02 Oktober 2008

LASKAR PELANGI

Menonton film Laskar Pelangi, tidak seperti menonton film Indonesia. Film ini dibuat sedemikian bagusnya sampai gue lupa, hei gue lagi nonton film Indonesia. Dan ini satu satunya film Indonesia yang begitu pengen gue tonton.


Berkisah tentang Ikal, Lintang, dan Marsan, murid kelas 5 SD dan 8 teman sekelas mereka yang lain. Berlatar belakang ‘kampung’ Belitung di tahun 1979. Tentang anak anak jenius yang haus pendidikan tetapi miskin. Tentang perjuangan 2 orang guru yang hebat. Tentang orang tua yang mendidik. Tentang kesenjangan sosial. Tentang buaya. Dan tentang cinta dan cita cita.

Tidak keluar remehan (bahkan dalam hati) seperti biasanya gue menonton film Indonesia. Semua dibuat begitu indah dan mendekati realita. Penonton diajak terkagum, simpati, tertawa dan terharu oleh aksi bocah bocah ajaib ini. Walaupun paroh akhir film ini mulai agak membosankan, namun tidak merusak keseluruhan keindahan.

Gue dibuat tergelak tawa, namun juga hampir menangis karena haru. Ketika Harun, murid ‘terbelakang’ yang menggenapi minimal 10 murid agar SD Muhammadiah Gantong tetap bisa beroperasi, melangkah dengan kakinya yang bengkok seperti Forest Gumb kecil. Scene lain, ketika Lintang harus pamit meninggalkan ‘laskar pelangi", ia tidak dapat meneruskan sekolah karena mengambil alih tanggungjawab sebagai ayah bagi adik adiknya, ketika ayahnya tidak lagi pulang setelah melaut. Semua dibungkus dengan emosi yang membuat penonton terdiam, dan beberapa mungkin sampai meneteskan air mata.

Gue memang sangat kepengen nonton film ini. Beberapa scene seperti rumah rumah, pantai dengan batu batu cadas menjulang, dan bahkan bekas bekas tambang timah, mengingatkan gue akan kampung halaman gue sendiri, Belinyu. Kampung pesisir di P. Bangka yang notabene masih tetangga dengan P. Belitung. Bahasa melayu yang dipakai dalam film ini sangat mirip dengan bahasa yang gue gunakan waktu kecil. Bahkan ada percakapan dalam bahasa China, yang merupakan bahasa yang masih gue pakai sehari hari di Bangka, bahkan sekarang masih, untuk bicara dengan Papa Mama.

Secara keseluruhan, film ini mengingatkan gue kalau gue adalah anak kampung. Yang berlarian dengan kaki telanjang di pantai berpasir putih. Yang nyebur ke air asin yang jernih. Gue bahkan punya beberapa teman seperti Lintang, yang naik sepeda puluhan kilometer untuk sekolah di SMP St Yoseph Belinyu. Dan hampir setiap minggu, gue dkk bersepeda 5 KM menuju Tanjung Gudang untuk berenang di air laut, menangkap kepiting dan ikan kecil, main bola, ngintip orang pacaran dll.

Waktu melihat buku karangan A. Hirata ini di Gramedia beberapa waktu lalu, gue langsung telp Cece untuk pinjem baca. Yang sampai sekarang gue belum baca karena belum dipinjemin :_P Sekarang, abis nonton filmnya, tambah pengen baca :_)

Tidak ada komentar: