31 July 2008
Padang - Lembah Anai - Rumah Adat Minang - Sate Mak Syukur - Danau Maninjau - Danau Singkarak - Jam Gadang (Bukittinggi)
Hari kedua di Padang, tulisan ini untuk melengkapi tulisan yang sudah pernah di-posting “Padang – Bukittinggi, perjalanan yang tiada bosan bosannya”.
Hari ini gue bangun pagi sekali, sekitar jam 6. Sekaligus membangunkan Papa yang memang berpesan untuk dibangunkan. Biasa, Papa dan Mama, yang masih pakai sweater, jalan jalan di sekitaran pantai sambil shooting handycam. Natz dan Mama langsung terjun berenang dan sesaat kemudian gue menyusul. Air-nya hangat, sehingga harus selalu di dalam air, kalau keluar dari air langsung berasa angin pagi yang masih sangat sejuk. Terdengar seorang ibu membujuk anaknya untuk berenang dalam logat Minang yang sangat kental, “nda dingin aek-nyo, angek.. angek..” Byuurrr….
Makan pagi sekitar jam 7.30 pagi. Makanannya cukup beragam, dari bubur ayam, mie goring, telor, prasmanan nasi, sampai kue kue jajan pasar. Untuk 1 kamar yang lebih dari 2 tamu hanya dikenakan charge Rp 30,000 untuk makan sepuasnya.
8.30 keluar untuk check-out dan menemui pak Syamsir yang sudah menunggu. Perjalanan hari ini pun dimulai, menuju Bukittinggi, dan Lembah Anai menjadi tujuan pertama karena terletak di jalan menuju Bukittinggi, tepatnya di pinggir jalan Padang – Padang Panjang.
Menjelang sampai di Lembah Anai, kita mampir di sebuah tempat bernama Puncak Kiambang. Dari puncak bukit ini, bisa melihat sawah nan hijau dibawahnya, dengan rumah rumah saung diantara hijau-nya padi, dan gunung yang menjulang di awan awan kejauhan sana. Menikmati pemandangan seperti ini, serasa sayup sayup terdengar lagu yang didendangkan Katon, “Negri di Awan”.
Lembah Anai yang terkenal dengan air terjunnya sudah ramai ketika kita sampai. “Hanya” Rp 1,500 per orang untuk masuk lebih dekat ke air terjun. Air-nya sedang deras, dan di dekatnya terasa percikan air yang hangat. Tak jauh, terlihat jembatan rel kereta api yang dibagun dari jaman Belanda, yang kini sudah di-‘terbengkalai’kan. Yang menarik, ternyata banyak wisatawan asal Malaysia disini. Tadinya ngga ‘ngeh’, hanya mendengar wanita wanita berjilbab menggunakan bahasa Melayu-nya Malaysia. Mengira itu logat salah satu daerah sekitaran Padang. Ternyata, sepanjang panjang tempat kita singgah di Bukittinggi ini, selalu ada rombongan dari negeri jiran itu.
Berikutnya, yang tak kalah serunya, yang selalu terngiang ngiang di kepala gue kalau teringat akan segera ke Padang, adalah Rumah Adat khas Minangkabau atau dikenal sebagai Rumah Gadang. Rumah Gadang adalah sebuah rumah panggung yang besar dengan atap yang lancip menyerupai tanduk banteng. Rumah Gadang yang kita kunjungi ini memang dijadikan pusat informasi kebudayaan adat Minangkabau.
Dijelaskan, rumah ini adalah bekas rumah raja jaman dulu, berisikan 7 kamar untuk masing masing anaknya yang sudah dimenikah. Anak pertama yang menikah akan menempati kamar yang paling kanan. Begitu anak kedua menikah, anak kedua tersebut yang menempati kamar bekas kakanya dan kakaknya pindah ke kamar yang kedua dari kanan. Begitu seterusnya. Sampai di paling kiri, bila masih ada adiknya yang menikah, maka si sulung ‘terpaksa’ meninggalkan rumah itu dengan mendirikan rumah gadang yang baru. Dengan demikian, memberinya waktu yang cukup lama, untuk ia mengumpulkan uang, sampai ia tak mendapatkan kamar di rumah tsb.
Rumah seperti itu sangat sejuk, banyak jendela, letaknya tinggi dan atapnya yang khas membuat rumah itu banyak sekali ruang untuk udara. Bahannya semua dari kayu. Dengan ornament bunga bunga dan warna warni cerah khas masyarakat Minang. Rasanya betah lama lama disana dan tak puas puasnya berfoto, karena tiap sudut, terlihat sangat menawan.
Tiba tiba, seorang ibu yang bertugas disana minta perhatian, “Ayo, mau ikut lihat bunga bangkai??” Hah? Ada bunga bangkai, bunga ukuran raksasa saingannya Raflesia Arnoldi itu? Wah, sebuah kesempatan yang amat langka. Letak bunganya ada di belakang dekat hutan. Ternyata memang bau bila berada dekat dengan bunga itu. Fungsinya, untuk menarik lalat dan serangga yang lainnya untuk masuk, dan bila sudah masuk, sudah tentu tak bisa keluar lagi dan menjadi santapan lezat sang bunga. Bunganya sangat besar, berwarnanya ungu kebiruan, dan tengahnya menjulang tinggi melebihi tinggi manusia.
Lepas dari situ, sudah mau tengah hari, perutpun sudah mulai terasa lapar. Dan kebetulan tak jauh dari situlah, letaknya Sate Mak Syukur yang termasyur itu. Beda sekali dengan perkiraan gue sebelumnya. Tadinya gue pikir Sate Mak Syukur ini di dekat pasar, dijual di atas gerobak (seperti layaknya sate padang di Jakarta) dan dijajakan oleh seorang ibu renta bernama Mak Syukur :_P
Ternyata ini adalah sebuah tempat makan yang cukup besar dengan lapangan parkir yang luas pula. Sate-nya per porsi ‘hanya’ Rp 6,000. Isinya daging sapi dan lidah sapi yang direbus sebelum ditusuk dan dibakar. Saosnya, seperti halnya makanan padang yang lain, terbuat dari santan yang sangat kental. Tidak ada makanan lain selain sate disana, sehingga siang itu, makan siang gue tak lain hanya lontong dan tempe goreng. Kan gue sudah berkomitmen ngga makan daging. Walau begitu, gue mencicipi kuahnya, yang menurut gue, lebih hambar dan tidak lebih enak dari sate padang yang dijual si uda yang mangkal di Perum Citra II. Natz pun setuju.
Danau Maninjau adalah tujuan berikutnya. Namun sebelum sampai disana, diantara jalan yang berkelok kelok, kita minta dimampirkan di sebuah tikungan yang diberi nama Bukik Indah. Darisana bisa melihat pemandangan bukit yang dibawahnya terdapat sawah, dan rumah rumah penduduk termasuk sebuah mesjid yang cukup mencolok, berwarna hijau. Bukik Indah adalah tempat jualan souvenir seperti gantungan kunci dan kaos.
Setelah beberapa kelokan jurang jurang bukit barisan, sampailah kita di kios kios dan lapangan, yang kalau turun ke bawah, dari situlah kelihatan Danau Maninjau. Air Danau Maninjau tenang sekali, saking tenangnya membentuk cermin, seolah olah melihat 2 bukit di garis horizontal. Indah sekali. Disitu, Natz membeli baju bergambar Jam Gadang, siap siap untuk foto di Jam Gadang beneran nanti. Sementara gue, ngga ada ukuran yang muat. Bajunya kecil kecil.
Untuk benar benar turun ke pinggir danau, harus melewati kelok 44 (dibaca: kelok ampek ampek). Inilah yang terkenal, yang ada diblog blog penjelajah Maninjau. Kelok 44 berupa tikungan sebanyak 44 tikungan yang sangat tajam dengan pinggiran jurang, untuk sampai di pinggiran danau. Makanya kita memutuskan untuk ngga meneruskan sampai ke bawah. Sampai sejauh ini aja Papa sudah ngeri, dan Natz, sudah mau mual mual.
Masih ada waktu karena tidak menuruni kelok 44, kita memutuskan lanjut ke Danau Singkarak. Tadinya, habis dari Maninjau diperkirakan sudah cukup sore untuk langsung ke Bukittinggi, have dinner, lalu beristirahat. Danau Singkarak terletak di Kabupaten Tanah Datar, yang artinya kembali lagi kea rah Padang dan menjauhi Bukittinggi.
Pak Syamsir mengantar kita ke suatu tempat yang cukup lapang, dengan lapak lapak kopi di pinggir jalan. Dan dari salah satu lapak itu bisa melihat danau Singkarak. Tapi, sungguh ngga puas melihat Singkarak dari situ, pasti ada tempat lain. Namun, keliatannya Pak Syamsir seperti enggan mengantar, entahlah sebabnya apa. Setelah didesak dan agak memaksa untuk mengantar ke tepian Singkarang, akhirnya dia mau juga. Dari blog lain, kita mengetahui ke tepian Singkarak tidaklah sesulit Maninjau.
Benar saja, dari tempat lain ini, di tepian Singkarak terasa sekali suasana ‘laut’. Ada kapal, pasir, angsa, dan ombak. Ia, danau Singkarak bukan danau yang tenang seperti ‘saudara’nya Maninjau. Atau seperti danau Toba. Danau ini berombak, berpasir dan berpohon kelapa. Seperti main di tepian laut. Disinilah, saat gue dan Natz main ayunan layaknya masih pacaran, tiba tiba datang 2 anak kecil dan bermain bersama kita. Nama 2 gadis cilik bersaudari itu Niken dan Tini.
Untuk masuk ke sini, dipungut biaya masuk sebesar Rp 2,500 saja perorang. Tapi untuk 6 orang yang masuk hanya diberi tanda masuk 2 lembar. Ketika ditanya, kalau diperiksa gimana. Dijawab dengan entang, “ngga ada yang meriksa”. Lumayan Rp 10,000 masuk ke kantong sendiri. Inilah Indonesia.
Hari sudah agak sore dan diperkirakan akan sampai Bukittinggi pas jam makan. Setelah melewati kelok kelok yang tadi, sampailah kita di kota Bukittinggi. Disana, langsung menuju hotel Dymens yang memang sudah dibooking. Sebentar melepas penat dan mandi, kita ke Rumah Makan Uni Cha, Nasi Kapau. Disini rendangnya agak beda, lebih kering, lebih hitam, lebih mantap dan diberi kacang merah. Memang nasi kapau, yang khas Bukittinggi, agak berbeda dengan nasi padang, yang khas …, ya Padang.
Malamnya, sudah tentu tak sabar ingin segera melihat Jam Gadang yang terkenal itu. Dari hotel Dymens kira kira 10 menit dengan mobil. Sampai di Jam Gadang persis jam 7 malam. Suasana sangat ramai dan langit belum begitu gelap. Jam Gadang ini dibuat semacam alun alun, dimana orang bebas duduk duduk, jalan jalan santai, bermain dengan anak, pokoknya kegiatan yang santai.
Kembali ke Hotel Dymens, gue dan cece pergi mencari warnet. Cece ada urusan kantor kayaknya. Dan gue ada keperluan lain. Yaitu membuat postingan perjalanan hari ini segera diblog gue, supaya bisa ikutan lomba blog bertema “Liburan bersama Kijang Inova” yang ditutup hari itu, persis 31 July 2008. Kebetulan memang perjalanannya menggunakan Kijang Inova tipe V, yang harus diakui, memang sangat nyaman. Bahkan seorang teman (Roy) pernah menyinggung, bahwa Inova lebih nyaman dari CRV, ketika kita sama sama tugas di Lampung beberapa waktu lalu. Di Lampung, setiap hari menempuh jarak lebih dari 50 KM, PP pula. Kadang dengan CRV kadang dengan Inova dan kadang dengan yang lain. Dan menurut Roy, Inova yang paling nyaman dan paling ‘empuk’.
Hari itu sangat lelah, dan sangat senang juga. Terlalu banyak kesenangan dalam satu hari. Besok, ada petualangan lain lagi menunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar