Malam itu, di mobil dengan pak War, gue diem banget, malu. Ngga seperti gue biasanya, yang senang mengajak ngobrol sopir. Sampai di depan lobby hotel ketika berpamitan, Pak War masih menjawab “ya, mari” dengan lembut, seolah tadi dia ngga pernah marah.
Sampai di kamar hotel, gue masih agak agak termenung, ada banyak lagi hal hal di atas yang pasti sering terjadi dan kita ngga sadari. Kalau malam ini gue bukan penumpang terakhir, mungkin gue juga sampai sekarang tidak menyadari dan ngga menganggap sudah membuat marah seseorang. Dalam konteks ini, bukan hanya seseorang, tapi orang orang spt Pak War pada umumnya. Yang dalam hidupnya hidup benar, jujur, bekerja keras dan berusaha, namun sekeras apa pun mereka, mereka tidak bisa sampai ke level kita. Mungkin dunia ini memang tidak adil buat mereka. Gue jadi teringat, puisi Blackpia yang gue tulis waktu masih SMA dulu.
Tentang seorang penjual siomay yang merasa dirinya setara dengan kita padahal tidak. Ia jauh dari level kita, anak anak SMA yang bermobil, bermotor, atau naik bus atau bemo sekalipun namun punya playstation di rumah dan tiap pulang sekolah bisa nge-band dengan uang orang tua kita.Begitulah dunia ini memang ngga ada yang adil. Spt barusan gue denger seorang operator terminal tanki mengeluh tentang gas elpiji yang mau naik lagi. Di saat saat spt ini, bahkan sejak gue masih SMA, 10 tahun yang lalu, mereka pasti sangat kebingungan, dan sangat merasa ketidakadilan, juga ketidalberdayaan. Spt Pak War, yang hanya bisa marah sesaat, namun tersadar sesaat kemudian, kembali menjadi orang yang sopan, ramah, jujur, bekerja keras dan pasrah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar