29 Oktober 2007

Kita sering mempertontonkan sesuatu yang ngga pantas bagi mereka yang secara ekonomi lebih kurang beruntung dibanding kita dan parahnya, kita ngga pernah menyadarinya. Kejadiannya sederhana. Kita makan malam berlima dan salah satunya membayari. Ketika kita mau mengembalikan uangnya, sang pembayar menolak. Mati matian menolak, sampai terjadi sodor menyodor beberapa lembar uang 50 ribuan. Dan itu dilakukan (dengan sambil guyon) dari di mobil sampai nyampe ke tempat tujuan yg kira kira 20 menit perjalanan. Ngga sampe disitu, di tempat parkiran pun masih begitu. Dan parahnya, itu semua disaksikan oleh sopir yang mengantar kita, sebut saja namanya Pak Warsito. Kebetulan, dari situ, tinggal gue doang penumpang terakhir yang diantar ke tempat gue menginap. Di situlah gue tau dan malu, gue bagian dari ketidakpantasan itu. Dengan nada sedikit marah dan jengkel Pak Warsito kira kira bilang begini, “Masalah makanan saja diributkan benar, sedangkan uang kontakan ndak direken”. I don’t really understand what’s that means, mungkin bahasa Jawa, mungkin bahasa orang kecil spt Pak Warsito, mungkin juga gue salah denger dan kemudian salah mengutip. But, you know my point. Pak Warsito bukan orang yang kasar, sama sekali bukan. Ia orang yang sopan, ramah dan sabar, jujur pula dalam pekerjaannya, namun ia marah, jengkel dan merasa sangat ngga nyaman dengan perlakuan kita meributkan uang kecil bagi kita sedangkan sangat besar bagi dia.

Malam itu, di mobil dengan pak War, gue diem banget, malu. Ngga seperti gue biasanya, yang senang mengajak ngobrol sopir. Sampai di depan lobby hotel ketika berpamitan, Pak War masih menjawab “ya, mari” dengan lembut, seolah tadi dia ngga pernah marah.

Sampai di kamar hotel, gue masih agak agak termenung, ada banyak lagi hal hal di atas yang pasti sering terjadi dan kita ngga sadari. Kalau malam ini gue bukan penumpang terakhir, mungkin gue juga sampai sekarang tidak menyadari dan ngga menganggap sudah membuat marah seseorang. Dalam konteks ini, bukan hanya seseorang, tapi orang orang spt Pak War pada umumnya. Yang dalam hidupnya hidup benar, jujur, bekerja keras dan berusaha, namun sekeras apa pun mereka, mereka tidak bisa sampai ke level kita. Mungkin dunia ini memang tidak adil buat mereka. Gue jadi teringat, puisi Blackpia yang gue tulis waktu masih SMA dulu. Tentang seorang penjual siomay yang merasa dirinya setara dengan kita padahal tidak. Ia jauh dari level kita, anak anak SMA yang bermobil, bermotor, atau naik bus atau bemo sekalipun namun punya playstation di rumah dan tiap pulang sekolah bisa nge-band dengan uang orang tua kita.

Begitulah dunia ini memang ngga ada yang adil. Spt barusan gue denger seorang operator terminal tanki mengeluh tentang gas elpiji yang mau naik lagi. Di saat saat spt ini, bahkan sejak gue masih SMA, 10 tahun yang lalu, mereka pasti sangat kebingungan, dan sangat merasa ketidakadilan, juga ketidalberdayaan. Spt Pak War, yang hanya bisa marah sesaat, namun tersadar sesaat kemudian, kembali menjadi orang yang sopan, ramah, jujur, bekerja keras dan pasrah.

Tidak ada komentar: