click above title for photos related to this blog
This could be my last assignment under the company that I currently work with; ada semacam perasaan sentimentil, mungkin akan gue tulis sedikit lebih detail. Akan gue buat sequence supaya ngga kepanjangan, gue usahakan bisa dibaca secara lepas tanpa harus membaca keseluruhan. Gue posting mulai yang paling bawah duluan supaya enak dibaca dari depan :_)
Jam 7 pagi Senen, 7 July 2008. Sepagi itu gue udah sampai di bandara untuk penerbangan pk. 8.45 (+ delay). Untungnya di Terminal 1 B tempat gue menunggu, ada Eljohn executive lounge di mana gue bisa bersantai sambil menunggu pesawat. Lampung, ke mana pagi itu gue akan menuju, hanya ada 1 penerbangan yang pasti, yaitu Sriwijaya Air. Merpati kadang terbang kadang ngga. Sedangkan Garuda tidak melirik rute ini sama sekali. Mungkin sebagian orang memilih jalur darat untuk menyeberang ke Lampung, dari Jakarta ke Merak (Banten) lalu Bakaheuni, hanya sekitar 4 – 5 jam. Gue pernah, makanya gue tau kalau perjalanannya cukup menyenangkan. Apalagi ketika di atas kapal feri, full music, tapi musik dangdut :_)
Di Eljohn, gue masuk pakai GE Gold, dan kebetulan di depan gue ada 3 orang, 2 bapak bapak dan 1 ibu yang hanya punya 2 pass untuk masuk ke sana. “Pake punya saya aja Pak” gue tawarin, karena kebetulan gue punya kartu kredit Mega Translusion yang juga bisa menjadi pass masuk. Sang bapak yang menunggu pesawat ke Pekanbaru itu langsung menjabat tangan gue dengan gembira.
Walaupun sedang libur sekolah, tidak banyak terlihat leisure traveler pagi itu. Sebagian besar penumpangnya kayak gue, rapi dengan kemeja dan menenteng laptop. Juga terlihat beberapa pekerja bule. Dalam beberapa tahun terakhir ini, Lampung mulai dilirik sebagai tujuan berinvestasi, pemodal lokal maupun asing. Bos gue salah satu-nya. Dan ngga tanggung tanggung, pemilihan lokasinya di Lampung Timur, yang masih sekitar 200 KM dari bandara Reden Inten di Tanjung Karang. Berlawanan arah dari tujuan gue, adalah kota Bandar Lampung, yang bisa ditempuh dengan waktu 45 menit.
Sekitar jam 9 pesawatnya baru berangkat dan sampai di sana tak lebih dari 30 menit saja. Belum sempat duduk tenang, sudah mendarat, syukurlah. Begitu sampai disana, suasana pelosok sudah terasa. Kira kira mirip bandara Pangkal Pinang di Bangka atau Adi Sumarmo di Solo. Kecil sekali. Line pengambilan bagasinya pun hanya satu dan berujung, sehingga kalau bagasi anda terlambat diambil, akan menumpuk di ujung line yang panjangnya hanya sekitar 3 meter itu.
Sudah menunggu di luar, sopir dari kantor yang akan gue kunjungi, Pak Jun nama sopirnya. Umurnya sudah 30an tapi belum berencana menikah. Setelah menempuh perjalanan kira kira 1 jam, sampailah kita di kota Metro. Disanalah tempat gue menginap, walaupun masih 50 KM jaraknya dari site, merupakan kota diantara desa desa di sekitarnya. Mirip kota Madiun di Jawa Timur, rumah rumah besar dengan pekarangan yang luas, dipenuhi tanaman yang sedikit kurang rapi merupakan pemandangan sepanjang kota ini. Gapura dengan bentuk khas kota Lampung ada di mana mana, juga patung patung gajah yang sedang bermain sepakbola. Gajah memang icon kota Lampung. Disini gue singgah sebentar di hotel untuk meletakkan koper dll.
Di kota Metro ini gue minta dimampirkan ke ATM BCA untuk mengisi dompet yang isinya tinggal beberapa puluh ribu. Gue harus prepare agak banyak uang tunai, karena di Lampung Timur ini, hampir bisa dipastikan kartu kredit tidak berlaku alias barang mati. Makanya, selain kartu kredit yang bisa dipakai untuk executive lounge, yang lainnya gue tinggal di rumah. Di antrian ATM, tepat di depan gue, ada seorang bapak tua yang hendak menarik tunai tapi ngga tau caranya, keliatannya baru pertama kali. 2 orang dara muda di depannya dengan simpatik membantu mengambilkan. Kaget juga gue ketika melihat pak tua itu memencet no pin, gue kira dia main main, tapi ternyata ngga tuh, uang 150,000 yang dia mau ambil buktinya bisa keluar. 999999 no pin-nya. Gue ngga kuasa untuk ngga meminta kepada si bapak, untuk kalau bisa, PINnya diganti saja. Kedua dara yang membantunya juga setuju, mereka iba juga dengan si bapak yang sudah agak bongkok itu.
Ohya, waktu menunggu Pak Jun membayar listrik di PLN (sekalian karena jarak pabrik cukup jauh), gue sempet motret becak Lampung yang menurut gue agak aneh. Sadel tempat duduk si abang sedikit lebih tinggi dari becak becak di Jakarta. Ada yang pernah kasih tau gue, kalau itu untuk mengantisipasi kontur jalanan di Lampung yang banyak tanjakannya. Iya, itu berlaku untuk kota Bandar Lampung. Namun di Lampung Timur, jalananya cukup rata tanpa banyak tanjakan yang berarti. Entahlah.
Perjalanan sekitar 1 jam lagi dari kota Metro untuk sampai ke pabrik kita di Desa Tambah Subur, Kecamatan Way Bungur, kota terdekat namanya Sukadana, namun tidak kelihatan seperti kota. Lebih mirip Parit 18, tempat singgah perjalanan dari bandara Pangkal Pinang ke dusun kelahiran gue, Belinyu, di Pulau Bangka sana. Hanya saja, jalannya sedikit lebih lebar dan lebih mulus. Sepanjang perjalanan, yang ada hanya hamparan hijau kebun singkong dan kebun jagung di lahan yang lebih mirip sawah itu. Di musim hujan, lahan tersebut memang sawah, hanya saja di musim kemarau seperti sekarang ini disulap menjadi kebun singkong atau jagung yang berumur lebih pendek.
Dari desa Sukadana yang jalannya mulus, belok ke sebuah jalan sempit, yang baru tahun ini diaspal, sebelumnya masih jalan berbatu. Itupun batunya dari kita, sebelumnya hanya tanah kuning. Di ujung jalan itu, disitulah pabrik kita berdiri. Yup, diujung jalan, sebab extension jalannya kita yang bangun.
1 komentar:
Ive read this somewhere else.
private student loans
Posting Komentar