click above title for photos related to this blog
Butuh sekitar 2 jam dari bandara Raden Inten, Tanjung Karang (Lampung) menuju site yang berlokasi di Desa Tambah Subur, Kec. Way Bungur, Lampung Timur. Sesampainya gue di site, semua petinggi langsung sibuk, bak menyambut tamu agung dari kantor pusat :_P They quite surprise waktu gue bilang ini kali keempat disana. Mereka pikir gue baru pertama kali. Jauh sebelum mereka menjabat disana, bahkan ketika pabrik dan fasilitas lainnya baru mulai dibangun tahun 2006, gue ini sudah pernah datang meninjau. Kali ke dua bersama Roy dan Darwin, waktu itu mengaudit biaya proyek, waktu itu bawa mobil, dengan sopir tentunya – Pak Masyuni, dari situlah gue tau musik dangdut di atas feri. Karena bawa mobil kita ngga sia sia kan untuk borong seabrek duren dan petai. He he bau’ bau’ deh tuh mobil (mobil kantor sih). Kali ketiga, bersama Darwin waktu mengaudit early operation. Kali ini audit full operation. Hanya si Samsul yang gue kenal dari pertama kali datang ke sini, orang kecil yang makannya banyak ini, setiap kali gue dateng, dialah yang nemenin meninjau kebun singkong.
Site yang sangat pelosok ini adalah sebuah fasilitas penghasil tepung dari bahan baku singkong segar. Seperti yang kita pelajari di Ekonomi Makro di kuliahan dulu, ada 4 tipe lokasi usaha, 1) dekat dengan bahan baku 2) dekat tenaga kerja 3) dekat pasar (market/customer) dan 4) dekat pengiriman (pelabuhan). Tipe pertamalah model lokasi usaha pabrik tepung kita ini. Merupakan cabang dari pabrik yang lebih besar di Pandaan, Jawa Timur. Di Pandaan merupakan pengolahan dari tepung menjadi sorbitol, salah satu bahan utama untuk pembuatan biskuit, permen, susu, vitamin C, bahkan pasta gigi. Hubungan Pandaan – Lampung ini semacam hulu – hilir, hanya saja kebun singkong belum dimiliki kita sendiri, namun merupakan kerja sama dengan pengumpul pengumpul besar yang tidak memiliki lahan, namun membawahi kelompok tani yang jumlahnya mencapai ratusan. Kita sebut mereka Plasma. Kita pinjami mereka biaya untuk menanam singkong, hasilnya dijual ke kita.
Hari pertama, bukannya kerja serius, gue malah disibukkan oleh telepon salah satu perusahaan multinasional berlokasi di Tangerang yang nawarin gue posisi bagus di perusahaan mereka :_P
Sore menjelang malam, sang GM sendiri yang menawarkan, gimana kalau selama di Lampung, gue tinggal di rumah dinas dia, yang masih ada 2 kamar kosong. Mubazir daripada tinggal di hotel. Sebenarnya gue agak sungkan tinggal di rumah bareng GM, namun lebih sungkan lagi untuk menolak. Tapi malam itu gue stay di hotel 1 malam, mengingat bookingan hotel untuk 2 minggu masak mau dibatalkan seluruhnya. Hotel Metro Pacific, ini juga bukan kali pertama gue menginap di hotel tidak berbintang tersebut. Di kota Metro, belum ada jaringan hotel reputable yang masuk ke sini. Dan si Dessy, receptionist mungil yang manis itu masih mengenal gue rupanya.
Malam itu, gue pulang dengan Pak Ismail (Senior Manager Finance & Accounting) dan diajak beliau makan di RM Subur. Gue pesan Gurameh Bakar dan sayur asem dengan tahu tempe. Pak Is juga pesan sayur asem dan tahu tempe. Gue pikir guremehnya bisa buat berdua, makanya gue OK aja ketika ditawarkan gurameh 8 ons. Ternyata Pak Is seorang vegetarian. Dan menurut ceritanya, sudah dia lakoni sejak tahun 1998. Sejak berhenti jadi external audit, sebab katanya, walaupun udah lama sebelum itu beliau berniat menjadi vegetarian, profesinya sebagai auditor ngga memungkinkan menjadi seorang vegetarian, sebab (he he) saban hari ada aja yang ‘entertain’. I couldn’t agree more sebab gue pun mengalami hal yang sama :_) Pak Is se-almamater dengan gue, sama sama ex-KPMG, tapi berbeda era. Ohya, gurameh, gue bukannya salah tulis atau sengaja tulis gurameh, memang menu-nya tertulis gurameh. Dan gue ketahui belakangan, hampir semua restoran lain menulis gurameh dalam menunya (gurame dengan ‘h’). Dan 8 ons man, gue habiskan sendiri! Gara gara Pak Is ngga ngomong sebelumnya kalau dia vegetarian. Gue juga baru tau sekarang, padahal 2 tahun yang lalu sudah mengenal beliau waktu tugas 2 minggu di Ponorogo.
Pagi hari kedua, sopir pak Min (GM) datang ke hotel dengan membawa mobil CRV seri terbaru, untuk menjemput gue. Agak ngga enakan juga sama si Dessy waktu mau check-out dan membatalkan bookingan selama 2 minggu. Sampai di rumah Pak Minarta, beliau sudah siap, sehingga kita langsung berangkat.
Disini, saking jauhnya pabrik (merangkap kantor juga), banyak karyawan yang ‘terpaksa’ menebeng mobil atasan untuk mencapai lokasi. Tercatat ada 5 mobil yang setiap pagi bisa ditebengi mereka, mobil Pak Min (CRV), Pak Is (Panther), Pak Manaf (Inova), Pak Willy dan Pak Supri (Xenia). Yang 2 terakhir ini tidak setiap hari tersedia, karena kadang Pak Willy nginap di site, dan Pak Supri sering langsung ke lokasi lahan, mencari singkong. Dan penumpang yang harus ‘diangkut’ adalah Eko, Waluyo, Inez dan Dian. Ngga banyak memang, tapi kalau ada satu hari dimana hanya ada 1 mobil yang berangkat, apalagi sedang banyak tamu seperti sekarang ini, maka penuh sesaklah 1 mobil. Pernah suatu ketika, Panther Pak Is isinya 9 orang. Sopir, Pak Is, Gue, Roy, Ardiansyah (tamu), Dian, Eko, Inez, dan Waluyo. Sampai terpaksa Pak Surip (sopir pak Min), yang hari itu sebenarnya sudah ikut, harus turun, ‘tukar tambah’ dengan Inez yang mau ngga mau harus berangkat kerja pada jam itu. Sementara Pak Surip harus cari tebengan lain yang mudah mudahan lebih siang nanti ada.
Hari kedua, seperti juga hari pertama, perusahaan multinasional di Tangerang itu menelepon lagi, kali ini langsung dengan Finance Directornya yang orang Belanda. Gue minta waktu 2 jam untuk menimbang tawaran dia yang sebenarnya gue anggap sudah cukup worthy untuk diambil, tapi diskusi dengan Natz dulu sebentar. Setelah makan siang, tepatnya jam 1.30, gue telepon balik ke sang FD langsung ke no ponselnya dan mengiyakan tawarannya.
Seperti juga hari pertama, siang itu makan siang di kantin pabrik yang menyediakan makanan yang sangat sederhana. Berupa rantangan yang berisi nasi putih, kerupuk, sambel dan 1 macam menu utama yang sangat sederhana. Gue bilang sangat sederhana karena, misalnya sop daging, isinya penuh dengan lemak dan tulang muda (sedikit sekali daging), atau sop ayam, isinya kepala dan leher, atau sebutir telur rebus dengan pecel sayur. Sangat sederhana bukan? Hanya hari tertentu yang cukup OK, misalnya gurameh (lagi lagi dengan ‘h’) kuah kari atau ayam goreng 1 potong (daging ayam, bukan kepala atau leher). Yang lumayan enak dari kantin ini adalah gorengannya, bakwan, tempe, tahu isi atau pisang goreng. Gurih dan murah banget. Bakwan yang sebesar jari tangan direntangkan itu harganya cuma Rp 500 per biji-nya. Bayangkan di Jakarta gorengan ukuran sepatu anak bayi aja ada yang jual Rp 2000 dapet 3. Apalagi pisang gorengnya, manis dan gurih banget. Tapi ya itu, gorengannya harus bayar sendiri dari kantong pribadi karyawan, belum termasuk paket yang dibayar perusahaan seharga Rp 5,750 per porsi. Biasanya gue nambah gorengan 3 biji, jadi Rp 3000 saja sudah bayarin porsi makan teman yang lain :_)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar