1 August 2008
Lembah Harau - Goa Ngalau Indah - Ngarai Sianok - Goa Jepang - Ford de Kock - Jam Gadang - Durian Padang
Sarapan pagi di hotel Dymens bukan prasmanan, melainkan pilihan antara nasi goreng, mie goreng atau omelet dengan roti. Hotel Dymens merupakan hotel yang sangat tidak baru lagi. Menurut Pak Syamsir, hotel ini dulu terkenal dan 1 dari sedikit hotel di Bukittinggi. Dengan majunya pariwisata dan banyak berdiri hotel baru, hotel ini kian tergusur. Sebut saja hotel Kharisma yang persis di seberangnya. Waktu kita mau booking untuk hotel itu, ternyata sudah penuh. Bandingkan dengan hotel Dymens yang (2 hari kita tinggal disana) kosong melompong. Hotel Dymens memang pilihan terakhir kita, karena hotel lainnya sudah terisi penuh. Tidak heran, sebab Padang dan Bukittinggi adalah salah satu tujuan wisata favorite turis dari Malaysia. Tiap hari, ada direct flight dari KL langsung ke bandara Minangkabau.
Tujuan pertama hari ini adalah Lembah Harau yang terletak di Kabupaten Payahkumbuh. Perjalanan sekitar 2 jam dari Bukittinggi. Cukup lelah, tapi begitu sampai disana, dijamin, semua kepenatan hilang sudah. Dari pinggir ladang ladang padi nan hijau, di kejauhan sana, bukit bukit batu menjulang tinggi, megah.
Kita ngga tau kenapa Pak Syamsir seperti mencoba ‘mengelabui’ kita bahwa hanya ada 1 air terjun. Untung kita bincang bincang sama penjual souvenir yang menjelaskan, total ada 3 air terjun di sini. Maka, sekali lagi kita harus ‘memaksa’ Pak Syamsir untuk mengantar kita ke sana. Dan ternyata, memang benar, masih ada 2 lagi di tempat yang tak kalah indahnya. Batu batu besar yang terbelah oleh terjangan air terjun setiap hari. Airnya jernih dan bersih sekali. Perasaan nikmat sekali berada di sana.
Yang unik disana, ada penginapan yang diberi nama Lembah Echo, yang dibangun oleh wisatawan Belanda, berupa rumah rumah terpisah yang bisa disewa. Dari sana, pemandangan memang sangat indah dan sejuk. Namun, untuk nginap disana, rasanya tidak recommended, soalnya, jauh dari mana mana, dan nyamuknya itu lho, ampunnnn.
Belum puas disana, sudah harus lanjut lagi, ke Goa Ngalau Indah. Sebelumnya mampir untuk makan siang nasi padang di Sari Rasa di kota Payahkumbuh. Tempatnya sih cukup nyaman dan sejuk karena ada saung saung begitu. Tapi makanannya payah, ngga ada yang bener, rasanya. Rendangnya keras, babatnya bau, dan makanannya pun rata rata dalam keadaan dingin.
Sampai di lokasi goa Ngalau, kembali terulang. Hanya diberi 2 tiket masuk untuk 6 orang @ Rp 3,000. Waktu diprotes, ibu penjual tiket malah marah marah, dan dengan gusar merobek beberapa karcis lagi ke gue. Total yang dia berikan 7 tiket. Rasain lu rugi Rp 3,000 he he he.
Goa Ngalau merupakan goa stalagtit dan stalagmit. Setelah menaiki beberapa anak tangga yang cukup tinggi, di depan goa sudah menunggu seorang tukang foto yang berperan seperti guide. Karena di dalam goa sangat gelap, maka ia memberi semacam kode untuk menyalakan lampu ke temannya. Namun, begitu masuk ke dalam, ngga lama lampunya mati. Terpaksa deh keluarin lampu HP Sony Ericsson yang terang banget.
Di dalam goa naik turun tangga buatan itu, ramai dengan suara kelelawar dan juga agak berbau. Di dalam goa ini, ada satu bagian bebatuan stalagtit yang mengeluarkan kilauan kilauan cahaya seperti permata. Mungkin terbentuk dari aliran air yang membawa mineral tertentu, sehingga menimbulkan efek berkilau. Di sudut yang lain, ada batu yang menyerupai wajah seorang ibu yang meratap, judulnya ‘batu ibu menangis’. Saingannya batu menangis Malin Kundang nih, hanya saja, ini ibunya yang menangis. Lucunya, pas kita lagi disana, tiba tiba dari balik kegelapan, muncul sosok berbaju putih dan kerudung putih. Di belakangnya, ikut seorang pria. Ternyata keduanya, yang masih berpakaian seragam SMU itu, ‘entah sedang ngapain’ di balik batu ibu meratap itu. Pantas saja ibu-nya meratap… sedih dengan kelakuan anak muda jaman sekarang.
Setelah selesai, kita menunggu si ‘guide’ kita itu mencetak foto yang tadi dia cepret. Kita sekeluarga di stalagtit yang berkilauan tadi, satu lagi yang didepan mulut goa. 2 foto dihargai Rp 40,000 sudah termasuk biaya guide :_)
Selesai dari sana, kembalilah kita ke Bukittinggi, untuk tujuan berikutnya. Dan ini yang sudah ditunggu tunggu, Ngarai Sianok! Ngarai Sianok letaknya di sekitaran Bukittinggi, di seberang hotel Grand Malindo, yang pengen kita booking juga, tapi penuh. Ngarai Sianok merupakan lembah menjulang beberapa puluh meter ke bawah, dengan parit parit kecil mengalir di bawah sana. Pemandangan yang membuat napas tertahan -> breathtaking view !
Yang unik dari Ngarai Sianok adalah sebuah goa yang digali oleh tentara Jepang, sebagai basis pertahanan, gudang amunisi sampai tempat penyiksaan tawanan. Ada tour yang di’guide’ oleh pemuda pemuda lokal. Goa Jepang itu masuk ke bawah dengan menuruni 88 anak tangga, di dalamnya cukup panjang dan berkelok kelok. Udara-nya pun adem, karena banyak ventilasi ventilasi yang mengarah ke ngarai sianok. Di masa mendatang, kabarnya, akan dibangun mal bawah tanah disini. Mengingat luasnya (panjangnya) goa ini, sejuk, dan kuat-nya konstruksinya, memang ide yang masuk akal. Renovasipun, kabarnya, dari dibiayai pemerintah Jepang, yang kabarnya lagi, untuk menutup jejak dari sejarah yang kelam waktu penjajahan Jepang di Indonesia. Untuk biaya guidenya cukup masuk akal, minimal dia minta bayaran Rp 20,000 saja, kita kasih Rp 30,000.
Saat masuk ke Goa Jepang, Natz ngga ikutan masuk dan duduk di taman disana, bersama ibu ibu pelancong dari Malaysia. Dari bincang bincang dengan mereka, ternyata ibu ibu itu sering datang ke Indonesia tepatnya ke Pusat Grosir Tanah Abang, berbelanja untuk jual lagi di negeri-nya. Dan mereka beberapa kali juga berkunjung ke Padang untuk refreshing. Ternyata baju murah di Malaysia (di Chinatown, misalnya) datangnya dari Indonesia juga. Persis yang diyakini Papa waktu berkunjung ke sana, January lalu.
Tiba tiba bubar, gara gara monyet monyet liar datang berebut kacang, waktu Natz lagi ngemil kacang. Memang disana banyak monyet liar yang tak segan merebut makanan pengunjung. “Awak jangan kaget kaget, awak kan lagi mengandung” pesan seorang ibu Melayu.
Disana juga dijajakan lukisan lukisan rumah adat minang dan jam gadang, dalam berbagai ukuran. Gue beli lukisan dalam piring yang hanya Rp 5,000. Selain itu juga banyak kaos dan sandal. Dipastikan, kaosnya tidak ada yang muat buat gue :_(
Ngarai Sianok memang luar biasa. Hari pun beranjak sore. Dan tujuan berikutnya adalah Benteng Ford de Kock yang satu lokasi dgn Taman Satwa.
Ternyata Benteng itu sangat tidak mirip benteng. Hanya bangunan 2 tingkat yang cukup kecil, dengan meriam di sekelilingnya. Diceritakan bahwa Benteng ini merupakan titik pertahanan terakhir pasukan Belanda yang dipimpin Gubernur Jendral Henrick Markus de Kock terhadap serangan dari pasukan Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1825. Disini juga menjadi satu dengan kandang kandang burung yang rata rata isinya cuma 1 – 2 burung yang tidak begitu menarik untuk dilihat.
Dari sana, berjalan kaki melewati jembatan Limpapen, masih di Taman Satwa, terdapat 2 ekor gajah, beberapa ekor tapir, unta dan juga rusa. Akhir perjalanan adalah tembus ke Pasar Atas, pusat belanja souvenir di kota Bukittinggi. Tak jauh dari situ, kira kira 5 menit berjalan, ketemulah Jam Gadang. Di Pasar Atas ini, kita beli sebuah CD lagu khas Minang untuk diputar di mobil.
Seperti malam sebelumnya, Jam Gadang tetap ramai, apalagi hari itu hari Jumat dan masih sore. Waktu bingung mau makan apa malam itu, gue iseng nanya ke pengamen yang kebetulan nyamperin kita. “Makanan yang paling enak di Bukittinggi apa?” dijawab cepat dan lantang, sambil menunjuk ke arah Plaza Bukittinggi yang tepat di seberang Jam Gadang, “KFC !!” lho lho lho lho… Maksudnya makanan khas Padang. Baru deh mereka menyebut RM Selamat, yang juga tak jauh dari situ.
Namun, di RM Selamat, yang belakangan kita tau rendangnya sangat khas, ternyata sudah kehabisan. Memang, laku banget, dan pesanan untuk bawa pulang (ke Jakarta, misalnya), harus dipesan paling tidak sehari sebelumnya. Maka, malam itu, kita makan di RM Simpang Raya, yang juga masih di sekitaran Jam Gadang.
Setelah kembali ke Hotel dan menyegarkan diri, malamnya, karena ini malam terakhir di Bukittinggi (dan malam terakhir perjalanan kita), tentu tak mau melewatkan untuk mencicip durian padang. Dan kios lapak berjualan durian sangat mudah ditemui di sekitaran hotel. Di salah satu lapak itu, setelah tawar menawar, akhirnya kita beli hanya 2 karena ternyata peminatnya sedikit, pada takut makan duren dan hanya nyicip. Ya, tidak terlalu istimewa, tapi yang namanya duren, ya pasti enak lah ya… :_P
Tidak ada komentar:
Posting Komentar