click the above tittle for photos related to this post
Hari pertama kerja, ngga ada yang menjemput dan susah banget dapet taxi. Gue dan Melia (rekan sekantor dari Indonesia) udah mulai kawatir kalo gue harus naik MTR (subway), dan hanya itu pilihan yang ada. Di dalam MTR, terngiang saat saat di Singapore, dimana semua orang berjalan dengan langkah yang amat cepat, dengan dahi yang berkerut kerut. Namun, berbeda sekali dengan di Sing, disini, kerut kerut itu berubah senyum ramah dan tangan menunjuk kemana harus pergi, di mana naiknya, turunnya dan keluar exit mana. Semua orang seems so nice. Dan dengan kebaikan beberapa komuter, kita sampai tanpa nyasar di Quary Bay, tempat dimana kita akan menghabiskan 1 minggu. Bekerja.
Siang itu, kita diajak makan di sebuah resto yang sangat ramai, masih satu gedung. Bukan hanya suara bercakap cakap orang Hongkong yang memang kenceng. Tapi juga bunyi piring, yang dilempar waiters ke meja, atau ke mana aja, asal ngga kena pelanggan aja. Malamnya, Thai food di sebuah resto yang letaknya di ground gedung yang sama, Thai Orchid. Yummy banget, kita pesen kepiting, tom yam, dan seafood curry dalam wadah labu (mentang mentang Halloween) :_P
Malam selalu menjadi saat terbaik yang ngga ingin dilewatkan di Hongkong. Kebetulan mereka (Joyce and Edmund) ada tugas market visit ke sebuah daerah clubbing yang disebut Lan Kwai Fong. Tempat bar bertebaran, tempat sebagian besar expat bule hang-out, minum, ngobrol dan beberapa ditemani teman wanita lokalnya masing masing.
2 siang berikutnya (Selasa dan Rabu) kita diajak mencicipi makanan khas orang china (mie) yang sangat sangat Hongkong tradisional. Mie putih (kwetiau) dengan pilihan daging sapi, jeroan, bakso ikan atau pangsit kulit ikan. Bukan terbuat dari kulit ikan, tapi bungkus/kulit pangsitnya terbuat dari ikan. Seperti yang sering Papa Mama bawa dari Bangka. Sungguh Yummy... Dengan beef slice-nya yang rada rada berlemak dan lembut banget.
Malamnya, setelah makan malam di suatu tempat yang juga Chinese banget, kita diajak ke tempat terbaik untuk melihat (hampir) seluruh Hongkong, The Peak. Joe dan Iris yang menemani kita. Konon, katanya, ngga afdol kalo ke Hongkong kalo ngga ke The Peak, dan ngga afdol kalo ke The Peak tapi ngga naik Peak Tram. Dan itulah yang kita lakukan. Beruntungnya, tiket Peak Tram seharga HKD 22 (sekitar IDR 30ribu) gue dapatkan gratis dari seorang turis (timur tengah/eropa timur) yang kelebihan tiket karena temannya tak jadi datang.
Dasar Hongkong surga belanja, di atas puncak inipun ada pusat belanja, namanya The Peak Galeria. Disini juga ada Wax Museum, tempat patung patung lilin orang terkenal. Tapi malam sudah terlalu larut. Kurang 20 menit lagi, Sky Terrace segera akan tutup pk. 11 malam. Dan untuk berada disana sekitar 15 menit, tiket masuk HKD 30 per orang terasa terlalu mahal. Ditambah lagi cuaca yang berkabut malam itu. Untung Joe membawa dslr Nikon, yang terlihat sangat canggih. Dia bahkan membawa beberapa lensa kamera di tasnya. Dan inilah Hongkong dari atas.
Malam berikutnya, kita terlalu telat dari kantor sehingga hanya bisa menyaksikan Hongkong laser show dari atas kapal feri. The best view adalah, kita menyeberang dari Hongkong island ke Kow Loon, trus dari sana melihat kembali ke Hongkong. Tapi sisi baiknya, di atas kapal, kita bisa lihat kedua sisi yang sedang memainkan laser show.
Tsim Sha Tsui adalah tujuan kita di bagian Kow Loon ini. Pusatnya orang orang hang-out juga. Bar, Pub dan diskotik betebaran. Dan seperti tak pernah tidur, selalu ramai walaupun larut. Disana kita belanja beberapa kaos berbahan bagus dengan harga ekonomis, pada pukul 11.30 malam hari biasa (bukan week-end). Malam itu Serena (FC) dan Alvin (staffnya) yang menemani kita. Alvin pribadi yang sangat baik dan warm, walaupun inggrisnya agak susah dimengerti.
Malam berikutnya (Kamis), kita ke tempat yang tak jauh dari Tsim Sha Tsui, dan bahkan lebih ramai dan semakin larut, rasanya makin ramai saja. Nama tempatnya, Mong Kok. Anak anak muda yang tidak dimarahi orang tua-nya kalau pulang malam (I quess). ABG dan anak muda berpakaian ‘menggoda’, lalu lalang atau minum bir adalah hal biasa. Disini pusatnya barang barang murah kualitas tau sendiri. Kita beli kaos ‘Hongkong’, dan souvenir souvenir kecil lainnya untuk teman dan kerabat di tanah air. Jam 11 malam ketika kita meninggalkan tempat itu. Lagi rame rame-nya orang naik subway, baik yang pulang maupun yang baru datang.
Malam itu, kita ditemani Carven, Sales Promotion Girl coordinator yang cute, nice dan sangat decent. Di bar manapun, kami selalu disambut baik, baik oleh pemilik bar maupun SPG SPG yang sedang ditugaskan Carven di sana. Dia tampaknya enjoy dengan pekerjaan ‘malam’nya dan dengan antusias bercerita suka dukanya selama setahun lebih menangani SPG. SPG juga manusia.
Besoknya agak santai. Sehabis closing meeting dengan orang orang di office, kita memutuskan untuk sekali lagi menghabiskan malam di Mong Kok. Kali ini acara-nya ‘Shop ‘til Drop’ :_P Mong Kok memang pusatnya kehidupan malam yang manawarkan semuanya. Makanan, bar, hotel murah, dan terutama belanja. Next time ke Hongkong, rasanya gue udah tau harus menginap di mana, hmmm…
Apalagi malam itu tepat tanggal 31 October. Dan orang Hongkong itu sangat kebaratbaratan. Ngga heran sih, mereka kan bekas negara 'pesemakmuran' Inggris. Malam itu kostum Halloween bertebaran, dan mereka niat banget dalam berdandan. Lihat saja !
Hari Sabtu adalah hari terakhir di Hongkong. Tepatnya setengah hari. Sebab, penerbangan dengan Cathay Pacific bermula jam 4 sore, artinya jam 2 sudah harus stand by di airport, dan jam 1 kurang sudah harus mendapatkan taxi. Setelah malamnya sampai di hotel jam 1 pagi, mengemas dll sampai jam 3 pagi, esoknya bangun jam 9. Artinya hanya ada 1 – 2 jam terakhir, sebelum makan siang dan berangkat ke airport.
Beruntunglah hotel tempat gue menginap sangat dekat dengan Causeway Bay, pelabuhan yang memisahkan pulau Hongkong dengan pulau Kow Loon. Dan disitu pemandangannya indah sekali. Hanya 1 stasiun subway jaraknya dari stasiun Tin Hau yang letaknya persis di depan L’Hotel. Jalan kaki pun mungkin hanya 20 menit. Tapi, gue pilih subway, karena takut nyasar :_P
Setelah tanya kiri kanan, akhirnya sampailah gue ke ‘teluk’ itu. Malah sempat meminta wisatawan lain mengabadikan pose gue disitu. Kebetulan gue pergi sendiri, Melia mungkin kecapean setelah semalaman shooping dan memilih istirahat di hotel. Sayang hari itu mendung, sehingga foto kurang mendukung. Memang sedang musim Autumn sehingga cuaca memang kurang bersahabat bagi photography.
Makan siang terakhir, kita pilih di depan hotel kita, Viking Seafood. Karena dari hari pertama sudah tampak menggoda. Namun, setelah memesan dan makan, ternyata agak kecewa juga.
Taxi ke bandara cukup mahal. Dari L’Hotel HKD 380. Seperti sudah kesepakatan, walaupun argonya hanya sedikit lebih dari 300, dia mengenakan semacam surcharge hingga mencapai angka 380.
Bandara Hongkong sangat besar. Dan sudah merupakan tempat ‘wisata’ sendiri. Puluhan bahkan ratusan outlet yang menjual macam macam souvenir menarik dan makanan. Salah satu-nya Kee Wah yang menjual kue tradisional orang Hongkong yang sangat terkenal dengan sebutan ‘pai istri’ (Louphopeng). Konon, bagi tiap orang yang mengembara meninggalkan istri (seperti gue), wajib membawa pulang kue ini pertanda, di dalam perantauan selalu mengingat sang istri di rumah yang dengan setia menunggu kepulangan suami.
Tak kalah serunya, Disney shop pun ada disini. Dan ramai sekali. Mungkin tak semua orang sempat ke Disneyland Hongkong seperti halnya gue dan Mel, tetap ingin sesuatu dari sana. Dan tidak semua orang yang ke Disneyland sempat membeli souvenir. Nah, disini lah pintarnya pihak Disneyland. Souvenir shop yang selayaknya berada di tempatnya, ia ‘pindahkan’ atau bahkan ‘dicopy’ ke bandara. Semua orang ingin membawa pulang sesuatu dari Disneyland. Semua puas dan Disneyland untung besar. Gue sendiri beli tempelan kulkas Disney untuk pajang foto anak, nantinya. Dan oleh oleh mobil mobilan The Cars untuk ultah si James.
Pesawat terbang persis jam 4 sore. Sehingga menunggu tak begitu lama. Belum sempat menghabiskan pulsa Simpati Kangen yang dibeli Minggu hari pertama. Pulsa HKD 50 masih tersisa 28, itu sudah telepon Natz, Papa-Mama di Bangka dan Khioko. Masih belum habis juga. Hemat dan Hebat Simpati ini.
Di dalam pesawat banyak sekali ‘godaan’ tontonan walau mata sudah 5 watt. Kebetulan gue belum nonton ‘Dark Night’ sehingga walaupun mata setengah terpejam, tetep gue tonton sampai habis. Dalam perjalanana menuju Hongkong, juga begitu, film Hanckok gue tonton habis. Pelayanan Cathay memang yahuuud…
Sampai di tanah air, imigrasi, bagasi dll (lama banget). Akhirnya keluar dan dijemput Natz dengan sopir. Se-enak enaknya di negeri orang, tetep hari terakhir mau pulang rasanya lebih exited daripada saat saat mau pergi. Hari itu, menurut tanggalan China, merupakan ultah gue. Gue dan Natz pergi makan mie kadut di Taman Palem. Ketemu Melen, yang hamil 4 bulan dan nakut nakutin lahir normal. Anaknya yang pertama (sekarang 5 tahun) lahir normal, dan dia bersumpah ngga mau lagi. Duh. Nakutin...
Eniwey, waktu di the Peak Hongkong, gue SMS gini ke Natz. “Kalo anak kita udah cukup gede, tujuan wisata ke luar negeri pertama kita musti Hongkong” dan Natz langsung meng-iya-kan :_)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar