click the above title for photos related to this blog
Malam kedua assignment di Lampung Timur, gue diajak Pak Min makan di Rumah Makan Suroboyo. Merupakan rumah makan masakan Jawa Timur, sesuai namanya. Gue pesen nasi pecel + rawon, pak Min nasi pecel + ayam goreng. Disini bisa dijumpai masakan rujak soto, makanan khas Banyuwangi, yang di Surabaya sendiri, ngga mudah dijumpai.
Jangan heran kalau rumah makan bernuansa Jawa, terutama Jawa Timur, menjamur di kabupaten Lampung Timur ini. Mungkin bisa dikatakan, ngga ada propinsi lain di Indonesia yang memiliki orang Jawa sebanyak di Lampung, kecuali, ya di P. Jawa sendiri tentunya. Masuk akal sekali, sebab, pulau Sumatera memang pulau besar yang terdekat dengan pulau Jawa. Dan gerbang ke P Sumatera adalah Lampung (yang ujungnya – Bakaheuni dengan ujung barat Jawa – Merak, hanya berjarak sekitar 2 jam perjalanan kapal feri). Hal lain, adalah ketika jaman kolonial Belanda, dari mana kompeni kompeni itu memperoleh tenaga kerja yang mau bekerja keras, murah dan mudah dipindahkan (dekat), kalau bukan dari P Jawa? Masuk akal sekali. Apalagi jamannya program transmigrasi ala Soeharto, Lampung (terutama pelosok seperti Lampung Timur), merupakan salah satu target utama ‘pemerataan’ penduduk.
Sehingga, sangat masuk akal, bila sangat mudah dijumpai desa desa dengan nama bernuansa Jawa. Bahkan diambil langsung dari desa asal muasal mereka di tanah Jawa, semisal, Bantul, Purbolinggo, Sidodadi, Pekalongan, Adirejo, Purwosari, Purworejo dan sejenisnya. Jangan heran pula kalau penduduk sini sangat fasih berbahasa Jawa. Namun ketika ditanya asalnya darimana, sebagian besar dari mereka akan menjawab, asli Lampung. Ketika ditanya lebih lanjut, baru ketahuan, orang tua dari orang tua dari orang tua mereka, aslinya Kediri atau Jogja atau Pekalongan. Seperti Pak Jun sopir gue di hari pertama, orangtuanya asli orang Jogja, namun sudah kelahiran Lampung, berarti dia sudah generasi kedua yang lahir disini. Tapi, muka, perawakan, tingkah laku dan tutur katanya, persis orang Jawa. Maka, ketika Pak Is yang asli Surabaya dan Pak Min yang asli Bali tapi lama di Surabaya ditanya, apakah kerasan tinggal di Lampung, jawabannya sama. Tidak terasa suasana tinggal di negeri asing ketika mereka pertama menginjak bumi Lampung. Berbeda bila ditempatkan di Medan atau Kalimantan, di Lampung, suasananya tidak berbeda dengan kampung halaman mereka, tanah Jawa. Apalagi Pak Is pernah lama di Ponorogo, yang menurut gue mirip sekali feel-nya dengan kota Metro. Gue merasakan sendiri karena pernah 2 minggu penuh di Ponorogo. Bedanya di Metro hanya lebih baik sedikit, karena ada makanan seafood, sementara di Ponorogo hampir mustahil.
Perasaan lucu muncul ketika melihat peta seperti di bawah ini. Ini bukan di Peta pulau Jawa lho, tapi pulau Sumatera, tepatnya Lampung, Lampung Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar