09 September 2008

PADANG – BUKITTINGGI, 30 July – 2 Aug 2008

2 August 2008
Jam Gadang - Teluk Bayur _ Pantai Air Manis (Malin Kundang) - Jemb Siti Nurbaya - Soto Garuda - Kripik Shirley - Es Durian Padang


Pagi terakhir perjalanan kita. Rasanya sayang untuk dilewatkan. Maka, di udara Bukittinggi yang sejuk, apalagi di pagi hari, gue sendirian jalan dari hotel ke Jam Gadang. Memakan waktu sekitar 20 menit, karena banyak berhenti untuk foto di sepanjang jalan. Pagi pagi di Jam Gadang belum ramai, tapi sudah ada sekumpulan ibu dan bapak paroh baya yang bersenam mengikuti seorang instruktur.


Di sekitaran Jam Gadang itu, selain terdapat Plaza Bukittinggi dan Pasar Atas, juga ada Museum Bung Hatta. Mengingat Bung Hatta memang kelahiran asli Bukittinggi.

Untuk sarapan pagi, makanan dari hotel kita minta untuk dibungkus saja. Dari obrolan dengan Pak Samsyir kemaren, ada tempat makan tradisional yang enak, namanya Pical Ayang. Pical, dalam bahasa Minang, berarti pecel. Jadi isinya sayuran, telur (optional) dan siraman kuah kacang. Makanan lainnya yang tak kalah sedap adalah kampiun, semacam bubur ketan. Dan minuman khas orang Minang, teh telur, juga ada. Teh telor tak lain adalah teh yang diberi telur mentah kocok. Rasanya aneh.

Meninggalkan kota Bukittinggi, kita kembali menuju kota Padang. Karena penerbangan kita cukup sore, sekitar jam 5. Maka, masih banyak waktu untuk kita habiskan di kota Padang. Pertama kita mampir ke Teluk Bayur yang ada lagunya yang termasyur di tahun 80an itu. Papa, Mama dan gue tak kuasa untuk tidak berdendang, “… nantikanlah aku di Teluk Bayur…”

Ternyata Teluk Bayur itu hanya sebuah pelabuhan dengan beberapa pabrik berdiri di sekitarannya. Bukan seperti Anyer yang ada tempat wisatanya. Namun, namanya juga laut, pemandangannya tak mengecewakan.


Setelah Teluk Bayur, berikutnya adalah Pantai Air Manis. Siapa yang tak pernah mendengar legenda batu menangis Malin Kundang? Nah, disinilah lokasi batu tersebut. Namun, jangan membayangkan sesuatu yang alami, disini, semuanya sudah melalui proses pemugaran. Tak ada batu yang asli. Memang terlihat sosok yang menyembah (kepada sang ibu) di atas batu karang yang mirip kapal. Namun kalau diperhatikan lebih jelas, semua itu lebih mirip semen daripada batu karang. Tidak terlihat lagi bentuk asli dari batu yang melegenda itu, aslinya sudah rusak, yang ada hanya buatan tangan manusia untuk menyelamatkan sang legenda.


Di Pantai yang berpasir coklat tersebut, sebatok air kelapa segar sangat menawar dahaga, karena cuaca siang itu, sungguh sangat terik. Namun itu tak membuat pantai ini sepi pengunjung, apalagi di Sabtu siang itu. Tampak ramai pengunjung, dengan anak anak kecil berlarian di pasirnya yang luas dan berwarna coklat, yang kebetulan airnya sedang surut itu.

Yang mengecewakan (dan bikin jengkel) adalah ketika di jalan masuk, dihadang beberapa pemuda yang memungut ‘retribusi’ Rp 15,000 untuk 1 mobil beserta penumpang, tanpa alasan yang jelas. Inilah wajah pariwisata Indonesia di tahun Visit Indonesian Year.

Lepas itu, hari sudah mulai beranjak siang, dan perut mulai beranjak lapar :_) Soto Garuda adalah pilihan kita makan siang itu. Namun sebelum sampai ke lokasi, kita sempat mengitari kota tua di Padang, yang sudah ada sejak jaman colonial, benar benar tua. Mampir juga ke sebuah kelenteng dan Jembatan Siti Nurbaya. Ini bukan tempat sang pujaan hati Datuak Maringgih melompat bunuh diri. Walaupun konon ada makamnya segala, Siti Nurbaya toh hanya sebuah novel. Ini tak lain sebuah jembatan modern, yang diberi nama sama dengan tokoh fiktif ciptaan pujangga Marah Rusli tersebut. Melintas di atas sungai yang cukup dilewati kapal ukuran sedang, dan mengarah langsung ke laut Padang.

Soto Garuda sebenarnya kurang tepat dinikmati di siang yang panas itu. Namun soto khas Padang itu tetap gurih dan nikmat. Porsinya kecil, kuahnya polos dan dagingnya agak ‘garing’. Sepertinya digoreng dulu. Rasanya cukup asin, sehingga pas dimakan dengan nasi (yang banyak). Selain soto, kita juga memesan ‘Tahu Kecap’. Ini mirip rujak/pecel, karena isinya mie, toge, kol, timun dan tahu dengan dressing kuah kacang namun dengan rasa manis yang amat sangat (karena kecap manis). Yummy banget sampai pesan satu lagi :_) Kebetulan gue kan ngga makan daging, jadi ya… tau sendiri.

Petualangan (kuliner) tidak hanya sampai di situ. Walaupun harus catch the plane jam 5, masih ada waktu untuk mampir ke tempat oleh oleh.

Di Padang, yang sangat terkenal (sampai Jakarta) adalah Keripik Christine Hakim. Namun, keripik yang tidak ada hubungannya dengan artis terkenal itu, sekarang mulai ditinggalkan, karena ada yang bilang, sudah kurang enak (keras). Atas rekomendasi sopir, dan temen Natz (asli orang Padang) yang kita hubungi lewat telepon, mereka merekomendasi Keripik Shirley, yang notabene adalah adik dari pemilik Keripik CH. Memang masih ada tempat lain yang menjual oleh oleh khas Padang, namun tampaknya, untuk wisatawan, paling direkomendasi kedua ini karena lebih lengkap dan banyak pilihan.


Gue dan Natz belanja cukup banyak untuk teman kantor dan kita sendiri. Kalau untuk saudara biarlah menjadi urusan Papa dan Mama :_P

Masih mampir ke rumah teman Natz untuk mengambil rending untuk oleh oleh di Jakarta. Semuanya 5 bungkus, masing masing isi 5 rendang dan teman tersebut tidak mau dibayar. Sungguh kemurahan hati yang tak tanggung tanggung. Rendang dia beli di RM Asia Baru, karena di RM Selamat sudah kehabisan. Namun, rendangnya sungguh tak mengecewakan, kuahnya hitam dan rendangnya sangat gurih dan empuk. Duh.. Wuenak tenan deh pokokeeee…

Masih ada waktu untuk berkuliner ria. Sore itu, kita minta dimampirkan di Es Durian Padang. Atas saran teman yang tadi, lebih enak di ‘Ganti Nan Lamo’. Maka masuklah kita ke situ. Seberangnya dari toko itu, sebuah toko yang menjajakan es yang persis sama yang diberi tajuk, ‘Iko Gantinyo’. Keduanya meng-claim adalah yang asli, yang sudah berdiri puluhan tahun. Konon, Ganti Nan Lamo yang bener bener asli. Tapi mana yang lebih enak? Entahlah, cuma nyicip satu sih. Dan yang ini benar benar dahsyat :_P


Kita pesan 2 es durian tok dan 1 es durian. Bedanya es durian adalah es campur yang diberi juice durian yang diblender halus dengan toping susu kental manis cokelat. Kalau es durian tok, sesuai namanya, hanya es parut disiram juice durian dengan toping yang sama.

Abis dari sana, sudah sore, namun perjalanan ke Bandara hanya memakan waktu 1.5 sampai 2 jam, sehingga kita minta jalannya agak santai sehingga bisa menikmati suasana kota Padang sampai puas. Tapi, mungkin untuk menghemat bensin, Pak Syamsir malah mengajak kita ke jalanan yang macet :_(

Ada satu fenomena di jalanan kota Padang. Kalau kita perhatikan angkutan umumnya, terasa sekali nuansa ‘norak’ yang berbeda beda pada tiap kendaraannya. Yang gue suka adalah Metro Mini-nya yang dihiasi gambar kartun yang lucu lucu di seluruh badan kendaraan. Ini contohnya.


Sampai di bandara Minangkabau masih sekitar jam 4. Kesan pertama melihat bandara ini (di siang hari) sungguh menakjubkan. Bersih dan tertata rapi. Mirip bandara Juanda yang baru, namun agak sedikit lebih kecil. Pas masuk ke ruang tunggu, bapak yang menjaga bertanya begini, pas liat gue megang boarding pas AirAsia tujuan Jakarta, “dapat harga berapa” “375 ribu PP” reaksi dia kira kira seperti ini, “wah paling murah…” Mungkin dia sudah tanya beberapa orang dan kita ternyata yang paling murah :_P Karena murah juga kita semena mena digosar geser dari jam 10.30 ke jam 3 sore lalu ke jam 5 petang lalu baru benar benar terbang sekitar jam 7 malam (waktu pas berangkat dari Jakarta).

Di dalam ruang tunggu, ada 2 Airport Lounge yang bisa digunakan untuk bersantai. Namun, di Bumiminang, sangat terbatas kerjasama dengan kartu kredit. Hanya di Anugrah kita bisa masuk, namun hanya bisa dua orang (dengan kartu kredit Mandiri), sehingga hanya Natz dan Mamanya yang masuk. Kita semua menunggu di luar.

Boarding AirAsia, seperti biasa, rebutan lagi, dan seperti berangkat, kita dapat tempat duduk berenam sejajar lagi.

Well, itulah akhir perjalanan di Padang yang sangat padat dan memuaskan :_) Probably menjadi jalan jalan kita terakhir paling tidak untuk satu dua tahun ke depan. Sampai baby kami cukup besar untuk diajak jalan jalan, paling jauh mungkin kita hanya jalan ke Bandung atau Puncak. Papa sempat bergumam… “yah, ngga ada lagi Natalia Tour..”. Begilah, petualangan baru yang lebih seru menunggu di kehidupan AjNatz…


Tidak ada komentar: