Benar benar ngga nyangka bisa assignment ke kampung sendiri, 3 hari pulang kampung dengan biaya kantor :_) Dan 2 hari berada di sini, baru tau, dan benar benar ngga nyangka, ternyata lokalisasi bertebaran di pulau kelahiran gue ini.
18 – 20 December 2008
Sekali lagi gue meninggalkan Natz dan Kelly, lagi lagi assignment pendek, setelah Jambi dan Pekanbaru, kini gue berkesempatan kembali ke kampung. Seperti kata Nat, gue kayak kangen orang tua saja, pasalnya Mama yang seyogyanya datang 16 Dec 2008, tiba tiba ngga jadi, malah gue yang menyambangi mereka :_)
Ada semacam perasaan haru dan kangen meliputi diri gue ketika, dari balik jendela pesawat, perlahan pulau kelahiran gue itu tampak. Indah sekali. Mungkin biasa saja buat orang lain, namun bagi gue, indah, indah sekali. Beberapa spot terlihat kerusakan bekas tambang timah yang ditinggalkan begitu saja.
Yang menyenangkan lagi, pagi itu begitu mendarat, langsung diajak makan mie khas bangka di Pangkalpinang oleh Pak Yusuf dan Pak Ujang. Siangnya, selepas meeting beberapa jam dengan Pak Yusuf, Pak Tony dan Ita, kembali menikmati nikmatnya masakan Bangka, ikan tenggiri bakar dan lempah darat (keladi) di RM Istana Laut, yang didesain berbentuk kapal laut. Dibalut dengan nuansa pantai Pasir Padi yang siang itu sedang pasang dan ombak lagi tinggi tingginya. Lengkap sudah menikmati makanan enak dan pemandangan indah yang keduanya merupakan khas Bangka.
Malamnya, gue pergi sendiri ke Y2 café deket hotel Bumi Asih, tempat gue menginap. Disini, bertebaran café café yang dikelola oleh perorangan secara kekeluargaan. Tak jarang, pemilik café sendiri yang ‘turun’ menemani tamu untuk berbincang. Tak heran, di kota kecil ini (Pangkalpinang dan kota lain di Bangka pada umumnya), semua seolah saling mengenal, dan kalau dirunut runut, bisa jadi ternyata masih ada hubungan saudara.
Hari kedua di kota ini, masih tetap mencari masakan khas Bangka, gue diajak ke ‘kantin nad’ bersama seluruh staff kantor (hanya 4 orang). NAD bukan stands for “Nangroe Aceh Darussalam” sebab tidak ada masakan Aceh di sini. Pemiliknya pun asli orang Chinese Bangka. Ikan dalam lempah kuningnya luar biasa memikat. Gulai daun singkong (ho lan su jap) pun bikin makan makin lahap. Sudah lama gue ngga menikmati masakan demikian. Lidah gue bagai dibawa nostalgia masa kecil gue :_)
Kembali kerja dan dalam suasana mati lampu (sering banget), gue menuntaskan assignment ini dengan report singkat yang didiskusikan bareng dengan Pak Yusuf. Beliau setuju, tutup assignment. Malam ini gue mau have fun :_)
Sorenya, diajak makan bakso, karena malam nanti mau makan malam agak larut (jalan jalan lihat outlet). Kembali ke hotel, gue menikmati hotspot gratis di lobby sambil ditemani coklat panas. Jam 9 malam, dijemput lagi oleh Pak Ujang, Pak Yusuf dan Pak Tony. Jalan jalan malam.
Gue cukup kaget. Ternyata Bangka penuh dengan kehidupan malam, terutama yang kelas wisma dan remang remang. Gue baru sadar betapa naif-nya gue selama ini. Gue diputerin ke kompleks Piangsut dan Parit 16 (mirip Kalijodo di Jakarta). Dari balik jendela Innova yang mengantar gue, wanita wanita malam berpakaian serba minim melambai lambai. Malam itu suepi pengunjung. Sayang, gue ngga sempet foto. Tepatnya, gue ngga berani ngambil foto, nanti disangka naksirrr :_P
Lepas dari 2 tempat esek esek kelas bawah itu, gue diajak melihat segmen pasar yang lebih tinggi dari bisnis yang sama, pub, karaoke dan ‘pijat’. Nama tempatnya ‘Millenium’. Ada hotel, diskotik, bar, bilyard, karaoke dan tempat bobo. Diinformasikan Pak Tony, dulu ada striptease, yang sekarang sudah dihentikan. Disini, lebih baik, paling tidak ‘barang’nya bisa berdandan layaknya orang daripada di lokalisasi tadi. Beberapa sempat datang ke meja kita menawari diri, mereka cukup luwes, dan tidak terlalu memaksa kalau kita memang tidak mau ditemani mereka. Rata rata mereka ini orang Jawa, Indramayu atau Cirebon, atau Lampung, tapi Lampung Jawa. Kehidupan memang tidak ramah, sampai harus ada yang bekerja di lahan ‘nista’ seperti ini. Kabarnya, mereka ini bisa langsung diajak ‘ngamar’ dengan rate 400 ribu saja.
Berikutnya, kita masuk ke suatu café yang ada live music-nya. Gue lupa nama cafenya. Yang punya namanya Pak Damas, Chinese Bangka, dan beliau sendiri yang turun mengobrol sama kita. Mostly memang omongan bisnis. Performance band-nya cukup apik, cukup interaktif dan menghibur. Dan hiburan ini ada tiap malam, bukan hanya malam malam week-end saja, walaupun sebenarnya café-nya sepi pengunjung.
Dari semua tempat yang kita singgahi malam itu, memang terlihat sangat sepi. Sejak harga timah jatuh, geliat perekonomian pulau Bangka ini langsung melambat. Pendatang dari Jawa yang mengorek rejeki lewat bisnis Timah (bekerja sebagai penambang)pun banyak yang memilih pulang. Kota langsung sepi. Dulu, waktu timah lagi jaya jayanya, jangan tanya… bisnis hiburan malampun gemerlap.
Esoknya, pagi jam 6 gue sudah bangun. Breakfast bareng Pak Ujang yang udah janjian mau nganter gue dari Pangkalpinang ke Belinyu (desa kelahiran gue). Butuh sekitar 2 jam dengan jalan yang mulus. Dulu, jaman gue masih anak anak, bisa 3 sampai 4 jam, dan perjalanan Belinyu ke Pangkalpinang adalah sesuatu yang ‘berharga’ karena dari desa ke kota, dulu, waktu gue masih kecil. Sampai parit 18, gue beli nasi tim ayam untuk Mama. Hanya untuk mengenang masa lalu, selalu mampir makan nasi tim disini. Dan Mama doyan banget, katanya sulit banget nyari yang begini, apalagi di Jakarta.
Sampai dirumah, baru pk 8.30 pagi. Papa aja sampai kaget, gue sepagi itu sudah sampai. Dan kabar gue mau balik, baru gue sampaikan hari Rabu yang lalu. Cukup mendadak, namun cukup waktu untuk membungkus semua oleh oleh pesanan gue :_) Masuk ke dalam rumah, sudah bertumpuk rapi getas dan kerupuk untuk gue bawa ke Jakarta. Dan Mama juga menyiapkan martabak bangka untuk sarapan pagi itu. Papa dan Pak Ujang sempet ngopi bareng pula. Pak Ujang ini kelahiran Toboali dan lama di Pangkalpinang, sempet di Jakarta hanya 3 tahun. Dan dia lebih tau Belinyu daripada kita orang Belinyu :_P
Masih pagi itu juga, kita minta tolong Pak Ujang antar ke kuburan Kakek Nenek dari pihak Papa. Dalam suasana Natal, alahkah baiknya berdoa sejenak disana, juga merupakan kebiasaan gue setiap pulang kampung. Mengunjungi rumah Apak (koko-nya Papa) dan mengajak Apak serta ke kuburan, berdoa bersama. Gue sempet mengamati souvenir olimpiade di rumah Apak, yang dibelikan anak anaknya dari Jakarta. Ohya, sebelumnya sempat mampir ke rumah produksi otak otak, untuk membuat pesanan, 80 otak otak untuk dibawa ke Jakarta :_P
Selepas itu, pulang ke rumah, Papa Mama segera menutup toko. Kita lanjut ke pantai. Ngga afdol dong kalo ke Belinyu ngga ke pantai. Belinyu ini gudangnya pantai indah, Mantung, Penyusuk, Remodong, pantai sungai Belinyu dan R_______. Pantai terakhir inilah yang kita kunjungi. Bukan karena paling bagus, namun karena yang ini, belum pernah gue kunjungi sebelumnya. Orang Chinese menyebutnya ‘Muk Ka Theu’ (Pohon Pepaya), mungkin karena dulu banyak tumbuh papaya disini. Sekarang hanya ada 1 – 2 batang saja.
Ombak besar menyambut disana, puluhan nelayan (Chinese) duduk menganggur di depan rumah. Puluhan juga kapal tidak melabuh, memenuhi bibir pantai. Tak lama kita disitu, hanya foto foto sejenak. Perut keroncongan, balik untuk cari makan siang.
Jatsun. Itu yang terlintas di benak gue. Mie khas Belinyu ini, dulu waktu ‘honeymoon’ dengan Nat di Bangka, sempat terlewatkan. Akhirnya kini kesampaian juga. Mie dan Selada (semacam gado gado). Nikmat banget. Sayang haram, sehingga Pak Ujang tidak bisa ikutan. Pemiliknya, Om Jatsun, masih tampak segar diusianya yang sudah 70 tahun. Ia dibantu anaknya. Tak nampak banyak perubahan pada wajah orang tua itu, tak jauh berbeda dengan ketika gue masih kanak kanak.
Balik ke rumah, gue sempet liat bunga bunga Mama yang apik. Untuk mengisi hari, selain menjaga toko pakaian yang biasanya sepi, Mama mengisinya dengan memelihara tanaman bunga. Beberapa ia bawa dari Jakarta.
Setelah oleh oleh di pak dengan rapi, gue berpamitan dengan Papa Mama, berangkat jam 12an untuk pesawat jam 5 sore. Soalnya masih mau mampir ke Goa Maria Belinyu. Sekedar berdoa dan mengambil beberapa foto disana. Orang dari jauh semua datang ke sini untuk berdoa, gue sudah disini, tak ada salahnya mampir. Tak lupa mampir untuk ambil pesanan otak otak tadi pagi.
Lanjut perjalanan kembali ke Pangkalpinang. Sekitar jam 2an sudah kembali. Dan gue minta mampir kembali ke hotel, untuk souvenir yang sudah gue taksir, namun dari pagi toko souvenir di pojok hotel Bumi Asih itu masih tutup. Ternyata masih tutup sampai sore itu. Gue tetep maksa harus bisa. Akhirnya 3 buah tempelan kulkas ‘otak otak Bangka’ berhasil gue boyong pulang :_)
Sama Pak Ujang, gue dimampirkan ke RM Fuksin, untuk mengambil babi panggang pesanan pak Yusuf. Pak Yusuf yang asli muslim ini (orang Palembang, besar di Malang, lama bertugas di Lampung), tau benar oleh oleh khas Bangka ini. Dan di tempat ini, berbeda banget sama tempat lain, gurih, harum dan tidak berlemak. Dulunya gue biasa beli di lapak depan bandara, yang ini (Fuksin) jauh lebih enak. Lain kali harus nitip sama Papa nih :_) Gue bawa ke kantor juga 1 kg untuk cicip teman teman kantor dan mereka tergila gila :_P
Ngga nyangka :_) Penugasan yang ditutup dengan manis. Pesawat Batavia pun hanya delay beberapa menit setelah bandara diguyur hujan lebat. Pulau Bangka (propinsi Bangka Belitung) sungguh kaya akan potensi pariwisata, namun terbengkalai. Ada investor hotel dan tempat hiburan berdatangan namun angkat kaki di tengah proyek berjalan. Novotel misalnya, sudah memasang tiang pancang untuk hotelnya, namun angkat kaki. Lokasi Mal besarpun sudah di kosongkan, namun pembangunan tak ada kabar. Masalah yang paling besar adalah ketersediaan listrik. Listrik di Bangka ini sangat mahal (karena pakai genset). Pemerintah belum mampu memberikan listrik yang cukup, sehingga dimatikan secara bergiliran. Tak heran, setiap rumah di Bangka pasti ada pembangkit listrik sendiri (genset). Dan tak heran pula, solar menjadi sangat langka disini.
Padahal, kalo dikembangkan, Pantai-nya (yang bertebaran), tak kalah menjualnya dari Bali. Masyarakat pun ramah, sangat welcome dengan orang asing. Peradaban budaya orang Chinese-pun menurut gue bisa dikemas sebagai daya tarik. Sebab, disini cukup terpelihara budaya chinesenya dan orang Melayu pun menghormati. Lalu, pemerintah tunggu apa lagi?
Foto foto selama di Bangka di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar