Pagi bangun agak telat. Berangkat jam 6 kurang untuk schedule flight 7.10 menuju Makassar. Pak Ubai agak ngebut sih, jadinya masih jam 6 lewat sedikit sudah di bandara. Pagi itu hujan dari jam 3 pagi. Sampai di depan counter check in, ternyata kursi jendela maupun aisle sudah penuh, tinggal kursi tengah, well, have no choice but to blame my self why woke up so late?
Masih ada waktu untuk executive lounge nih. Tapi begitu sampai di Sunda Kelapa Lounge (lounge fav gue), kecewalah gue karena both Mega Translution dan BII Platinum yang used to be bisa dipake, entah sejak kapan ngga bisa lagi. Juga di Indosat Lounge :_( My oh my, gue bukan ‘king of free Platinum and Gold card’ anymore… Kartu kredit sebanyak itu Gold dan Platinum, ngga ada yang bisa dipake di Lounge, apa kurang KK gue? Haruskah gue apply more and more KK? Insane…
Jadilah gue ke deretan Starbucks, Rotiboy, Oh Lala dkk. Gue berhenti di counter syomai dan tertarik. Sepiring syomai 22,500. Si mbak kehilangan beberapa biji syomai (jatuh) karena kepenuhan. Enak juga sih, sayang saosnya kurang banyak. Jelas enaklah 4500 sebijinya. Yang sebiji 1250 aja (syomai motor) berasa mahal he he he…
Ngga lama, udah dipanggil masuk ruang tunggu. Setelah selesaiin syomai agak terburu buru dan melangkah ke pintu F4 yang terjauh, ternyata belum naik pesawat. Toilet di ruang tunggu ternyata sedang renov, wah semoga jadi lebih representative deh. Suka risih kalo naik pesawat belum ‘bersih’ benar. Dan toilet bandara selalu ngga bisa diandalkan, suka ilfil duluan. Moga moga habis renov lebih bagus.
Pesawat tidak delay sama sekali, dan hujan sudah berhenti sesaat mau naik pesawat (thank God). Tidak duduk di jendela membuat gue memaksa diri untuk tidur. Tapi bapak sebelah mengajak ngobrol. Konsultan ADB itu lagi ada acara di Manado. Iya, pesawat pagi itu memang connecting ke Manado. Sempet cerita tentang warung warung makan belakang GKBI/BRI, karena kantor ADB ternyata di BRI II. Di dalam pesawat sempat guncang guncang seperti di bis. Dalam mata yang terpejam, ngeri juga ngebayangin kalau tiba tiba pesawat terpelanting seperti peristiwa Adam Air beberapa tahun lalu.
Lebih 2 jam berada di pesawat, dan tepat 10.30 WITA sampai di Makassar (bandara Sultan Hassanudin). Begitu keluar pesawat langsung WOW, surprise dengan bandara yang ternyata udah baru (baru 6 bulan terakhir beroperasi). Tahun 2007 waktu ke Manado (transit Makassar), duh, bandaranya jelak banget, tua dan kuno banget. Ternyata kasusnya sama kayak Surabaya, dulunya punya angkatan laut dan bangun yang lebih baru lebih megah. Someway, Hassanudin jauh keliatan lebih megah dari Juanda, entahlah ada hubungannya ngga dengan Yusuf Kalla (wapres) asli Makassar.
Di luar, Pak Gunawan sudah menunggu. Karena udah siang (mau jam 11 WITA), langsung menuju kantor yang jaraknya sekitar 1 jam. Sebenarnya sih cukup setengah jam rasanya, tapi orang sini nyetirnya pelan (sama kayak Manado), jadi butuh 1 jam. Keluar area bandara langsung ketemu macet, nah lho, macet di Makassar. Untung ada tol langsung ke pusat kota. Kantor kita kawasan Lapangan Karebosi. Ternyata semua yang gue baca tentang Makassar ngga jauh jauh dari sini. Lapangan Karebosi dan Sop Konro Karebosi, Forth Rotterdam, Pantai Losari, bahkan kantor, semua berdekatan. Langsung tuing tuing deh terbayang mudahnya jalan jalan di sini :_P
Meeting bentar, udah jam 12 lewat, duh WITA kok terasa lebih cepat ya he he. Hal pertama di benak gue untuk makan siang itu adalah Sop Konro Karebosi yang maha terkenal itu. Letaknya ngga persis persis amat di depan lapangan yang kesohor itu. Tapi ini the one and only di Makassar, ngga kayak Jakarta yang ada beberapa cabangnya. Persis di depan gerainya, tempat iga iga yang padat daging itu dibakar.
Gue coba sop konro karena khas Makassar. Ada pilihan Iga bakar dan juga Sop campur (iga dan babat – yang kebetulan siang itu lagi kosong). Iga bakar amat menarik, tapi gue berusaha fokus pada orisinalitas. Untung Mas Deddy (yang siang itu ikut makan siang) memesan iga bakar sehingga gue bisa ikutan icip.
Walaupun sop, hidangannya diatas piring, karena disajikan dengan tulang yang panjang panjang. Walaupun tulang, cukup padat daging. 2 potong tulang yang berlimpah dagingnya dalam satu piring. Dagingnya pun empuk banget, agak agak liat, dan copot banget dari tulangnya. Dan you know the best part dari tulang iga? Ada semacam lapisan yang liat melekat antara daging dan tulang, kalau bagian itu mudah copot dari tulang, serasa dunia kenikmatan ada dalam genggaman. Dan bila ngga, betapa kesal dan wasted banget makan iga seperti itu.
Iga bakar yang gue icip dari mas Deddy, wuidih... berkesan banget di lidah. Iga bakar disajikan dengan saos kacang dan semangkok kuah sop. Sop baru keluar ‘jiwa’-nya ketika diperaskan jeruk nipis dan disiram cukup sambel merah. Enak banget.
Tempatnya ngga beda jauh dengan gerai yang di Gading, ya ubinnya, ya meja kursinya, ya pemanggangannya. Mirip abis. Rasa sop-nya? Ya, ngga beda beda amat... Hanya saja, ada sensasi khusus bersantap di tempat asalnya yang benar benar orisinil.
Sorenya, jam 6 sore, gue dibawa ke Hotel. Gue memang pilih hotel yang direkomen sama temen kantor di Jakarta (Felish, thanks ya sis, it’s a fabulous hotel!). Sengaja gue buat seolah mereka yang came out with the idea. Gue hanya bilang, kalau bisa yang di pantai, yang menghadap pantai gitu. Diantarlah gue ke hotel Pantai Gapura, yang punya bungalow yang bukan hanya menghadap pantai, tapi dibangun menjorok ke laut selat Makassar. Beyond my expectation. Ngga kebayang deh, gue tidur di atas laut :_P Bungalow gue persis menghadap Pulau Lae Lae, pulau kecil terdekat dengan Makassar.
Jam 8 malam, gue dijemput lagi. Masih sama Pak Gun dan Mas Deddy, menuju Ratu Gurih (seafood). Masuk, di depan udah disambut ikan ikan yang bisa dipilih, dan udang berbagai macam. Gue langsung pilih ikan Ciapak, simply because it’s new for my ear. Pilihan lain baronang dan ekor kuning amatlah biasa. Cara masaknya pun ngga macam macam, bakar tok. Ditambah udang 4 tusuk @ 4 ekor, gede gede lho udangnya. Ohya, orang Makassar makan ikan satu ikan untuk seorang. So, puas puasin deh…
Yang keluar duluan adalah berbagai sambel yang bisa diracik sendiri maupun dibuat sendiri sendiri. Dan ngga lama, datanglah otak otak. Disini otak otak dibungkus daun pisang dan digoreng (tanpa minyak) di atas tevlon. Gede gede juga otak otaknya dan gurih. Namun, bukan saos kacang cocolannya, entah apa, rasanya agak manis dan kental, kemerah merahan.
Malam itu makan amat kenyang. Seekor ikan ukuran cukup besar, plus setusuk udang isi 4 yang cukup besar juga + kangkung dan toge ikan asin. Ikannya amat gurih dan jauh dari rasa amis. Dibakar tanpa bumbu kecuali hanya bawang putih dan minyak goreng. Pengakuan Pak Gun, sebelum menginjak kaki di Makassar, beliau ngga doyan ikan, namun sekarang, jadi salah satu fav dia. Disini ikan sangat fresh, tidak amis, dan so pasti murah.
Untuk minuman, gue pesan sarang burung wallet karena penampakannya di menu yang cukup unik. Dikemas dalam batok kelapa, isinya selain sarang wallet, juga ada kelapa, nata de coco, irisan jeruk bali, rambutan, dan sesuatu yang disematkan di dalam rambutan (yang sudah dikeluarkan dari bijinya), warnanya kuning, ngga bisa gue tebak apakah itu. Yang jelas, rasanya enak sekali, gurih, manis, rasa buahnya juga bikin segar. Top banget.
Ruang resto itu penuh tumplek, satu beranjak, belum selesai meja dibersihkan, sudah menunggu tamu berikutnya. Bisnis makanan di Makassar benar benar oke, sekitaran resto Ratu Gurih (dan resto itu sendiri) penuh sesak dengan pengunjung. Terbukti dengan banyaknya mobil yang parkir di depan resto resto itu. It’s Monday night, almost 10 o’clock pula, tapi bukan alasan bagi lidah lidah orang Makassar ini untuk tidak bertualang rasa. Dan mereka suka makan sekeluarga, ngga beda jauh dengan orang Manado.
Malam itu gue diajak putar putar sedikit di Bolevard pantai Losari. Jauh dari bayangan gue soal pantai. Tidak ada pantai disini. Tidak ada pasir, tidak ada nyiur melambai. Yang ada, jalan beraspal, lalu air laut. Beberapa spot malah ada seng seng yang sangat mengganggu, tanda sedang direnovasi. Begitulah hasil reklamasi pantai, ngga ada lagi sentuhan alamiah disini, semua buatan manusia. Dulu Losari dipenuhi gerobak penjual makanan, terutama mie dan pisang epe (pisang bakar penyet). Sekarang hanya pisang epe saja dan bangunan baru seperti hotel dan restaurant. Atas nama kerapihan kota, all must gone. Hotel gue tak jauh menyusuri jalan bolevard itu.
Balik ke hotel, cukup ngantuk, apalagi abis makan kenyang. Ada perasaan eksotis bisa tidur di bungalow atas laut ini. Suara pelan air laut dan sesekali deru mesin perahu mengantar gue ke alam mimpi. Besok pengen bangun pagi (cita cita jam 5) dan menatap indahnya pantai, foto, sebelum makan pagi di Restaurant Pinishi, sebuah resto yang berbentuk kapal di atas laut. Namun aktualnya, gue bangun jam 7. Untung dijemput jam 8 lewat. Dan breakfast hotel ngga begitu istimewa, ngga masuk kategori ok malah. Jadinya, gue ada cukup waktu untuk foto sekeliling bungalow pagi itu. Belum cukup sih sebenarnya. Well, gue punya 4 malam disini. Cukuplah untuk mengagumi betapa pilihan yang ngga salah di hotel ini.
One thing for sure in my mind right now,,, I wanna take my family, Natz and Kelly ke sini, merasakan eksotisme hotel ini, someday. Took them to wisata Makassar, Pulau Kayangan dan yang termasyur Tana Toraja. Dengan jarak tempuh 8 jam dari Makassar, gue rasa Tana Toraja jauh dari agenda gue kali ini :_(
Day one Makassar, foto-nya di sini
1 komentar:
wahh enaknya kerja sambil wisata kuliner .
itu otak2 asli makasar g sering dibawain kalo ada yg ke sana .
yg terkenal Yenny Gozali pny , ember otak2 sana mentul2 gendut , sausnya aneh g gak doyan . itu saos pake petis rasanya .
kalo g suka goreng pake dikit minyak jadi lbh mekar n sipp .
kalo Seafood no coment deh , g ga doyan , he22
itu bungalow diatas laut yah , design mirip2 kae Kampung Sumber alam di garut , cuman yg di garut di atas telaga buatan .
g masih pny sodara disana , someday g mau maen ke Makassar deh !
Posting Komentar