Menginjakkan kaki di bumi Riau bagai memasuki sebuah dimensi yang berbeda. Dimensi dimana sebuah kota dikuasai bukan oleh diri kita sendiri, kita hanya mengais dari sisa pundi pundi raja minyak dari Amerika, CEVRON. Sebuah pemandangan yang amat memiris hati. Memasuki kota Duri, ada sebuah pigura bertuliskan: “Minyak Bumi Tuah Negri” yang seharusnya diberi tanda tanya. Kok diambil orang asing?
9 – 11 December 2008
Di bandara. Bertemu Fifi Kartini (ex KPMG) yang pagi itu kebetulan juga terbang ke tujuan yang sama. Ternyata ada Arifin (ex KPMG juga) yang juga sama, ternyata mereka satu company, bedanya Arifin base di Jakarta sementara Fifi base di Pekanbaru (hari itu baru pindahan). Sayang sepanjang berada di Pekanbaru, tidak sempat jalan/makan bareng.
Tiba di Bandara Sultan Syarif Kasim II masih pagi. Jemputan Hotel Grand Elite Pekanbaru sudah menunggu di muka pintu. Masih bersama Bernard (= Jambi). Setengah jam kemudian sudah sampai di Hotel di dalam kompleks perkantoran itu. Hotel yang lumayan apik, Bintang 4 dan baru saja (sedang) di renov. Sayangnya, kenyamanan dan fasilitas Hotel yang sebenarnya memadai, ternodai orang staff staff Hotel yang amat tidak cekatan dan tidak simpatik. Ria, employee of the month, menjawab sekenanya waktu kita tanya tanya soal kota Pekanbaru. Beda banget waktu tanya di Novotel Jambi yang sangat jelas menjelaskan kota Jambi. Kelihatannya memang belum cukup ditatar, atau jangan jangan orang Pekanbaru memang baru segitu tingkat peradabannya? Mudah2an ngga.
Hari itu juga kita decide langsung keliling kota Pekanbaru. Diawali dengan makan siang yang cukup apik di Pondok Gurih. Entah makanan Sunda atau Melayu, mungkin campuran. Ada Gulai patin dan telur ikan pepes. Tahu isinya pun sangat gurih. Ngga salah nih rekomendasi si sopir.
Ternyata kota ini tak jauh berbeda dengan Jambi. Tempat hiburan hanya mal. Tidak ada gunung dan tidak ada pantai. Jadilah malam itu kita main ke Mal Ciputra Seraya, yang letaknya dekat dengan Grand Elite, kira kira 300 meter saja. Tidak ada yang istimewa di Mal ini. Malamnya, iseng kita ke Furaya Hotel dan baru tau kalo ada jembatan yang mirip di sungai musi, namanya jembatan Tengku Agung Sultana Latifah, diatas sungai Siak (terbesar di Pekanbaru). Namun, sampai hari terakhir, wujud aslinya tidak pernah tampak. Memang kita ngga niat niat amat untuk melihat, mungkin karena orang Pekanbaru sendiri tidak semangat mempromosikannya. Ngga pernah kedengaran mereka menyebut nyebut ‘objek wisata’ ini. Kita pun taunya dari poster yang tertempel di dinding hotel.
Esoknya, kita decide untuk hunting lebih jauh, ke Duri dan Dumai. Pekanbaru boleh ibukota Riau, tapi jantung kehidupan sebenarnya di propinsi ini, adalah kedua kota di atas. Tiap dollar mengalir dari sana, masyarakat sejahtera namun semu, bumi Riau, bumi Cevron. Seluruh kota sudah dikuasai perusahaan minyak raksasa Amerika itu. Sepanjang jalan antarkota nan mulus itu, pipa pipa berukuran besar bertulisan “awas” dan “caution” di kiri kanan jalan. Sudah pasti milik Cevron. Jalanan didominasi mobil pengangkut sawit, mobil pengangkut CPO dan mobil mobil besar lainnya milik Cevron. Truk besar terperosok dan bahkan terbalik adalah pemandangan pasti dikala hujan. Itu kita buktikan sendiri pada perjalanan pulang yang diguyur hujan cukup deras.
Kota (atan peradaban) pertama yang kita temui setelah kota Pekanbaru adalah kota kecil “Kandis”. Selebihnya adalah lapak lapak yang bisa dipastikan adalah warung remang remang pada malamnya. Bilboard kecil Guinness memonopoli warung esek esek tersebut. Percaya deh, sepanjang jalanan yang kita lewati, banyak banget tempat ‘istirahat’ atau tempat ‘bobo’ sopir sopir yang kelelahan. Tempat tempat seperti ‘Zam Zam’ dan ‘Pinggir Rel’ dll, ‘disponsori’ oleh produk produk minuman keras.
Kontradiksi dari warung remang remang, adalah gereja... Di lokasi lain perjalanan, suasana religius justru menyelimuti. Gereja dan Lapo (warung dalam bahasa Batak, biasanya menjajakan masakan babi ‘saksang’), tak heran, sebab disini 80% penduduk adalah pendatang asal sekitaran Medan yang notabene orang Batak. Menarik.
Tiga setengah jam perjalanan, memasuki kota Duri, jauh dari kesan kota besar, tak jauh beda dengan Kandis, hanya saja rumah rumah di Kandis agak lebih renggang. Disini, kita hanya mampir makan siang di RM Padang, Simpang Raya, yang kata sopir kita sih, cuma ini restaurant yang cukup besar disini.
Kira kira satu jam berikutnya, sampailah kita di kota Dumai. Terlihat lebih ramai dan lebih besar. Banyak restaurant dan Hotel yang cukup besar dan sebuah Mal (Plaza Dumai). Kota-nya pun lebih hidup dari Duri. Kita sempat jalan ke pelabuhan barang dan pelabuhan orang. Banyak sekali ruko tempat berjualan tiket Feri express ke Batam, Bintan atau Singapore dan Malaysia. Tak jauh, tak lebih 10 jam dengan Feri itu. Disana, sempat kita berhenti di Comfort hotel *** untuk sekedar minum dan istirahat sejenak. Sampai sore, sekitar jam 5, kita putuskan untuk kembali ke Pekanbaru.
Sampai Pekanbaru, kita makan malam di Pondok Serba Nikmat rekomendasi temen temen Fifi (lwt SMS) yang asli Pekanbaru. Memang nikmat banget. Ikan bakar yang segar, udang pete, dan gulai kerupuk jange, dengan kuah yang hangat hangat kental. Bener bener serba Nikmat.
Hari terakhir, pesawat kembali ke Jakarta jam 5 sore, memberi kita banyak waktu lagi disini. Kita isi dengan berjalan ke Mal yang belum kita datangi, Mal SKA (terbesar di Pekanbaru, mereka membacanya S-K-A, bukan Ska) dan Mal Pekanbaru (mereka menyebutnya MP ‘Melrose Place?’). Tidak ada yang istimewa selain Samsat (layanan STNK, SIM dll berkenaan dengan kendaraan) ada di dalam Mal SKA. Dan MP, tak ubahnya pusat handphone. Kita sempet makan siang disini, Ikan Goreng Cianjur. Bukan salah tulis, memang bukan ikan Bakar Cianjur.
Sore itu, bandara cukup ramai, namun didominasi penerbangan ke Jakarta (semua maskapai). Batavia sedianya terbang jam 6, delay sampai jam 9 malam. Untung gue naik Garuda (jam 7 malam). Disini ada lounge (Serendit Lounge) yang lagi lagi gue ngga bisa masuk :_( Sekarang persyaratan kartu kredit untuk airport lounge makin susah, termasuk yang platinum :_(
Hanya ini yang bisa gue share tentang Pekanbaru. Tak lebih istimewa dari Jambi, namun juga tak lebih membosankan. Yang hebat disini semua hotel dan banyak tempat umum yang free hotspot. Hotel Grand Elite pun demikian. Juga hotel Comfort di Dumai, bahkan hotel yang ga ternama seperti Gran Zuri pun lengkap dengan free hotspot. Riau, infrastruktur cukup bahkan sangat memadai berkat imbas dari Cevron. Namun harusnya bisa lebih dari itu. Sepanjang jalan Pekanbaru – Duri – Dumai, hampir semua rumah dan gubuk punya parabola sendiri. Namun seharusnya bisa lebih dari itu. Harusnya merekalah (pemerintah) yang empunya bisnis minyak ini, tidak hanya menonton dan senang dengan cipratan saja.
5 komentar:
Salam kenal, sebelum berkomentar banyak soal PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI), ada baiknya anda tahu sejarah nya lebih jauh.
SATU - PT. CPI sudah masuk ke Riau sejak tahun 1940, kira2 sekitar 5 tahun sebelum Indonesia merdeka. Dan perlu dicatat, mereka sudah buat perjanjian dengan pemerintahan Belanda. Kala itu, Rakyat Riau masih ditimang-timang dengan gaya hidup malas2an. Soalnya, dengan petik buah2an tropis yang tumbuh liar di belakang halaman rumah. Kita sudah sanggup menyekolahkan anak2 kita ke Pulau Jawa. Tapi, zaman berubah ... Tapi tidak serta merta Rakyat RIau sengsara merana, karena banyak diantaranya kini tengah hidup senang menjadi petani sawit. Itu rata2 sebagian besar dikelola oleh rakyat Riau sendiri, dengan mendatangkan pekerja dari Sumatra Utara (no Offense, memang begitu adanya).
DUA - Pernyataan bahwa RIau adalah Bumi Chevron tidak bisa dijustifikasi kebenarannya begitu saja. Karena berbeda dengan perjanjian pemerintah pusat dengan FREEPORT di Papua sana, di mana 80% untuk Freeport sedangkan 20% untuk Pemerintah. TIDAK ADIL, memang !!! Tapi, berbeda dengan Chevron ... karena untuk kasus Riau, 80% untuk pemerintah, dan 20% untuk pihak Chevron.
Jadi tidak benar kalau Rakyat RIau cuman dibodohi begitu saja dari pihak Chevron. :)
Pendapatan Per Kapita Non-Migas (maknanya di luar campur tangan Chevron), bahkan TERTINGGI di tanah Sumatra. Ini bukan isapan jempol, tapi memang indikasi perekonomian di luar sektor Migas di RIau memang tinggi dan cukup ter-utilisasi.
Setuju, memang masi bisa lebih lagi dari itu. Tapi, sebenarnya apa yang rakyat Riau rasakan sekarang JAUH LEBIH BAIK dari masyarakat di Provinsi lain (tentunya di luar DKI Jakarta).
Statement di atas sudah otomatis menghapus anggapan "MINYAK diambil asing". Itu adalah tidak benar, yang benar adalah "MINYAK dikelola asing".
Walaupun itu juga tidak sepenuhnya benar. Kenapa ??? pekerja dan petinggi PT. Chevron Pacific Indonesia itu 95% nya adalah orang Indonesia asli kok. Bagi hasil SDA nya juga sebagian besar lari ke pmerintah. Cuman memang, larinya ke pemerintah pusat dulu (baru sekitar 15% nya lari ke pemerintah daerah). Sudah begitu peraturannya. Dari RIAU lah proyek2 mega pemerintahan di Jakarta bisa berjalan. Dari RIAU lah, APBN Indonesia sebanyak 40% ditopang.
Pemerintah Riau juga berkontribusi loh, dalam mengembangkan perminyakan di Riau. Cuman karena anda berjalan ke arah Duri dan Dumai ... anda jadi tidak melihatnya saja.
Coba, kalau anda berjalan ke arah Siak Sri Indrapura. Anda akan melihat, kontribusi BUMD Pemerintah Riau dalam pengelolaan minyak. Walaupun kapasitasnya jauh lebih kecil dari Chevron. Tapi itu bukti, bahwa Rakyat Riau juga mampu kok. APalagi, usia pengelolaan ini tergolong baru ... Baru paska Era-Otonomi Daerah. Kalau pernah dengar istilah BOB (Badan Operasi bersama). Itu pengelolaan Minyak bumi di bawah tangan daerah. Perusahaan yang terlibat antara lain KONDUR PETROLEUM, RIAU PETROLEUM, dan PT. BUMI SIAK PUSAKO.
Kalau di Riau sudah berproduksi sekitar 500 ribu barrel per hari. Maka BOB sudah mampu memproduksi 22 ribu barrel per hari (dengan pengalaman kerja 10 tahun, paska Otonomi Daerah). Bandingkan dengan PT. CPI yang sudah ada di Riau sejak tahun 1940 :).
Dear Mr.Bingung, thanks atas comment dan info-nya yg sama sekali ngga bingung. Memang, saya hanya beberapa jam di Duri dan Dumai, dan saya menulis kesan yang saya tangkap. Mungkin ini persepsi orang banyak yg perlu diluruskan. Thanks.
Sekedar uneg-uneg,
.."Sayangnya, kenyamanan dan fasilitas Hotel yang sebenarnya memadai, ternodai orang staff staff Hotel yang amat tidak cekatan dan tidak simpatik. Ria, employee of the month, menjawab sekenanya waktu kita tanya tanya soal kota Pekanbaru."
..Gak cuma di hotel itu aja Bro, tapi di semua tempat yang seharusnya memberikan pelayanan yg baik kepada customer dan turis akan sama anda temukan di pekanbaru ini. Kalo ditanya kenapa mereka seperti itu, saya sendiri yang lama di pekanbaru gak pernah tahu alasannya? Pernah saya coba membandingkannya service di Jakarta yang dibilang hidup di Jakarta lebih keras dari hidup di hutan", ternyata orang2 hidup di jakarta malah lebih sopan dan santun dalam berbicara, dan terutama dengan memberikan informasi2 kepada orang lain.
Numpang lewat
Setuju dengan yg dikatakan Mr. Bingung.
Tapi herannya masyarakat riau miskin. Pemerintahnya banyak korupsi.
Yang ada duit masuk ke kantong pejabat2. Urus apa2 mesti bayar dulu pdhal belum ada kepastian klo bayar, proyek jebol.
Heran padahal kewajiban mereka harusnya untuk menyelesaikan tugas tepat waktu tapi sengaja dilama-lamain biar bisa kuras kantong ampe jebol. Apa kata dunia???
Jalanan banyak lobangnya. Janji mo perbaiki jembatan tapi setelah terpilih ->janji = tinggal janji. *Bulshit*
Pendapatan daerah yang harusnya bisa membuat rekreasi di wilayah pekanbaru untuk menambah pendapatan daerah lagi, masuk ke kantong sendiri.
Perbedaan ras msh byk ditemukan.
Mo buka usaha byk sekali prosedur hantu belau.
Makanya banyak org pekanbaru, yang klo liburan perginya keluar kota atau keluar negeri dan jangan heran orang pekanbaru sendiri memang tidak tahu kondisi pekanbaru karena tempat wisatanya saja tidak dilestarikan. Tanya kenapa??????????
Posting Komentar