22 Juli 2008

My Last Assignment, Sehari Bersama Petani, Kapan Lagi?

click the above title for photos related to this blog

Moment like this will be the moment that I miss the most about this company.

Minggu kedua assignment di Lampung. Setelah Sabtu Minggu ‘istirahat’ di rumah, hari ini harus kembali ke Lampung meneruskan pekerjaan yang belum tuntas. Untung kali ini datang bersama Roy. Juga karena udah settle deal dengan calon perusahaan baru, maka minggu ini bisa bekerja lebih fokus dan efektif.

Dalam perjalanan ke site terjadi pembahasan seru, mengapa gue harus pindah. Roy yang baru saja diangkat manager QA itu, akhirnya bisa menerima. Dia sendiri setuju, tawaran dari perusahaan di Tangerang itu, worthed untuk diambil, sangat worthed malah.

Sampai site, semua pekerjaan lancar dan bisa tepat schedule. Sehingga, seperti sudah dijadwalkan, gue dan Roy akan diajak berkeliling ke lahan singkong di bawah naungan plasma kita, untuk verifikasi status singkong. Ratusan petani di bawah naungan plasma ini menerima pinjaman dana untuk bercocok tanam singkong selama 1 musim tanam (sekitar 8 – 10 bulan). Pengerjaan lahan, penanaman bibit, pemupukan, penyiangan, sampai kegiatan panen, diawasi langsung oleh 4 root coordinator perusahaan.

Maka, Kamis pagi itu, pagi pagi sampai di site, kita langsung berangkat lagi. Menggunakan mobil Panther yang memang sangat cocok untuk masuk ke medan medan sulit. Salah satu root coordinator, Sigit, yang menyetir. Satu lagi, Anwar, pake sepeda motor, mengantisipasi ada lahan yang tidak dapat kita masuki dengan mobil, bisa disambung dengan bonceng sepeda motor.

Lahan pertama yang kita verifikasi adalah lahan yang dikoordinasi Pak Dirman, berlokasi di Sukadana. Pak Dirman, bersama puluhan pemilik lahan lainnya, tergabung dalam kelompok tani (koptan) Sukadana, yang dibentuk oleh Dinas Pertanian Pemda setempat. Sehari sebelumnya Pak Supri (Kepala Pembelian Singkong) sempat bercerita bahwa koptan Sukadana ini banyak yang tidak kooperatif dan tidak senang diverifikasi sebab dikiranya curiga dan tidak percaya pada mereka. Bahkan root coordinator sering diancam (kadang pakai badik-cluritnya orang Sumatera) waktu sedang bertugas ke sana. Sempet agak ngeri juga :_(

Kesan begitu memang ada ketika pertama kali bertemu Pak Dirman langsung. Namun, ternyata setelah diajak berjalan jalan berkeliling kebun-nya, pria hitam dan berperawakan sangar itu ternyata cukup ramah. Ternyata dia bukan orang Lampung atau peranakan Jawa. Marganya Sinaga, lengkapnya Sudirman Sinaga, orang Batak rupanya. Setelah capek berkeliling, kita singgah kembali ke rumahnya. Rumahnya sangat adem, dan -khas rumah di kampung kampung- halamannya sangat luas dengan bermacam tanaman bunga. Dia bercerita, saking seringnya root coordinator datang ke lahannya, sudah seperti saudara sendiri. Orangtuanya yang muncul dari belakang rumah ternyata tidak sependapat, beliau sempat curiga dengan kedatangan kita. Untunglah Roy pintar berkelit, akhirnya malah cerita bagaimana pengalaman pahit getirnya sang bapak yang sudah malang melintang di dunia persingkongan. Sampai melenceng ke acara TV kegemaran sang bapak, Mamamia. “Hiburan buat orang tua” kata bapak yang sudah berumur 72 tahun tapi masih mengaku muda ini.

Keluarga Sinaga memiliki total lahan seluas 12 Ha yang dirintis dengan membuka hutan, mengusir gajah dan macan liar, semua oleh sang bapak sendiri. Lahan seluas itu bisa menghasilkan paling sedikit Rp 120 juta sekali panen. Dengan total biaya sekitar Rp 3.2 juta per Ha (termasuk pupuk, tenaga kerja, pengangkutan dan bunga pinjaman), untuk sekali musim panen, bisa mengantongi keuntungan tak kurang dari Rp 80 juta. Artinya, sekitar Rp 10 juta sebulan. Lebih besar dari gaji supervisor berdasi di Jakarta :_)

Tak lama mengobrol, kita pamit dengan Bang Dirman dan bapaknya untuk melanjutkan verifikasi ke lahan lain, yang dikoordinasi oleh Mba Ning. Di perjalanan Sigit menggambarkan mba Ning sebagai wanita perkasa, yang mengambil sebagian besar pekerjaan laki laki. Terbayang deh, wanita perkasa itu bakalan sangar kayak cowok. Apalagi diceritakan dia naik sepeda motor Honda Tiger untuk mengawasi lahan yang semuanya dimiliki kaum pria itu.

Lagi lagi kita salah. Di rumah yang tampak belum selesai dibangun itu, hidup sepasang suami istri yang sangat ramah. Mba Ning berperawakan besar, namun raut wajahnya penuh senyum dan tutur katanya penuh canda tawa. Suaminya, yang tampak kecil dibandingkan sang istri, juga ramah dengan wajahnya ber-template senyum. Rumahnya pun teduh dan ada semacam perasaan senang bergaul dengan mereka.

Suguhan susu manis panas dan biscuit vanilla pun menemani siang yang penuh kehangatan itu. Si bapak bercerita bagaimana ia dan sang istri, dari Blitar, lalu mengadu nasib di Jakarta sejak tahun 1977, di mulai dari bersekolah di belahan selatan Jakarta. Ketika krismon menghantam perekonomian Indonesia, usaha kecil kecilan mereka pun terkena imbas yang sangat parah sehingga bangkrut. Dasar jiwa pejuang dan petualang, entah datang dari mana bisa muncul ide untuk move ke Lampung. Sejak tahun 2000, mereka sudah menetap di Lampung Timur, memulai usaha cocok tanam singkong. Saat itu, masih menjadi penyuplai untuk kompetitor terbesar kita. Sempat kecewa, kini ia mencoba lagi masuk sistem plasma bersama perusahaan kita yang baru rintis setahun belakangan ini.

Pejuang, petualang, namun berhati sangat lembut. Ia sempat menuturkan, bagaimana pekerjaan yang ia lakoni sekarang, menuntutnya selalu ada di lapangan, dan dia merasa kasian sekali dengan putra satu satunya yang masih duduk di kelas enam SD. “Hanya malam aja dia mendapat kasih sayang ibunya” tutur mba Ning dengan pandangan sedikit menerawang, seperti menyesali sesuatu.

Tanpa terasa, susu dan biskuit pun ludes. Tiba waktunya kita berangkat verifikasi lahan. Ngga juga sih. Waktu makan siang, lebih tepatnya :_P Diajaklah kita, oleh mba Ning dan suami, ke sebuah rumah makan Padang yang bisa lesahan. Mba Yuli pemilik warung, lagi lagi orang Jawa, pernah tinggal di Bekasi, mencoba nasib di Lampung Timur dengan berjualan nasi Padang. Jujur aja, masakannya biasa, hanya suasananya aja yang enak, nyaman, dengan angin sejuk sepoi sepoi.

Perut kenyang, mulailah kita berangkat. Gue dan Roy dengan mobil Panther Putih yang disetirin Sigit. Anwar naik MegaPro, mba Ning dengan Tiger. Yang lucu, suaminya yang diboncengin, mba Ning tanpa helm dan tanpa jacket, hanya kaos, celana pendek dan sandal jepit. Di lokasi yang tak jauh dari Taman Nasional Way Kambas itu, medannya cukup berat. Sebuah sungai dengan jembatan bambu mengakhiri perjalanan dengan mobil. Lahan singkong mba Ning ada di seberangnya. Disinilah gunanya Anwar membawa Megapro. Akhirnya 2 motor bonceng 6 orang. Anwar, Roy dan Gue di Megapro. Mba Ning, suaminya dan Sigit di Tiger. Tetep, yang nyetir, mba Ning.

Disana, kita diajak mampir ke sebuah saung yang cukup besar. Di bawahnya ada beberapa ekor sapi putih diikat dekat tiang. Di atas, beberapa pemilik lahan mengawasi lahan masing masing sambil mengobrol. Mba Ning langsung naik dengan tangga kayu yang memang disediakan itu. Kita pun diajak naik. Semua naik kecuali Sigit yang masih gemar memotret sapi sapi di bawah. Di atas, kita disediakan kopi hangat, sehangat suasanan yang mereka tawarkan ke kita. Ngobrol selalu diiringi canda tawa. Padahal masih beberapa lahan lagi yang dananya belum turun ke mereka, walaupun mengeluh, mereka percaya perusahaan kita pasti memenuhi janjinya. Kalau ngga, kita udah ditempelin clurit/badik kali :_P


Dari atas saung besar itu, terlihat hamparan hijau tanaman singkong tak bertepi. Di sanalah lahan lahan yang dimiliki Pak Mali, Pak Senen, Pak Suwondo dan bapak bapak yang lainnya, termasuk punya mba Ning. Denger denger, mba Ning sendiri punya 50 Ha. Betapa kayanya petani petani kecil di depan kita ini. Namun tetap bersahaja dan layaknya petani, tetap rendah hati dan menganggap kita –orang orang kota ini– sebagai lebih baik dan lebih hebat dari mereka. Padahal, dengan uang mereka, cukup untuk menimbun kita hidup hidup. Sayang foto petani petani kaya ini, entah kenapa, tidak jadi. Tustel Kodak yang dibawa Anwar, entah kenapa, hilang sebagian foto fotonya. Sayangnya, gue juga ngga njepret, si Anwar kan udah ada, pikir gue.

Waktu kembali ke mobil dengan motor, ada accident yang cukup membuat tertawa. Motor Megapro yang ditumpangi Anwar, Roy dan gue kehilangan keseimbangan dan tiga tiganya jatuh ngusruk ke kebon singkong orang. Untungnya gue sempat lompat di saat saat terakhir. Roy, yang memang ditengah, ngga bisa apa apa dan jatuh dengan posisi terakhir telentang (seperti kura kura terbalik). Dan Anwar ikut masuk ke kebon bersama motornya. Anwar memang terlalu kecil untuk membonceng gue dan Roy yang lebih dari 150 Kg berat berdua ditambahi. Habis jatoh bukannya pada langsung bangun, malah tertawa semua. Untungnya ngga ada cedera serius. Cuma lecet dikit aja.

Itu membuat tempat tempat lain yang kita kunjungi menjadi kurang bersemangat. Dan setelah pamit dengan mba Ning dan suami dan petani petani lainnya, kita lanjut verifikasi 2 lagi lahan kepunyaan Pak Nicky. Sayang juga, karena udah kesorean dan juga cape plus pegal pegal habis jatuh dari motor, kita ngga jadi mampir ke Taman Nasional Way Kambas. Lokasi penangkaran gajah yang amat terkenal di Lampung itu hanya berjarak ngga lebih dari 3.5 KM lagi di depan kita.

Begitulah sehari bersama petani petani yang bisa menghasilkan banyak uang itu. Rumah mereka besar besar, lahannya luas, sapi, kerbau, kambing, beberapa malah punya truk besar sendiri untuk ngangkut singkong dari lahan ke pabrik. Semua orang kaya yang gigih berjuang dengan lahan subur pemberian alam.


Tak lupa, ditengah jalan, kita mampir untuk menikmati manisnya durian Lampung. Yang ternyata, ngga manis manis amat (karena masih muda). 3 biji harga Rp 45,000, hanya 1 yang manis.

Sedikit Fakta mengenai Singkong yang gue pelajari dari Petani:
1. Jenis Singkong yang baik (untuk dibuat tepung tapioka) ada 2 macam: jenis cassesa dan jenis Thailand. Namun jenis cassesa sedikit lebih baik.
2. Jenis cassesa berumur lebih panjang, 10 bulan, sedangkan Thailand hanya 8 bulan. Namun, jenis cassesa makin lama makin baik (tinggi kandungan aci / pati-nya). Sedangkan Thailand > 12 bulan makin turun kadar aci-nya.
3. Singkong baik ditentukan dari kadar aci-nya (SC = Starch Content), makin tinggi harganya makin mahal. Alat pengukurnya disebut 'rendemen' yaitu berupa alat menyerupai timbangan dimana singkong dimasukkan ke dalam sebuah ember berisi air. SC singkong Lampung rata rata 24, lebih baik dari singkong Jawa yang biasanya di bawah 24.
4. Banyak sedikitnya singkong yang dihasilkan oleh 1 tanaman singkong dapat dilihat dari buku buku pada batangnya. Makin rapat, hampir bisa dipastikan, makin banyak dan makin besar 'jari' umbinya. Jadi tidak dilihat dari lebat atau hijaunya daun, misalnya.
5. 1 Ha lahan bisa menghasilkan paling sedikit 20 Ton singkong segar. Jenis cassesa bahkan bisa menghasilkan 30 Ton / Ha jika waktu pemupukan dan jenis pupuknya tepat.
6. Singkong sambung, adalah jenis cassesa yang disambung dengan singkong hutan (diikat). Singkong sambung akan tumbuh lebih besar dari singkong biasanya namun menghasilkan jauh lebih banyak. 1 Ha bisa mencapai 50 sampai 100 Ton, dengan jarak tanam 1 m tiap pohonnya.
7. Telo (ketela), Puhung, dan Bedot adalah antara lain sebutan untuk singkong. Bedot adalah sebutannya di Lampung :_)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Good Afternoon

Awesome post, just want to say thanks for the share