pantai. Tidak ada pantai disini. Tidak ada pasir, tidak ada nyiur melambai. Yang ada, jalan beraspal, lalu air laut. Beberapa spot malah ada seng seng yang sangat mengganggu, tanda sedang direnovasi. Begitulah hasil reklamasi pantai, ngga ada lagi sentuhan alamiah disini, semua buatan manusia. Dulu Losari dipenuhi gerobak penjual makanan, terutama mie dan pisang epe (pisang bakar penyet). Sekarang hanya pisang epe saja dan bangunan baru seperti hotel dan restaurant. Atas nama kerapihan kota, all must gone. Hotel gue tak jauh menyusuri jalan bolevard itu.

Balik ke hotel, cukup ngantuk, apalagi abis makan kenyang. Ada perasaan eksotis bisa tidur di bungalow atas laut ini. Suara pelan air laut dan sesekali deru mesin perahu mengantar gue ke alam mimpi. Besok pengen bangun pagi (cita cita jam 5) dan menatap indahnya pantai, foto, sebelum makan pagi di Restaurant Pinishi, sebuah resto yang berbentuk kapal di atas laut. Namun aktualnya, gue bangun jam 7. Untung dijemput jam 8 lewat. Dan breakfast hotel ngga begitu istimewa, ngga masuk kategori ok malah. Jadinya, gue ada cukup waktu untuk foto sekeliling bungalow pagi itu. Belum cukup sih sebenarnya. Well, gue punya 4 malam disini. Cukuplah untuk mengagumi betapa pilihan yang ngga salah di hotel ini.


One thing for sure in my mind right now,,, I wanna take my family, Natz and Kelly ke sini, merasakan eksotisme hotel ini, someday. Took them to wisata Makassar, Pulau Kayangan dan yang termasyur Tana Toraja. Dengan jarak tempuh 8 jam dari Makassar, gue rasa Tana Toraja jauh dari agenda gue kali ini :_(

Day one Makassar, foto-nya di sini