29 Juli 2008
‘LAMARAN’ KENI - YULI
Memang, siang itu, begitu sampai di rumah Yuli, suasana begitu formal. Ada MC segala (temen Kokonya Yuli – seorang pendeta). Ada kata sambutan segala, dari Keni & Yuli, dari Papa Keni, Papa Yuli. OMG, gue jadi terbengong bengong. Terlebih karena makanan sudah tersaji di depan mata (bika ambon dan bolu keju), tapi tidak ada yang mempersilahkan makan. Seolah daftar acaranya belum sampai ke acara makan. OMG sekali lagi, bukannya kue kue kecil lebih enak dinikmati sambil ngobrol santai. Jangan kan gue, belakangan ketahuan, Keni pun kaget dengan acara yang begitu formal. Duh !
Jangan bayangkan suasana hangat antara kedua keluarga. Suasana sedikit tegang. Apalagi dibawakan dengan cara formal. Acara hari itu, Papa Keni ‘diculik’ untuk ketemu calon besan dan diminta memberi restu yang sebenarnya kurang berkenan bagi sang Papa. Dari awal memang Papa Keni kurang setuju hubungan mereka, dikarenakan masalah keyakinan. Menurut gue sih, kurang sosialisasi aja. Yuli, walaupun Kristen taat, menurut gue tidak ada keinginan untuk meninggalkan budaya leluhur sebagai orang Chinese, hal yang paling ditakutkan Papa Keni. Seperti banyak pasangan yang gue tahu bubar gara gara dilema ini.
Namun acara boleh dibilang sukses. Papa Keni memberi sambutan yang sangat diplomatis. Ini, gue tau dari lubuk hatinya, karena beliau bukan orang yang pintar berpidato. Beliau hanya mengatakan, semua ini terserah Keni, sebagai orang tua tidak mungkin menghalangi. Hanya saja, Papa Keni ingin melihat anaknya lebih mapan dulu, baru berpikir menikah. Intinya dia tidak mengiyakan, juga tidak melarang. Tampaknya jawaban itu memuaskan seluruh keluarga. Tak satupun dari keluarga Keni, apalagi keluarga Yuli yang berkeberatan atas perikatan ini. Jawaban Papa Keni tadi, membuat seluruh sanak famili yang hadir bersuka cita. Termasuk gue dan Natz. Namun, dalam lubuk hati yang paling dalam, gue yakin, Keni dan Yuli menghendaki lebih dari ini.
Acara pemasangan kalung dari pihak keluarga Keni ke Yuli pun tampak kaku. Namun sebagai simbol perikatan dan pemberian restu, prosesi ini sangat penting bagi kedua calon mempelai.
Acarapun ditutup dengan makan siang (yang agak ketelatan). Selain kue, menu makan siang itu sangat menggoda. Ada pastel, mie goreng, ayam kecap, rujak pengantin dan sop bakso. (Duh, kok gue nelen air liur ya pas nulis ini :_P). Tak ketinggalan, andalan Mama-nya Yuli, Pempek Palembang. Keluarga Yuli, seperti halnya Natz, asalnya dari Palembang dan lama bermukim di Cibinong. Mama Yuli bahkan punya kedai Pempek di samping rumah. Sampai disini, kekakuan baru sedikit demi sedikit mencair. Apalagi Papa dan Mama Yuli sebenarnya orangnya luwes. Terutama Mama Yuli, paling demen ledek-in gue :_P
Hari Minggu kemaren (27 July 2008), gue dan Natz disibukkan oleh telepon bertubi tubi dari Keni – Yuli. Dua sejoli itu sedang berada di Jakarta Wedding Festival di JCC dan minta pendapat kita mengenai bermacam macam. Mulai dari Bridal dan Catering. Dan lucunya, pas di stand Ricky L, mereka tak segan segan nanya kita bonus apa yang ‘wajib’ diminta. Kita list down apa aja yang harus diminta, total lebih dari 10 item ‘bonus’, tanpa malu malu juga. Soalnya kita ngga tau, kalau ternyata speaker phone-nya ON, jadi semua permintaan kita langsung di dengar oleh pihak Ricky L. Malu deh. Tapi hebatnya, semua yang kita sarankan untuk diminta: dikasih ! Termasuk bunga rose (ini aja kita dulu ngga berhasil minta dari Siga), tambahan kanvas, jumlah pose didouble (total dapet tambahan 40 pose), dan lain lain. Panjang list-nya :_P
Mudah mudahan sukses meritnya. Terlebih lagi, mudah mudahan langgeng. Semoga ganjalan kecil di hati sang Papa, tidak menjadi sesuatu yang besar di masa mendatang. Terutama masa setelah janji nikah. Dan, sebagai sohib yang mencurahkan segala tenaga pas kita merit dulu, semoga gue dan Natz bisa melakukan hal yang sama, untuk teman kurus, item, jelek, bauk tapi baik hati ini.
Kalau gue look back at us. Beda sekali dengan yang terjadi dengan Keni. Papa baru benar benar bertemu Natz seminggu sebelum hari H. Acara lamaran (sangjit) pun 1 minggu sebelum hari H. Papa dan juga Mama, sangat percaya pada anaknya, dan memang didikan seperti itu yang diterapkan sejak kita masih kanak kanak.
PADANG – BUKITTINGGI, perjalanan yang tiada bosan bosannya
Hari ini akan indah ! Pengen ngelupain kekesalan karena semalam tiba di Padang kemalaman. Terlalu malam untuk Sunset Pantai Padang yang persis di belakang Pangeran Beach, tempat kita sekeluarga menginap. Hotel ini terlalu bagus untuk hanya menginap semalam. Harus diakui, one of the finest hotel di Padang. Dan kita beruntung bisa ada disini. Namun, karena terbatasnya waktu, sehabis early breakfast dan sedikit ciprat ciprat di kolam renangnya, kita harus melanjutkan perjalanan. Menuju Bukittinggi, after beberapa shoot di belakang hotel.
Untuk perjalanan kali ini, kita percayakan pada Ermi Tours Padang untuk menyediakan transportasi. Ada beberapa pertimbangan kita memilih Kijang Inova untuk perjalanan 4 hari 3 malam kali ini. Selain nyaman dan muatnya banyak (total kita berenam), terutama karena Natz sedang hamil 5 bulan. Kita percaya Kijang Inova pilihan terbaik dan teraman, terbukti sudah dalam perjalanan 2 jam Jakarta Bandung Juni yang lalu. Harga sewa yang ditawarkan Ermi Tours pun sangat kompetitif, Rp 475 ribu per hari termasuk sopir dan bensin.
Perjalanan menuju Bukittinggi dari Padang, ternyata sangat berbeda dengan perkiraan kita. Maklum perjalanan jauh terakhir di luar Jakarta, yaitu dari Medan menuju Danau Toba (Maret 2008), boleh dibilang tidak menyenangkan. Padang – Bukittinggi merupakan perjalanan yang sangat nyaman, dan tak ada henti hentinya decak kagum akan hal baru yang kita lihat. Jalan yang mulus, sopir yang santun dan minim getaran di dalam Inova, menikmati pemandangan semakin nyaman dan santai.
Berikut pemandangan yang berhasil di-capture oleh Olympus Mju840. Takjub dengan begitu banyaknya keindahan alam Sumatera Barat, didominasi bukit, air terjun dan danau.
Puncak Kiambang, pemandangan pegunungan Bukit Barisan.
Air terjun Lembah Anai.
Kampung Minangkabau, Pusat informasi Kebudayaan, untuk melihat Rumah Gadang yg masih terlestarikan dengan baik.
Tak ketinggalan, mampir untuk makan sate Mak Syukur yang termasyur itu.
Melanjutkan perjalanan ke Danau Maninjau
Lalu turun lagi ke Padang Panjang untuk menikmati Danau Singkarak (danau terbesar kedua di Indonesia, setelah Danau Toba)
Dari situ, langsung lanjut perjalanan 1.5 jam menuju Bukittinggi. Langsung mampir makan malam masakan khas Bukittinggi, nasi Kapau di Rumah Makan Uni Cah.
Tiba di Bukittinggi, langsung ke Jam Gadang, icon kota Bukittinggi yang terkenal itu.
Masih ada banyak yang ingin kita kunjungi di Bukittinggi ini, esok. Hari ini TIDAK melelahkan. Yang ada, KEPUASAN, begitu banyak yang didapat dalam 1 hari. Dan kekhawatiran gue (dan seisi mobil, termasuk si sopir), apakah ‘ibu hamil’ nya baik baik aja? “Ngga perlu khawatir, capek sih… tapi seneng…” kata Natz si ibu hamil 5 bulan. Gue sampai bawa bawa bangku kecil, in case Natz perlu duduk sebentar :_P
Esok, masih ada petualangan lain. Berkeliling kota Bukittinggi dengan Kijang Inova, antara lain ke Ngarai Sianok, Goa Jepang dan Benteng Ford de Cock. Tunggu petualangan kita ya !!
PS: tulisan ini masuk dalam 30 teratas dalam lomba menulis blog yang diselengarakan Toyota. Dan kita mendapat undangan makan sore/malam di OPASUKI resto, Kelapa Gading Mal 3 + sebuah boneka mobil Inova sbg souvenir. Juga sebuah tas laptop Yaris sebagai doorprize. Namun kita masih jauh dari hadiah utama,,, ternyata kita dipilih (30 besar) karena banyak foto foto menarik yang bisa mereka pajang sebagai slide-show pada saat acara.
28 Juli 2008
CHIA YU, taste that makes you flies
Kamis malam, 24 July 2008. Gue dan Natz bingung mau dinner dimana ya enaknya? Dekat rumah kita, ada sebuah restaurant Chinese & Seafood yang cukup oke. Namanya CHIA YU. Tapi, dikarenakan harganya yang agak premium, jadi tidak pernah kepikiran mau ke sana. Tapi malam itu, entah kenapa, kok pengen makan yang sedikit mewah, namun yang dekat rumah aja.
Ketika disodorkan menu oleh pelayannya, agak bingung juga kita mau pilih menu yang mana. Akhirnya, atas rekomendasi mbak-nya, kita pilih Tahu ala Chia Yu. Tahu utuh berbentuk kotak digoreng. Ditaburi jamur dan beralaskan Pocay. Disiram dengan saos tirem. Kedengarannya aja enak, apalagi pas tersaji di atas meja.
Menu kedua, kita pilih Ikan Kakap Asam Manis. Ini sebenarnya ngga ada di menu. Yang di menu tertulis Kakap Asam Pedas, tapi mbak yang melayani kita, lagi lagi memberi rekomen, “kakap asam manis lebih enak, Pak”. Maka itulah yang kita pesan. Ikan Kakap fillet, goreng garing, dengan siraman saos asam manis.
Untuk menu pembuka, gue pilih Sop jagung kepiting. Ini memang sop favorite gue.
In overall, ketiga menu yang kita pesan sangat memuaskan. Sopnya jagoan. Namun harus dihabiskan panas panas. Kalau agak dingin, jadi encer dan berkurang mantapnya. Tahu-nya juga mantap, jamurnya enak, siraman saos tiramnya meresap. Dan yang paling jagoan memang Kakap Asam Manisnya. Ikannya fresh, gurih dan renyah. Kresh di mulut :_P
Kalau boleh dibandingkan dengan resto sejenis di bilangan Cengkareng/Kalideres, ini memang yang paling jagoan. Jadi kalau kebetulan main ke dareah Cengkareng/Kalideres, jangan lupa mampir ke CHIA YU Chinese & Seafood, di jalan Peta Selatan, persis di depan perumahan Citra Garden II. Soal harga, walaupun mahal, tetep sebanding dengan rasa yang membuat-mu melayang :_)
Ini dia KURING beneran !!
Ada 2 tempat kuring yang menurut kita enak banget. 1) Lembur Kuring dekat Bandara Soekarno – Hatta dan 2) Pondok Laguna di bilangan Pecenongan, Jakarta Pusat.
Jumat malam, sehabis pulang dari Lampung dan baru sampai bandara, langsung diajak Natz makan ke Lembur Kuring. Malam itu karena kenyang, hanya makan Gurame Goreng Garing dengan sambel cobek. Memang TOP gurame-nya, garing dan kering. Sambelnya pun mantap.
Esoknya, Sabtu, kebetulan Natz masuk kantor (daerah Pecenongan). Maka, siangnya, lagi lagi dia ngajak makan kuring, Pondok Laguna. Disana, karena hanya berdua, pesanan kita pun ngga banyak, hanya Gurame goreng garing dan Tahu Kipas plus kelapa muda. Gurame-nya bahkan lebih mantab dari Lembur Kuring. Dan Tahu kipasnya… duh, ngga ada saingannya deh se-antero jagad. Udang-nya besar besar dan gurih banget. Cocol sambel cobek dengan kecap manis, lupa deh segala permasalahan duniawi :_P
Itu kejadian 2 minggu lalu. Sabtu yang baru lalu, pas Mama datang dari Bangka, kebetulan Natz juga ngantor. Maka, sekalian menjemput Natz, kita sekeluarga, Mama, Khioko, Ci Betsy dan James, Cece, dan gue pergi (sekali lagi) ke Pondok Laguna. Karena orangnya lebih banyak, bisa pesan agak banyakan. Kali ini tambah Kerang Putih masak kuah, kangkung dan karedok. Tentunya porsi tahu kipasnya double.
Memang harga makanan di Pondok Laguna maupun Lembur Kuring tidak murah, terutama Pondok Laguna, tapi tingkat kepuasannya jauh. Jauh melebihi Bumbu Desa yang juga ngga murah. Buat apa bayar mahal untuk sesuatu yang ngga enak? Untuk Lembur Kuring dan Pondok Laguna, sangat rela keluar sedikit lebih banyak :_)
25 Juli 2008
It’s A BEAUTIFUL BABY GIRL !! :_)
Gue dan Natz tak bisa menyembunyikan kebahagiaan ketika melangkah keluar dari ruangan USG 3D4D pagi ini di RSIA Hermina Daan Mogot. Seorang bayi perempuan mungil yang sempurna di dalam kandungan Natz. Semuanya Normal, itu bahasa medisnya. Bagi kita, bahasa ayah-ibu nya Normal adalah SEMPURNA. Seorang bayi yang sempurna !!
Mulai dari ukuran kepala yang normal, perut, panjang lengan, panjang kaki, jantung, lambung, kantong kencing, denyut jantung dan nadi, semuanya Normal. Tidak ada gejala hydrocephalus, bibir tidak sumbing, jari tangan dan kaki-pun lengkap. Wajahnya pun cakep sekali, dengan dagu yang sedikit lancip. Kebayang sudah betapa cantiknya dia bila tumbuh besar nanti, dan betapa kewalahannya papa mama-nya menjaga dia dari laki laki yang coba mendekati dia :_)
22 minggu 5 hari sudah anakku di dalam rahim ibunya. Semua parameter medis juga menunjukkan umur yang kurang lebih sama. Beratnya sekarang 488g. Dan perkiraan lahirnya adalah 23 – 25 November 2008. Di antara ultah Papa dan Mama-nya.
Dia memang penuh surprise dengan membalikkan semua prakiraan yang ada. Dari bentuk perut Natz yang condong ke depan, semua mengatakan ia seorang bayi laki laki. Dari itung itungan penanggalan China yang kita yakini sangat akurat pun salah :_P Bukannya kita percaya ramalan, soalnya itung itungan itu terbukti benar, dari semua anak Mama (Khioko, Cece, gue dan Deddy). Juga terbukti benar untuk James dan Vigo, kedua ponakan kita. Mungkin hanya kebetulan saja. Hanya satu yang menunjukkan kemungkinan dia bayi perempuan, Mama-nya makin cantik dan penampilannya pun lebih cute :_P
Nak, teruslah memberi surprise surprise bahagia untuk mewarnai perjalanan hidup Papa Mama-mu. Dan semoga Papa Mama-mu bisa memberimu kebahagiaan yang setara dengan yang kamu berikan. We love you, our baby girl !!
Sekarang, tinggal nyari nama yang paling manis dan terdengar indah untuk dirimu. Dear friends, ada yang punya ide …? :_)
23 Juli 2008
Menang Mobil Kijang Inova !!
Dari 2 June 2008 sampai 31 July 2008, Toyota Astra Motor, selaku produsen mobil Toyota Kijang, menggelar sebuah lomba nge-blog dengan tema “Liburan Bersama Kijang”. Any kind of Kijang. Dan hadiah utamanya, Liburan ke Disneyland Hongkong untuk ber-4, semua biaya akomodasi ditanggung pihak Toyota !! WOW !!
Sebagai pemilik mobil Kijang Inova (dan pemilik blog), gue merasa wajib ikut lomba ini. Awalnya agak ogah sih, takut kehidupan pribadi di blog jadi terekspos ke luar :_P (Apa coba…?). Tapi abis perjalanan dari Bandung Juni lalu, bener bener gue merasa harus ikut. Trip dengan Kijang Inova yang mengangkut seluruh anggota keluarga Natz itu, cukup menyenangkan, dan perjalanannya pun sangat nyaman.
Alhasil, blog sangat sederhana berjudul Bandung 14 – 15 Juni 2008 itu-pun gue posting ke situs Toyota owner club. Dan ngga berapa lama, pas gue cek ke situs itu lagi, ada berita gembira tak terduga :_) Postingan gue menjadi salah satu dari 4 pemenang mingguan. Hadiahnya pun OK, 1 unit mobil Kijang Inova, ups, miniatur mobil Kijang Inova, maksud gue. Dari empat pemenang itu, 2 mendapat miniatur dan 2 yang lain mendapat buku 30 Tahun Toyota Kijang. Miniatur Kijang Inova yang gue dapet gue taksir harganya berkisar Rp 300 – 500 ribu. Malah, jangan jangan ngga dijual di pasaran, karena ada tulisan ‘Toyota Kijang Limited Edition 1 of 1000 unit’
Terimakasih untuk pihak Toyota yang sudah menyelenggarakan lomba ini. Lomba yang akan ditutup 31 July 2008 nanti, berhadiah utama liburan ke Disneyland Hongkong untuk 4 orang. Full akomodasi ditanggung. Semoga gue yang menang :_P Ngareppp… Paling ngga, 1 dari 3 buah HP Nokia N95 bisa jadi milik gue :_P
22 Juli 2008
My Last Assignment, Perjalanan Menuju Site yang Terpencil itu
This could be my last assignment under the company that I currently work with; ada semacam perasaan sentimentil, mungkin akan gue tulis sedikit lebih detail. Akan gue buat sequence supaya ngga kepanjangan, gue usahakan bisa dibaca secara lepas tanpa harus membaca keseluruhan. Gue posting mulai yang paling bawah duluan supaya enak dibaca dari depan :_)
Jam 7 pagi Senen, 7 July 2008. Sepagi itu gue udah sampai di bandara untuk penerbangan pk. 8.45 (+ delay). Untungnya di Terminal 1 B tempat gue menunggu, ada Eljohn executive lounge di mana gue bisa bersantai sambil menunggu pesawat. Lampung, ke mana pagi itu gue akan menuju, hanya ada 1 penerbangan yang pasti, yaitu Sriwijaya Air. Merpati kadang terbang kadang ngga. Sedangkan Garuda tidak melirik rute ini sama sekali. Mungkin sebagian orang memilih jalur darat untuk menyeberang ke Lampung, dari Jakarta ke Merak (Banten) lalu Bakaheuni, hanya sekitar 4 – 5 jam. Gue pernah, makanya gue tau kalau perjalanannya cukup menyenangkan. Apalagi ketika di atas kapal feri, full music, tapi musik dangdut :_)
Di Eljohn, gue masuk pakai GE Gold, dan kebetulan di depan gue ada 3 orang, 2 bapak bapak dan 1 ibu yang hanya punya 2 pass untuk masuk ke sana. “Pake punya saya aja Pak” gue tawarin, karena kebetulan gue punya kartu kredit Mega Translusion yang juga bisa menjadi pass masuk. Sang bapak yang menunggu pesawat ke Pekanbaru itu langsung menjabat tangan gue dengan gembira.
Walaupun sedang libur sekolah, tidak banyak terlihat leisure traveler pagi itu. Sebagian besar penumpangnya kayak gue, rapi dengan kemeja dan menenteng laptop. Juga terlihat beberapa pekerja bule. Dalam beberapa tahun terakhir ini, Lampung mulai dilirik sebagai tujuan berinvestasi, pemodal lokal maupun asing. Bos gue salah satu-nya. Dan ngga tanggung tanggung, pemilihan lokasinya di Lampung Timur, yang masih sekitar 200 KM dari bandara Reden Inten di Tanjung Karang. Berlawanan arah dari tujuan gue, adalah kota Bandar Lampung, yang bisa ditempuh dengan waktu 45 menit.
Sekitar jam 9 pesawatnya baru berangkat dan sampai di sana tak lebih dari 30 menit saja. Belum sempat duduk tenang, sudah mendarat, syukurlah. Begitu sampai disana, suasana pelosok sudah terasa. Kira kira mirip bandara Pangkal Pinang di Bangka atau Adi Sumarmo di Solo. Kecil sekali. Line pengambilan bagasinya pun hanya satu dan berujung, sehingga kalau bagasi anda terlambat diambil, akan menumpuk di ujung line yang panjangnya hanya sekitar 3 meter itu.
Sudah menunggu di luar, sopir dari kantor yang akan gue kunjungi, Pak Jun nama sopirnya. Umurnya sudah 30an tapi belum berencana menikah. Setelah menempuh perjalanan kira kira 1 jam, sampailah kita di kota Metro. Disanalah tempat gue menginap, walaupun masih 50 KM jaraknya dari site, merupakan kota diantara desa desa di sekitarnya. Mirip kota Madiun di Jawa Timur, rumah rumah besar dengan pekarangan yang luas, dipenuhi tanaman yang sedikit kurang rapi merupakan pemandangan sepanjang kota ini. Gapura dengan bentuk khas kota Lampung ada di mana mana, juga patung patung gajah yang sedang bermain sepakbola. Gajah memang icon kota Lampung. Disini gue singgah sebentar di hotel untuk meletakkan koper dll.
Di kota Metro ini gue minta dimampirkan ke ATM BCA untuk mengisi dompet yang isinya tinggal beberapa puluh ribu. Gue harus prepare agak banyak uang tunai, karena di Lampung Timur ini, hampir bisa dipastikan kartu kredit tidak berlaku alias barang mati. Makanya, selain kartu kredit yang bisa dipakai untuk executive lounge, yang lainnya gue tinggal di rumah. Di antrian ATM, tepat di depan gue, ada seorang bapak tua yang hendak menarik tunai tapi ngga tau caranya, keliatannya baru pertama kali. 2 orang dara muda di depannya dengan simpatik membantu mengambilkan. Kaget juga gue ketika melihat pak tua itu memencet no pin, gue kira dia main main, tapi ternyata ngga tuh, uang 150,000 yang dia mau ambil buktinya bisa keluar. 999999 no pin-nya. Gue ngga kuasa untuk ngga meminta kepada si bapak, untuk kalau bisa, PINnya diganti saja. Kedua dara yang membantunya juga setuju, mereka iba juga dengan si bapak yang sudah agak bongkok itu.
Ohya, waktu menunggu Pak Jun membayar listrik di PLN (sekalian karena jarak pabrik cukup jauh), gue sempet motret becak Lampung yang menurut gue agak aneh. Sadel tempat duduk si abang sedikit lebih tinggi dari becak becak di Jakarta. Ada yang pernah kasih tau gue, kalau itu untuk mengantisipasi kontur jalanan di Lampung yang banyak tanjakannya. Iya, itu berlaku untuk kota Bandar Lampung. Namun di Lampung Timur, jalananya cukup rata tanpa banyak tanjakan yang berarti. Entahlah.
Perjalanan sekitar 1 jam lagi dari kota Metro untuk sampai ke pabrik kita di Desa Tambah Subur, Kecamatan Way Bungur, kota terdekat namanya Sukadana, namun tidak kelihatan seperti kota. Lebih mirip Parit 18, tempat singgah perjalanan dari bandara Pangkal Pinang ke dusun kelahiran gue, Belinyu, di Pulau Bangka sana. Hanya saja, jalannya sedikit lebih lebar dan lebih mulus. Sepanjang perjalanan, yang ada hanya hamparan hijau kebun singkong dan kebun jagung di lahan yang lebih mirip sawah itu. Di musim hujan, lahan tersebut memang sawah, hanya saja di musim kemarau seperti sekarang ini disulap menjadi kebun singkong atau jagung yang berumur lebih pendek.
Dari desa Sukadana yang jalannya mulus, belok ke sebuah jalan sempit, yang baru tahun ini diaspal, sebelumnya masih jalan berbatu. Itupun batunya dari kita, sebelumnya hanya tanah kuning. Di ujung jalan itu, disitulah pabrik kita berdiri. Yup, diujung jalan, sebab extension jalannya kita yang bangun.
My Last Assignment, Site yang Terpencil itu
Butuh sekitar 2 jam dari bandara Raden Inten, Tanjung Karang (Lampung) menuju site yang berlokasi di Desa Tambah Subur, Kec. Way Bungur, Lampung Timur. Sesampainya gue di site, semua petinggi langsung sibuk, bak menyambut tamu agung dari kantor pusat :_P They quite surprise waktu gue bilang ini kali keempat disana. Mereka pikir gue baru pertama kali. Jauh sebelum mereka menjabat disana, bahkan ketika pabrik dan fasilitas lainnya baru mulai dibangun tahun 2006, gue ini sudah pernah datang meninjau. Kali ke dua bersama Roy dan Darwin, waktu itu mengaudit biaya proyek, waktu itu bawa mobil, dengan sopir tentunya – Pak Masyuni, dari situlah gue tau musik dangdut di atas feri. Karena bawa mobil kita ngga sia sia kan untuk borong seabrek duren dan petai. He he bau’ bau’ deh tuh mobil (mobil kantor sih). Kali ketiga, bersama Darwin waktu mengaudit early operation. Kali ini audit full operation. Hanya si Samsul yang gue kenal dari pertama kali datang ke sini, orang kecil yang makannya banyak ini, setiap kali gue dateng, dialah yang nemenin meninjau kebun singkong.
Site yang sangat pelosok ini adalah sebuah fasilitas penghasil tepung dari bahan baku singkong segar. Seperti yang kita pelajari di Ekonomi Makro di kuliahan dulu, ada 4 tipe lokasi usaha, 1) dekat dengan bahan baku 2) dekat tenaga kerja 3) dekat pasar (market/customer) dan 4) dekat pengiriman (pelabuhan). Tipe pertamalah model lokasi usaha pabrik tepung kita ini. Merupakan cabang dari pabrik yang lebih besar di Pandaan, Jawa Timur. Di Pandaan merupakan pengolahan dari tepung menjadi sorbitol, salah satu bahan utama untuk pembuatan biskuit, permen, susu, vitamin C, bahkan pasta gigi. Hubungan Pandaan – Lampung ini semacam hulu – hilir, hanya saja kebun singkong belum dimiliki kita sendiri, namun merupakan kerja sama dengan pengumpul pengumpul besar yang tidak memiliki lahan, namun membawahi kelompok tani yang jumlahnya mencapai ratusan. Kita sebut mereka Plasma. Kita pinjami mereka biaya untuk menanam singkong, hasilnya dijual ke kita.
Hari pertama, bukannya kerja serius, gue malah disibukkan oleh telepon salah satu perusahaan multinasional berlokasi di Tangerang yang nawarin gue posisi bagus di perusahaan mereka :_P
Sore menjelang malam, sang GM sendiri yang menawarkan, gimana kalau selama di Lampung, gue tinggal di rumah dinas dia, yang masih ada 2 kamar kosong. Mubazir daripada tinggal di hotel. Sebenarnya gue agak sungkan tinggal di rumah bareng GM, namun lebih sungkan lagi untuk menolak. Tapi malam itu gue stay di hotel 1 malam, mengingat bookingan hotel untuk 2 minggu masak mau dibatalkan seluruhnya. Hotel Metro Pacific, ini juga bukan kali pertama gue menginap di hotel tidak berbintang tersebut. Di kota Metro, belum ada jaringan hotel reputable yang masuk ke sini. Dan si Dessy, receptionist mungil yang manis itu masih mengenal gue rupanya.
Malam itu, gue pulang dengan Pak Ismail (Senior Manager Finance & Accounting) dan diajak beliau makan di RM Subur. Gue pesan Gurameh Bakar dan sayur asem dengan tahu tempe. Pak Is juga pesan sayur asem dan tahu tempe. Gue pikir guremehnya bisa buat berdua, makanya gue OK aja ketika ditawarkan gurameh 8 ons. Ternyata Pak Is seorang vegetarian. Dan menurut ceritanya, sudah dia lakoni sejak tahun 1998. Sejak berhenti jadi external audit, sebab katanya, walaupun udah lama sebelum itu beliau berniat menjadi vegetarian, profesinya sebagai auditor ngga memungkinkan menjadi seorang vegetarian, sebab (he he) saban hari ada aja yang ‘entertain’. I couldn’t agree more sebab gue pun mengalami hal yang sama :_) Pak Is se-almamater dengan gue, sama sama ex-KPMG, tapi berbeda era. Ohya, gurameh, gue bukannya salah tulis atau sengaja tulis gurameh, memang menu-nya tertulis gurameh. Dan gue ketahui belakangan, hampir semua restoran lain menulis gurameh dalam menunya (gurame dengan ‘h’). Dan 8 ons man, gue habiskan sendiri! Gara gara Pak Is ngga ngomong sebelumnya kalau dia vegetarian. Gue juga baru tau sekarang, padahal 2 tahun yang lalu sudah mengenal beliau waktu tugas 2 minggu di Ponorogo.
Pagi hari kedua, sopir pak Min (GM) datang ke hotel dengan membawa mobil CRV seri terbaru, untuk menjemput gue. Agak ngga enakan juga sama si Dessy waktu mau check-out dan membatalkan bookingan selama 2 minggu. Sampai di rumah Pak Minarta, beliau sudah siap, sehingga kita langsung berangkat.
Disini, saking jauhnya pabrik (merangkap kantor juga), banyak karyawan yang ‘terpaksa’ menebeng mobil atasan untuk mencapai lokasi. Tercatat ada 5 mobil yang setiap pagi bisa ditebengi mereka, mobil Pak Min (CRV), Pak Is (Panther), Pak Manaf (Inova), Pak Willy dan Pak Supri (Xenia). Yang 2 terakhir ini tidak setiap hari tersedia, karena kadang Pak Willy nginap di site, dan Pak Supri sering langsung ke lokasi lahan, mencari singkong. Dan penumpang yang harus ‘diangkut’ adalah Eko, Waluyo, Inez dan Dian. Ngga banyak memang, tapi kalau ada satu hari dimana hanya ada 1 mobil yang berangkat, apalagi sedang banyak tamu seperti sekarang ini, maka penuh sesaklah 1 mobil. Pernah suatu ketika, Panther Pak Is isinya 9 orang. Sopir, Pak Is, Gue, Roy, Ardiansyah (tamu), Dian, Eko, Inez, dan Waluyo. Sampai terpaksa Pak Surip (sopir pak Min), yang hari itu sebenarnya sudah ikut, harus turun, ‘tukar tambah’ dengan Inez yang mau ngga mau harus berangkat kerja pada jam itu. Sementara Pak Surip harus cari tebengan lain yang mudah mudahan lebih siang nanti ada.
Hari kedua, seperti juga hari pertama, perusahaan multinasional di Tangerang itu menelepon lagi, kali ini langsung dengan Finance Directornya yang orang Belanda. Gue minta waktu 2 jam untuk menimbang tawaran dia yang sebenarnya gue anggap sudah cukup worthy untuk diambil, tapi diskusi dengan Natz dulu sebentar. Setelah makan siang, tepatnya jam 1.30, gue telepon balik ke sang FD langsung ke no ponselnya dan mengiyakan tawarannya.
Seperti juga hari pertama, siang itu makan siang di kantin pabrik yang menyediakan makanan yang sangat sederhana. Berupa rantangan yang berisi nasi putih, kerupuk, sambel dan 1 macam menu utama yang sangat sederhana. Gue bilang sangat sederhana karena, misalnya sop daging, isinya penuh dengan lemak dan tulang muda (sedikit sekali daging), atau sop ayam, isinya kepala dan leher, atau sebutir telur rebus dengan pecel sayur. Sangat sederhana bukan? Hanya hari tertentu yang cukup OK, misalnya gurameh (lagi lagi dengan ‘h’) kuah kari atau ayam goreng 1 potong (daging ayam, bukan kepala atau leher). Yang lumayan enak dari kantin ini adalah gorengannya, bakwan, tempe, tahu isi atau pisang goreng. Gurih dan murah banget. Bakwan yang sebesar jari tangan direntangkan itu harganya cuma Rp 500 per biji-nya. Bayangkan di Jakarta gorengan ukuran sepatu anak bayi aja ada yang jual Rp 2000 dapet 3. Apalagi pisang gorengnya, manis dan gurih banget. Tapi ya itu, gorengannya harus bayar sendiri dari kantong pribadi karyawan, belum termasuk paket yang dibayar perusahaan seharga Rp 5,750 per porsi. Biasanya gue nambah gorengan 3 biji, jadi Rp 3000 saja sudah bayarin porsi makan teman yang lain :_)
My Last Assignment, Ranah Jawa di Tanah Orang Melayu
Malam kedua assignment di Lampung Timur, gue diajak Pak Min makan di Rumah Makan Suroboyo. Merupakan rumah makan masakan Jawa Timur, sesuai namanya. Gue pesen nasi pecel + rawon, pak Min nasi pecel + ayam goreng. Disini bisa dijumpai masakan rujak soto, makanan khas Banyuwangi, yang di Surabaya sendiri, ngga mudah dijumpai.
Jangan heran kalau rumah makan bernuansa Jawa, terutama Jawa Timur, menjamur di kabupaten Lampung Timur ini. Mungkin bisa dikatakan, ngga ada propinsi lain di Indonesia yang memiliki orang Jawa sebanyak di Lampung, kecuali, ya di P. Jawa sendiri tentunya. Masuk akal sekali, sebab, pulau Sumatera memang pulau besar yang terdekat dengan pulau Jawa. Dan gerbang ke P Sumatera adalah Lampung (yang ujungnya – Bakaheuni dengan ujung barat Jawa – Merak, hanya berjarak sekitar 2 jam perjalanan kapal feri). Hal lain, adalah ketika jaman kolonial Belanda, dari mana kompeni kompeni itu memperoleh tenaga kerja yang mau bekerja keras, murah dan mudah dipindahkan (dekat), kalau bukan dari P Jawa? Masuk akal sekali. Apalagi jamannya program transmigrasi ala Soeharto, Lampung (terutama pelosok seperti Lampung Timur), merupakan salah satu target utama ‘pemerataan’ penduduk.
Sehingga, sangat masuk akal, bila sangat mudah dijumpai desa desa dengan nama bernuansa Jawa. Bahkan diambil langsung dari desa asal muasal mereka di tanah Jawa, semisal, Bantul, Purbolinggo, Sidodadi, Pekalongan, Adirejo, Purwosari, Purworejo dan sejenisnya. Jangan heran pula kalau penduduk sini sangat fasih berbahasa Jawa. Namun ketika ditanya asalnya darimana, sebagian besar dari mereka akan menjawab, asli Lampung. Ketika ditanya lebih lanjut, baru ketahuan, orang tua dari orang tua dari orang tua mereka, aslinya Kediri atau Jogja atau Pekalongan. Seperti Pak Jun sopir gue di hari pertama, orangtuanya asli orang Jogja, namun sudah kelahiran Lampung, berarti dia sudah generasi kedua yang lahir disini. Tapi, muka, perawakan, tingkah laku dan tutur katanya, persis orang Jawa. Maka, ketika Pak Is yang asli Surabaya dan Pak Min yang asli Bali tapi lama di Surabaya ditanya, apakah kerasan tinggal di Lampung, jawabannya sama. Tidak terasa suasana tinggal di negeri asing ketika mereka pertama menginjak bumi Lampung. Berbeda bila ditempatkan di Medan atau Kalimantan, di Lampung, suasananya tidak berbeda dengan kampung halaman mereka, tanah Jawa. Apalagi Pak Is pernah lama di Ponorogo, yang menurut gue mirip sekali feel-nya dengan kota Metro. Gue merasakan sendiri karena pernah 2 minggu penuh di Ponorogo. Bedanya di Metro hanya lebih baik sedikit, karena ada makanan seafood, sementara di Ponorogo hampir mustahil.
Perasaan lucu muncul ketika melihat peta seperti di bawah ini. Ini bukan di Peta pulau Jawa lho, tapi pulau Sumatera, tepatnya Lampung, Lampung Timur.
My Last Assignment, the Place I stayed, the Food I ate
Rumah dinas Pak Min cukup besar. Ada 3 kamar tidur, kamar tidur utamanya ada kamar mandi di dalam. Tiap kamar dilengkapi AC, sehingga cukup nyaman bagi tamu. 2 kamar kosong disiapkan untuk gue dan Roy, yang akan bergabung dengan gue di minggu kedua. Luas tanahnya kira kira 15m X 20m, luas bangunan berlantai satu, mungkin 10m X 15m. Setahun sewanya Rp 15 juta, tanpa perabot (isi sendiri). Coba kalau ditaroh di Jakarta, sewanya paling sedikit Rp 25 juta setahun. Ada fasilitas Speedy dari telkomnet yang bisa dipakai. Akses internet langganan itu dipasang oleh Pak Min, sebagai penghubungnya dengan dunia luar, istri dan anak anaknya. Memang setiap hari bisa telepon (walaupun jaringannya sangat susah), tapi dengan e-mail lebih asyik bertukar cerita, bahkan foto untuk mengobati rasa kangen. Speedy itu juga yang menyelamatkan gue dari terisolasi dengan dunia luar. Gue bisa cek e-mail, googling, buka friendster dan tulis blog.
Mengenai jaringan telepon yang kerap kali sibuk ini, membuat gue dan Natz kebanyakan komunikasi lewat SMS saja. Calon kantor baru gue pun sampai telepon ke Hotel Metro Pacific, malam pertama gue di Lampung, karena tidak bisa menelepon ke HP gue. Repotnya, hotel itu ngga punya line telepon di dalam kamar, sehingga gue harus keluar dan menerima telepon di receptionist. Dan ketika sang FD telepon gue hari kedua, bukannya telepon ke HP gue, melainkan telepon ke nomor Ceria kantor yang gue inform ke HRD lewat SMS, mengantisipasi telepon gue tidak bisa diakses.
Malam ketiga dan keempat, gue makan di Rumah Makan Hj Sri MR. Malam pertama gue jalan kaki ke sana, restorannya persis di muka hotel Metro Pacific. Sate Goreng (terbuat dari Kambing) yang gue pesan kurang memuaskan. Walaupun sudah gue tambah kuah gulai, tetep aja kurang sedap. Malam kedua, gue titip si Roni yang beli, titipnya nasi goreng dan soto daging, dibelikan nasi goreng dan sop daging lengkap dengan nasi untuk sop. Nah lho, Ron, iki nasinya buat apa, kan udah ada nasi goreng? Ya sudahlah. Rumah Makan di kota Metro, pernah dikunjungi beberapa artis, walaupun ngga bisa disebut banyak atau sering, tapi adalah. Mereka sangat bangga sekali bila didatangi artis. Pemiliknya pasti ngga melepas kesempatan untuk berfoto bersama sang artis dan memajang besar besar foto dan tandatangan sang artis. Contohnya Rumah Makan Hj Sri MR ini, tak kurang dari foto Inul Daratista, Grace Simon dan group musik Steven and the Coconut Tree dipajang dengan bingkai yang cukup besar.
Di RM SABAR, ada foto beberapa penyanyi dangdut yang gue ngga kenal (ternyata gue ngga se‘dangdut’ perkiraan gue ya :_P). Cuma foto Mas Polo (pelawak yang terjerat kasus Narkoba) yang berhasil gue kenali. Lain lagi Di RM AGAM, nuansanya lebih berbau politis. Di rumah makan yang menjagokan Pindang Baung itu, terpampang foto Jenderal, Tokoh Partai Politik dan Ulama, sedikit yang berhasil gue kenali diantaranya A’a Gym dan Wiranto. Di dekat pintu rumah makan ini juga lengkap tertempel semua calon Gubernur Lampung, mirip ajang kampanye. Maklumlah, banyak orang tamu penting dan pejabat setempat yang makan di tempat itu.
My Last Assignment, Executive Lounge Bandara Lampung
Hari kelima assignment di Lampung, Jumat, merupakan hari yang gue nanti nanti. Di sela 2 minggu masa tugas gue, gue boleh mengambil waktu Sabtu Minggu untuk pulang. Ini gue manfaatkan betul. Sekitar jam 15.30 sore, gue mulai perjalanan menuju bandara. Dengan asumsi perjalanan satu setengah jam, Pak Jun ngga perlu mengebut untuk mengejar penerbangan pk. 18.15. Butuh sekitar 2 jam perjalanan dari site kita di Lampung Timur menuju Bandara yang letaknya di Tanjung Karang.
Beberapa menit sebelum jam 5 sore, sudah sampai di bandara Radin Inten, gue langsung cek in di counter Sriwijaya. Counter lainnya adalah Merpati, Riau Air dan AdamAir. Yang terakhir ini sudah ngga ada yang jaga menyusul ditutupnya perusahaan penerbangan yang banyak dirudung kecelakaan pesawat tersebut. Bayar airport tax hanya Rp 8,000 + sumbangan antah berantah Rp 2,000. Di pojok ruang tunggu yang penuh dengan bangku sambung itu ada sebuah executive lounge juga. Juli tahun lalu ketika visit Lampung sama Darwin, tempat ini masih sedang renovasi sehingga masih tutup. Tahun ini sudah buka, namun belum ada kerjasama dengan penerbit kartu kredit. “Sementara kita masih pake cash, pak, 35,000” kata si mbak penjaga ramah. Gue pun bayar, nanti charge ke kantor, pikir gue.
Sanjaya Executive lounge, kecil tapi ada fasilitas wifi, namun sayang masih belum gratis alias harus beli voucher, Rp 50,000, gue lupa nanya untuk berapa jam. I supposed minimal bisa 4 jam, sebab di Tretes saja Rp 25,000 bisa untuk 2 jam. Sebenarnya ini wifi bandara untuk keperluan manajemen bandara, kemudian dikomersialkan. Selain gue, ada 2 orang lagi yang buka laptop. Ngga tau deh mereka wifi-an apa ngga. Yang jelas sih gue ngga, cuma denger lagu sambil nulis nulis aja :_)
Makanan di lounge ini cukup bervariasi, mulai bubur kacang hijau, mie goreng, roti (ada toaster), kue kecil macam pastel, risol dan bolu, sampai cemilam cemilan kecil, kacang keripik pisang (khas Lampung), dan keripik singkong balado. Gue cobain semua :_P
Pesawat yang direncanakan pk. 18.15, baru mendarat dari Jakarta pk. 18.30. Boarding baru pk. 7.00. Untung penerbangan hanya setengah jam, jadinya ngga terlalu BT, dan untung lounge-nya udah dibuka kembali. Sampai Jakarta 7.30 langsung melenggang keluar tanpa bagasi :_) Dan sudah menunggu si Natz diluar sana, yang sebenarnya kepingin masuk untuk settle pembayaran voucher menginap di Pangeran Beach (Padang, 30 July nanti) ke counter KAHA Tour di dalam Terminal kedatangan 2 B itu. Karena ngga bisa masuk, akhirnya gue yang melakukan pembayaran dan ngambil vouchernya. Malamnya kita langsung menuju Lembur Kuring (dekat bandara) untuk makan malam Gurame (tanpa ‘h’) goreng garing :_)
Sabtu Minggu di Jakarta harus gue manfaatkan bener, karena Senin pagi sudah harus berangkat lagi menunaikan pekerjaan yang belum tuntas di Lampung.
My Last Assignment, Sehari Bersama Petani, Kapan Lagi?
Moment like this will be the moment that I miss the most about this company.
Minggu kedua assignment di Lampung. Setelah Sabtu Minggu ‘istirahat’ di rumah, hari ini harus kembali ke Lampung meneruskan pekerjaan yang belum tuntas. Untung kali ini datang bersama Roy. Juga karena udah settle deal dengan calon perusahaan baru, maka minggu ini bisa bekerja lebih fokus dan efektif.
Dalam perjalanan ke site terjadi pembahasan seru, mengapa gue harus pindah. Roy yang baru saja diangkat manager QA itu, akhirnya bisa menerima. Dia sendiri setuju, tawaran dari perusahaan di Tangerang itu, worthed untuk diambil, sangat worthed malah.
Sampai site, semua pekerjaan lancar dan bisa tepat schedule. Sehingga, seperti sudah dijadwalkan, gue dan Roy akan diajak berkeliling ke lahan singkong di bawah naungan plasma kita, untuk verifikasi status singkong. Ratusan petani di bawah naungan plasma ini menerima pinjaman dana untuk bercocok tanam singkong selama 1 musim tanam (sekitar 8 – 10 bulan). Pengerjaan lahan, penanaman bibit, pemupukan, penyiangan, sampai kegiatan panen, diawasi langsung oleh 4 root coordinator perusahaan.
Maka, Kamis pagi itu, pagi pagi sampai di site, kita langsung berangkat lagi. Menggunakan mobil Panther yang memang sangat cocok untuk masuk ke medan medan sulit. Salah satu root coordinator, Sigit, yang menyetir. Satu lagi, Anwar, pake sepeda motor, mengantisipasi ada lahan yang tidak dapat kita masuki dengan mobil, bisa disambung dengan bonceng sepeda motor.
Lahan pertama yang kita verifikasi adalah lahan yang dikoordinasi Pak Dirman, berlokasi di Sukadana. Pak Dirman, bersama puluhan pemilik lahan lainnya, tergabung dalam kelompok tani (koptan) Sukadana, yang dibentuk oleh Dinas Pertanian Pemda setempat. Sehari sebelumnya Pak Supri (Kepala Pembelian Singkong) sempat bercerita bahwa koptan Sukadana ini banyak yang tidak kooperatif dan tidak senang diverifikasi sebab dikiranya curiga dan tidak percaya pada mereka. Bahkan root coordinator sering diancam (kadang pakai badik-cluritnya orang Sumatera) waktu sedang bertugas ke sana. Sempet agak ngeri juga :_(
Kesan begitu memang ada ketika pertama kali bertemu Pak Dirman langsung. Namun, ternyata setelah diajak berjalan jalan berkeliling kebun-nya, pria hitam dan berperawakan sangar itu ternyata cukup ramah. Ternyata dia bukan orang Lampung atau peranakan Jawa. Marganya Sinaga, lengkapnya Sudirman Sinaga, orang Batak rupanya. Setelah capek berkeliling, kita singgah kembali ke rumahnya. Rumahnya sangat adem, dan -khas rumah di kampung kampung- halamannya sangat luas dengan bermacam tanaman bunga. Dia bercerita, saking seringnya root coordinator datang ke lahannya, sudah seperti saudara sendiri. Orangtuanya yang muncul dari belakang rumah ternyata tidak sependapat, beliau sempat curiga dengan kedatangan kita. Untunglah Roy pintar berkelit, akhirnya malah cerita bagaimana pengalaman pahit getirnya sang bapak yang sudah malang melintang di dunia persingkongan. Sampai melenceng ke acara TV kegemaran sang bapak, Mamamia. “Hiburan buat orang tua” kata bapak yang sudah berumur 72 tahun tapi masih mengaku muda ini.
Keluarga Sinaga memiliki total lahan seluas 12 Ha yang dirintis dengan membuka hutan, mengusir gajah dan macan liar, semua oleh sang bapak sendiri. Lahan seluas itu bisa menghasilkan paling sedikit Rp 120 juta sekali panen. Dengan total biaya sekitar Rp 3.2 juta per Ha (termasuk pupuk, tenaga kerja, pengangkutan dan bunga pinjaman), untuk sekali musim panen, bisa mengantongi keuntungan tak kurang dari Rp 80 juta. Artinya, sekitar Rp 10 juta sebulan. Lebih besar dari gaji supervisor berdasi di Jakarta :_)
Tak lama mengobrol, kita pamit dengan Bang Dirman dan bapaknya untuk melanjutkan verifikasi ke lahan lain, yang dikoordinasi oleh Mba Ning. Di perjalanan Sigit menggambarkan mba Ning sebagai wanita perkasa, yang mengambil sebagian besar pekerjaan laki laki. Terbayang deh, wanita perkasa itu bakalan sangar kayak cowok. Apalagi diceritakan dia naik sepeda motor Honda Tiger untuk mengawasi lahan yang semuanya dimiliki kaum pria itu.
Lagi lagi kita salah. Di rumah yang tampak belum selesai dibangun itu, hidup sepasang suami istri yang sangat ramah. Mba Ning berperawakan besar, namun raut wajahnya penuh senyum dan tutur katanya penuh canda tawa. Suaminya, yang tampak kecil dibandingkan sang istri, juga ramah dengan wajahnya ber-template senyum. Rumahnya pun teduh dan ada semacam perasaan senang bergaul dengan mereka.
Suguhan susu manis panas dan biscuit vanilla pun menemani siang yang penuh kehangatan itu. Si bapak bercerita bagaimana ia dan sang istri, dari Blitar, lalu mengadu nasib di Jakarta sejak tahun 1977, di mulai dari bersekolah di belahan selatan Jakarta. Ketika krismon menghantam perekonomian Indonesia, usaha kecil kecilan mereka pun terkena imbas yang sangat parah sehingga bangkrut. Dasar jiwa pejuang dan petualang, entah datang dari mana bisa muncul ide untuk move ke Lampung. Sejak tahun 2000, mereka sudah menetap di Lampung Timur, memulai usaha cocok tanam singkong. Saat itu, masih menjadi penyuplai untuk kompetitor terbesar kita. Sempat kecewa, kini ia mencoba lagi masuk sistem plasma bersama perusahaan kita yang baru rintis setahun belakangan ini.
Pejuang, petualang, namun berhati sangat lembut. Ia sempat menuturkan, bagaimana pekerjaan yang ia lakoni sekarang, menuntutnya selalu ada di lapangan, dan dia merasa kasian sekali dengan putra satu satunya yang masih duduk di kelas enam SD. “Hanya malam aja dia mendapat kasih sayang ibunya” tutur mba Ning dengan pandangan sedikit menerawang, seperti menyesali sesuatu.
Tanpa terasa, susu dan biskuit pun ludes. Tiba waktunya kita berangkat verifikasi lahan. Ngga juga sih. Waktu makan siang, lebih tepatnya :_P Diajaklah kita, oleh mba Ning dan suami, ke sebuah rumah makan Padang yang bisa lesahan. Mba Yuli pemilik warung, lagi lagi orang Jawa, pernah tinggal di Bekasi, mencoba nasib di Lampung Timur dengan berjualan nasi Padang. Jujur aja, masakannya biasa, hanya suasananya aja yang enak, nyaman, dengan angin sejuk sepoi sepoi.
Perut kenyang, mulailah kita berangkat. Gue dan Roy dengan mobil Panther Putih yang disetirin Sigit. Anwar naik MegaPro, mba Ning dengan Tiger. Yang lucu, suaminya yang diboncengin, mba Ning tanpa helm dan tanpa jacket, hanya kaos, celana pendek dan sandal jepit. Di lokasi yang tak jauh dari Taman Nasional Way Kambas itu, medannya cukup berat. Sebuah sungai dengan jembatan bambu mengakhiri perjalanan dengan mobil. Lahan singkong mba Ning ada di seberangnya. Disinilah gunanya Anwar membawa Megapro. Akhirnya 2 motor bonceng 6 orang. Anwar, Roy dan Gue di Megapro. Mba Ning, suaminya dan Sigit di Tiger. Tetep, yang nyetir, mba Ning.
Disana, kita diajak mampir ke sebuah saung yang cukup besar. Di bawahnya ada beberapa ekor sapi putih diikat dekat tiang. Di atas, beberapa pemilik lahan mengawasi lahan masing masing sambil mengobrol. Mba Ning langsung naik dengan tangga kayu yang memang disediakan itu. Kita pun diajak naik. Semua naik kecuali Sigit yang masih gemar memotret sapi sapi di bawah. Di atas, kita disediakan kopi hangat, sehangat suasanan yang mereka tawarkan ke kita. Ngobrol selalu diiringi canda tawa. Padahal masih beberapa lahan lagi yang dananya belum turun ke mereka, walaupun mengeluh, mereka percaya perusahaan kita pasti memenuhi janjinya. Kalau ngga, kita udah ditempelin clurit/badik kali :_P
Dari atas saung besar itu, terlihat hamparan hijau tanaman singkong tak bertepi. Di sanalah lahan lahan yang dimiliki Pak Mali, Pak Senen, Pak Suwondo dan bapak bapak yang lainnya, termasuk punya mba Ning. Denger denger, mba Ning sendiri punya 50 Ha. Betapa kayanya petani petani kecil di depan kita ini. Namun tetap bersahaja dan layaknya petani, tetap rendah hati dan menganggap kita –orang orang kota ini– sebagai lebih baik dan lebih hebat dari mereka. Padahal, dengan uang mereka, cukup untuk menimbun kita hidup hidup. Sayang foto petani petani kaya ini, entah kenapa, tidak jadi. Tustel Kodak yang dibawa Anwar, entah kenapa, hilang sebagian foto fotonya. Sayangnya, gue juga ngga njepret, si Anwar kan udah ada, pikir gue.
Waktu kembali ke mobil dengan motor, ada accident yang cukup membuat tertawa. Motor Megapro yang ditumpangi Anwar, Roy dan gue kehilangan keseimbangan dan tiga tiganya jatuh ngusruk ke kebon singkong orang. Untungnya gue sempat lompat di saat saat terakhir. Roy, yang memang ditengah, ngga bisa apa apa dan jatuh dengan posisi terakhir telentang (seperti kura kura terbalik). Dan Anwar ikut masuk ke kebon bersama motornya. Anwar memang terlalu kecil untuk membonceng gue dan Roy yang lebih dari 150 Kg berat berdua ditambahi. Habis jatoh bukannya pada langsung bangun, malah tertawa semua. Untungnya ngga ada cedera serius. Cuma lecet dikit aja.
Itu membuat tempat tempat lain yang kita kunjungi menjadi kurang bersemangat. Dan setelah pamit dengan mba Ning dan suami dan petani petani lainnya, kita lanjut verifikasi 2 lagi lahan kepunyaan Pak Nicky. Sayang juga, karena udah kesorean dan juga cape plus pegal pegal habis jatuh dari motor, kita ngga jadi mampir ke Taman Nasional Way Kambas. Lokasi penangkaran gajah yang amat terkenal di Lampung itu hanya berjarak ngga lebih dari 3.5 KM lagi di depan kita.
Begitulah sehari bersama petani petani yang bisa menghasilkan banyak uang itu. Rumah mereka besar besar, lahannya luas, sapi, kerbau, kambing, beberapa malah punya truk besar sendiri untuk ngangkut singkong dari lahan ke pabrik. Semua orang kaya yang gigih berjuang dengan lahan subur pemberian alam.
Tak lupa, ditengah jalan, kita mampir untuk menikmati manisnya durian Lampung. Yang ternyata, ngga manis manis amat (karena masih muda). 3 biji harga Rp 45,000, hanya 1 yang manis.
Sedikit Fakta mengenai Singkong yang gue pelajari dari Petani:
1. Jenis Singkong yang baik (untuk dibuat tepung tapioka) ada 2 macam: jenis cassesa dan jenis Thailand. Namun jenis cassesa sedikit lebih baik.
2. Jenis cassesa berumur lebih panjang, 10 bulan, sedangkan Thailand hanya 8 bulan. Namun, jenis cassesa makin lama makin baik (tinggi kandungan aci / pati-nya). Sedangkan Thailand > 12 bulan makin turun kadar aci-nya.
3. Singkong baik ditentukan dari kadar aci-nya (SC = Starch Content), makin tinggi harganya makin mahal. Alat pengukurnya disebut 'rendemen' yaitu berupa alat menyerupai timbangan dimana singkong dimasukkan ke dalam sebuah ember berisi air. SC singkong Lampung rata rata 24, lebih baik dari singkong Jawa yang biasanya di bawah 24.
4. Banyak sedikitnya singkong yang dihasilkan oleh 1 tanaman singkong dapat dilihat dari buku buku pada batangnya. Makin rapat, hampir bisa dipastikan, makin banyak dan makin besar 'jari' umbinya. Jadi tidak dilihat dari lebat atau hijaunya daun, misalnya.
5. 1 Ha lahan bisa menghasilkan paling sedikit 20 Ton singkong segar. Jenis cassesa bahkan bisa menghasilkan 30 Ton / Ha jika waktu pemupukan dan jenis pupuknya tepat.
6. Singkong sambung, adalah jenis cassesa yang disambung dengan singkong hutan (diikat). Singkong sambung akan tumbuh lebih besar dari singkong biasanya namun menghasilkan jauh lebih banyak. 1 Ha bisa mencapai 50 sampai 100 Ton, dengan jarak tanam 1 m tiap pohonnya.
7. Telo (ketela), Puhung, dan Bedot adalah antara lain sebutan untuk singkong. Bedot adalah sebutannya di Lampung :_)
My Last Assignment, Penutup yang Manis
Selesai meeting 2 jam itu, waktu sudah hampir jam 4 sore. Sudah waktunya kita harus berangkat. Perjalanan ke bandara paling cepat butuh waktu 1.5 jam. Sedangkan pesawat kita jam 6.15 sore. Setelah bersalam salaman dan pamit pamitan. 2 buah koper dan 1 kotak berisi keripik pisang pesanan dari Inez pun masuk mobil Inova warna telor asin yang mengantar kita, gue, Roy dan Pak Maru (orang India) ke bandara.
Dalam perjalanan, Roy sempat bilang, kalau Inova ternyata lebih nyaman dari CRV (beberapa kali kita diantar jemput dengan CRV-nya Pak Minarta-GM). Baru kali ini diantar Inova, dan gue juga sependapat, Inova lebih empuk goyangannya. “Lu mesti bangga lu, sebagai pemilik Inova”, kata Roy. “Iya, dan nangis pas mau ngisi bensin” sambung gue :_P
Seperti biasa, masuk Executive Lounge sambari menunggu pesawat. Bertiga sama Pak Maru. Banyak juga bercerita dengan beliau. Pria berumur 42 tahun asli orang India ini termasuk India yang rendah hati, down to Earth, dan sangat friendly. Sangat berbeda dengan India India lain di kantor :_P Beliau sudah 14 tahun melalang buana bekerja di Indonesia dan mostly di Jakarta. Sudah pernah ke pelosok Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Sungguh, pribadi yang menyenangkan dan ngga sombong.
30 menit tidak terasa berada di pesawat Sriwijaya. Apalagi tidak delay. 15 menit sih, tapi itu ngga boleh dihitung delay :_P Sampai di Jakarta, langsung dijemput Natz dengan sopir. Begitulah 2 minggu di Lampung Timur. Penugasan terakhir yang akan gue rindukan. Di atas motor, sewaktu dibonceng bertiga oleh Anwar, Roy sempat mengemukakan, “Di tempat baru, lu ngga ada lagi yang kayak gini.” Bener banget. Dan hal hal seperti inilah yang gue paling kangen dari perusahaan ini. Dan Lampung Timur menyisakan kenangan manis tentang kota di pelosok, singkong, keramahtamahan petani, jatuh dari motor, pisang Cavendis, Rumah Adat Lampung dan potensi bisnis yang mungkin bisa gue tekuni dikemudian hari ;_)
12 Juli 2008
Wifi Gratis di Dunkin' Donuts Harmoni
Pemikiran gue rupanya sejalan dengan pikiran management Dunkin'. Baru baru ini, 2 gerainya di lokasi yang cukup strategis, diberi fasilitas free hotspot, yaitu di Dunkin' Harmoni (Batu Ceper, Jalan Gajah Mada) dan di Kemakmuran (seberang tempat kursus Mandarin gue).
Sabtu siang kemaren, kebetulan habis kursus, gue nungguin Nat yang lagi stok opname sampai sore. Ya udah, TravelMate 4720 gue, gue bawa serta. Dengan modal segelas Cappucino Colatta, mulailah gue ber-browsing ria. Disitu juga gue memulai tulisan ini. Namun, ada satu kekurangannya. Yaitu, entah disengaja atau tidak oleh pihak management, tidak ada satupun tempat untuk nyolok listrik (steker). Artinya, free internet hanya bisa seumur batere laptop. Untuk laptop baru seperti Travelmate gue masih bisa bertahan 3 jam lebih, kalau batere laptop sudah rusak, mendingan jangan dateng :_P
Gue jadi teringat salah satu istilah untuk 'pencari wifi gratis', dari blog sebelah, 'Cocacola Anget' istilahnya. Maksudnya, pesan 1 minuman Cocacola (biasanya dingin/pake es), browsing berjam jam, sampai minuman tersebut menjadi panas kena sembur hawa panas dari laptop. Tapi tidak disini, Capuccino Colatta gue masih dingin dan berembun. Esnya pun masih padat. Sempet nanya juga sih ke mas mas yang jaga, ada ngga tempat nyolok. Mas-nya nyengir, "ngga ada" mungkin udah sering mendapat pertanyaan yang sama dari pengunjung seperti gue ini.
Ya, apa boleh buat. Cabut lah gue dari tempat itu. Kalau dihitung cost-nya, 3.5 jam browsing 'gratis' bisa habis Rp 35,000 sama parkir. huh, berarti satu jam Rp 10,000 ya? Sangat tergantung dari minuman/makanan yang dipesan sih. Dan tujuan utamanya apa? Makan/minum atau browsing aja? Kalau gue sih cuma browsing aja + killing time. Worthed lah...
Dari situ gue lanjut ke tempat lain, masih ada 2 jam lebih, pikir gue. Natz pulang sekitar jam 5. Waktu baru menunjukkan pk. 2.30 sore. Gue teringat 1 resto dekat kantor Natz yang juga menyediakan wifi gratis, Super Kitchen. Resto yang berada tepat di sebelah hotel Red Top di Jalan Pecenongan ini. Sebelum masuk menenteng laptop, gue make sure dulu, ada tempat buat nyolok ngga nih. Soalnya batere gue bener bener pada titik merah, ngga mungkin jalan tanpa colokan listrik. Ternyata ada.
Masuklah gue dengan Travelmate. Duduk, nyolok, pesan minum kedondong kiamboy dan lumpia kulit tahu. Sebenarnya masih kenyang, soalnya baru makan siang sama Natz di Pondok Laguna, yang juga ngga jauh jauh dari situ. Tapi dinsum-nya Super Kitchen memang menggoda :_P Setelah wireless network found, di click, ditunggu lama, ternyata ngga bisa ter-conect. Muncul tulisan ini: 'limited or no conectivity'. Sayangnya ngga ada yang cukup mengerti tentang hal ini disana, semua staff-nya kebingungan. Yang gue salut adalah, mereka berusaha untuk men-solved problem gue. Problem mereka sih sebenarnya. Sampai telepon providernya segala, tetep ngga bisa. Ya sudahlah, memang sangat jarang mereka menemui pelanggan yang berwifi ria di sini. Hari itu, cuma gue sendiri yang minta wifi. Mungkin hari hari sebelumnya juga ngga ada. Memang segmen-nya bukan pembrowser gratis, tapi resto keluarga. Aneh juga mereka kok sediakan wifi gratis. Ngga menarik bagi pelanggannya sama sekali.
Begitulah, disana kira kira 2 jam tidak jadi browsing ria. Hanya nulis nulis aja dan liat liat foto assignment Lampung. Sampai Natz pulang jam 5.
Bekerja untuk Orang No 54 Terkaya di Indonesia
Siapa sih Soegiarto Adikoesomo? Bagi orang bisnis, dia adalah Taipan, teman bisnis, saingan bisnis, bahkan musuh bisnis yang bisa sangat ditakuti. Perusahaannya tersebar di se-antero Indonesia, bahkan sampai ke pelosok China. Kekayaannya melimpah. Namun, ngga banyak orang yang tahu, dari semua fortune yang dia hasilkan sekarang ini, bagaimana ia merangkak dan berjuang dari titik nol.
Lahir 70 tahun yang lalu dari sebuah keluarga sederhana di Surabaya. Ia mulai bekerja sebagai pengantar kain di sebuah toko di kota kelahirannya tersebut. Pernah dituduh mencuri kain, padahal ia beli dengan jerih payahnya sendiri untuk istri tercinta. Dari situ, ia belajar betapa pedihnya menjadi orang kecil yang menggantungkan hidupnya pada orang lain dan bertekad untuk memulai usahanya sendiri.
Bermula dari sebuah toko bahan kimia kecil di Surabaya. Bersama karyawan pertamanya, Jimmy Tandyo, berkeliling dengan sebuah sepeda motor Vespa, mengantar jualannya. Kini ia sudah merajai trading dan logistik bahan kimia, termasuk penyimpanan (tanki) di pelabuhan pelabuhan utama di Indonesia. Tahun 80an, Unilever mengajaknya bekerja sama membangun pabrik Sorbitol (bahan baku yang banyak digunakan Unilever) di Pandaan, Jawa Timur. Dari kapasitas 5000 Ton per tahun, sekarang sudah menjadi penghasil Sorbitol no 2 di dunia, bersama pabrik-nya yang lain di Liuzhou, China. Tahun 2000an, menjadi pengusaha swasta pertama yang terjun ke dunia jual-beli Petroleum. Di era yang sama, ia juga mengakuisisi 100% kepemilikan 5 buah pelabuhan sungai di Guigang, China yang merupakan jantung pelayaran dari Guangzhou menuju Hongkong sampai ke Shanghai. Belum lagi sebuah hotel terbaru dengan privat beach di Nusa Dua, Bali dan sebuah Convention Centre bertaraf internasional lengkap dengan 18 hole golf course di Manado.
Itulah sosok Pak GIK, begitu ia akrab disapa. Ulang tahunnya yang ke-70 kemarin dirayakan dengan meriah di Hotel Mulia, Jakarta. Namun dibalik kemeriahan itu, sosok yang tampil adalah kerendahan hati, lembut, perhatian namun tetap tenang dan berwibawa. Dan karyawan pertamanya itu, dipercayakannya menjadi CEO dari sebuah unit usahanya yang paling besar.
Gue merasa beruntung bisa bekerja langsung di bawah beliau. Beberapa kali, terutama di China, langsung dengan beliau. Dari situlah gue mengenal sosok asli dari sang Taipan. Ia sangat menghargai pekerjaan bawahannya. Karena ia pernah merasakan pahit getirnya menjadi karyawan, ia selalu memperlakukan karyawannya dengan baik. Ia juga gemar memberi petuah tentang filosofi kehidupan, tentang keluarga, dan tentang bagaimana ia mendidik anaknya. Pernah suatu malam di Guigang, China, gue dan Roy diajak ke rumah barunya dan diajak berkeliling. Rumah yang tidak terlalu besar namun untuk ukuran di China, sudah cukup mewah. It’s a Penthouse di lantai paling atas sebuah apartment yang cukup mewah.
Di China, ia juga memiliki sebuah mobil Mercedes Sports (2 pintu) yang ke mana mana ia setir sendiri. Pernah suatu ketika, datang sopir menjemput dia dengan mobil tersebut. Sopirnya turun, lalu pindah duduk di sebelah. Lali beliau masuk dan duduk di belakang kemudi. Gue garuk garuk kepala, baru kali ini ada majikan yang nyetirin supir… Kemana mana beliau juga selalu ditemani sang istri. Bu GIK juga pribadi yang bersahaja dan tidak berperangai nyonya besar. Suatu malam, ketika sedang membahas report (jam 9 malam di penthouse-nya), melihat Pak GIK yang menguap beberapa kali, Bu GIK langsung membuatkan kopi, padahal di sana ada pesuruh. Dibalik pria yang hebat selalu ada wanita yang hebat :_)
Begitulah orang bisa menjadi orang besar. Bagi gue, Pak GIK besar bukan karena kekayaannya. Bukan karena ia salah satu orang terkaya di Indonesia. Bukan karena perusahaannya yang tersebar di mana mana. Namun karena dibalik kebesarannya, ia tetap begitu membumi sehingga menjadi kecintaan dari ribuan karyawan yang bekerja untuknya. Gue hanya salah satunya.
PS. Usia yang ditampilkan majalah GlobeAsia ngga salah juga. Walaupun sudah umur 70 tahun, Pak GIK masih terlihat berumur 60an. Segar dan enerjik.
09 Juli 2008
SUMMER PALACE, dijamu layaknya Raja di Istana Musim Panas
Tapi bukan Pacific Place atau Ritz Carlton yang mau kita tuju Minggu siang itu. Kita menuju sebuah bangunan lama di kawasan itu, tepat dibelakang Pacific Place, Automall. Tempat yang dulu cukup bergengsi untuk membeli atau sekadar melihat lihat mobil dan motor mewah. Di lantai II ada beberapa resto yang selalu sepi, terkalahkan oleh resto resto baru dimana lagi kalau bukan Pacific Place.
Sabtu siang itu, gue dan keluarga Natz sengaja datang untuk 1 restaurant, yang kebetulan lagi ada promo Kartu Kredit Mandiri (lagi lagi), Summer Palace. Dari namanya saja sudah bisa ditebak, jenis makanan yang ditawarkan, Chinese Food tentunya. Mengambil nama istana musim panas raja raja China zaman dulu. Memang, resto ini penuh ornament China. Lengkap dengan perangkat berkaraoke ria dengan sebuah TV yang besar.
Di meja, sudah tertata rapi mangkok kecil untuk sop, piring kecil, cangkir kecil untuk teh, sendok sop dan tak ketinggalan sepasang sumpit. Pemandangan yang biasa dilihat di resto di seantero China.
Soal rasa, ternyata memang mirip sekali dengan Chinese Food di tempat asalnya. Cita rasa yang tidak terlalu strong, namun tetap enak untuk dinikmati. Berikut menu yang kita pesan :_)
Udang goreng tepung Mayonese. Udangnya besar besar.
Tumis Kacang Panjang kering dengan daging cincang (Ganbian DouJiao – favorite gue dan Roy di China). Liat ngga dagingnya banyak :_P
Ayam Rebus Putih (Pek Cam Ke). Yang ini salah pesan, harusnya minta ayam kampung. Kalau ngga bilang, dikasihnya ayam Negri, harganya beda 20,000.
Tumis Ikan Kerapu Fillet. Yang ini kurang enak. Lebih enak ikan kerapu tumis taosi pedas yang kita makan sehari sebelumnya di Super Kitchen.
Jamur istana. Ini yang istimewa. Kata Mama, ini seperti makan babi yang bagian gemuk gemuknya. Inilah istimewanya, makan babi tapi bebas kolesterol.
Dari menu dinsum, tak ketinggalan siomay, hakau dan ceker ayam masing masing 2 porsi :_)
PUAS banget :_P 1 keluarga makan puas ‘hanya’ dengan Rp 350ribuan. Wow, kalau ngga diskon berarti Rp 700ribuan dong..? Ngga juga. Dinsum dan beverages harga tetap alias ngga diskon.
Diskon 50% dengan Kartu Kredit Mandiri hanya berlaku sampai 31 July 2008 ini lho. BURUAN Dateng… :_P