09 Juli 2008

BUMBU DESA, Kampungan Ngga Selalu Enak

Lagipula, apanya yang ‘kampungan’? Pertama melangkahkan kaki ke dalam resto yang ngaku ‘kampungan’ ini jauh dari kesan itu. Kaca kaca jendela yang besar, dipadu dengan lampu lampu gantung yang terang dan sangat modern. Kalaupun ada unsur kampungan, ya paling cuma FOTO FOTO mbok mbok atau mamang mamang yang berpakaian ala sunda. Apalagi ya unsur ‘kampungan’? Ohya, seragam waitress-nya yang bertuliskan “ternyata TETAP KAMPUNGAN”. Mengingatkan gue pada sinetron Cinta Laura berperan sebagai anak tukang gado gado dan pembuat sinetron berteriak teriak, “dia anak tkg gado gado lho… iya, anak tkg gado gado” Ngga nyambung :_P

Ketika Bumbu Desa, resto yang terkenal dari Kota Kembang, Bandung itu buka di Kebon Jeruk, anak anak kantor gue cukup heboh. Begitu juga keluarga Natz. Seperti ada perasaan gembira resto yang kata mereka enak ini ada di sekitar neighborhood. Maka, Jumat malam yang lalu, gue dan Natz pergi ‘mencicipi’ Bumbu Desa yang paling anyar ini. Walaupun ini bukan kali pertama makan di Bumbu Desa, tahun lalu pernah nyicipin di Surabaya. Tapi seinget gue tidaklah enak enak amat. Malam itu gue datang dengan sedikit penasaran, kok semua orang bilang enak ya?

Sampai di sana, kita percayakan pilihan kita pada si mbak yang melayani kita. Kita diberitahu bahwa yang paling special di sana adalah Gurame goreng kering dengan bumbu khusus yang pedas. Dibagian sayur, rekomendasinya adalah tumis leunca. Walaupun tau leunca itu rada pahit, gue putuskan untuk coba, sapa tau beda. Juga semangkok sayur asem, ngga afdol aja kalau makan Sunda tanpa sayur asem. Nasinya kita pilih nasi liwet. Ohya plus rempeyek udang dan tahu isi untuk camil camilan.

Setelah pesan, hanya sayur asem dan tumis leunca yang kita bawa ke meja. Yang lainnya akan dipanasin dulu. Terbayang deh, gurame yang garing banget disantap panas panas dengan bumbu pedasnya. Air liur sudah mulai ngences :_P


Kecewalah kita ketika melihat Gurame Goreng Garing yang kita pesan sama sekali ngga garing. Sampai gue panggil waiternya untuk di goreng sekali lagi. Itupun setelah digoreng lagi dan sudah garing, ternyata ngga seenak bayangan gue. Bumbu merah-nya persis seperti di Dago Panyawangan (Bandung), tapi hanya penampakannya saja. Rasanya jauh dari itu. Sayur asemnya pun sama, jauh lebih enak sayur asem Ayam Goreng Muara Karang atau Ayam Jabrik di dekat rumah, yang sama sekali ngga special makanan Sunda. Dan tumis leunca-nya? Ngga usah diomongin deh. Hanya 1 sendok saja gue makan. Nasi Liwet juga begitu, ngga ada liwet liwetnya, hanya nasi putih dibungkus daun pisang ditaburi ikan teri asin. Mungkin kurang lama dikukus dalam daun pisang sehingga rasanya ‘ngga ada’. Tahu isinya pun sangat mengecewakan, jangan bayangkan seenak tahu kipas di Lembur Kuring atau Pondok Laguna.


Jadilah gue makin tambah penasaran. Resto-nya ramai sekali malam itu, terbersit pertanyaan, apakah semua orang disana merasa makanannya enak? Gue sangat ngga yakin. Yang gue yakin, ini trend sesaat dan segera gedung 2 tingkat yang cukup megah itu sooner or later pasti berangsur angsur sepi.

Konsep makanan Sunda yang dipilih pilih lalu digoreng lagi agar panas dan enak ini bukan barang baru. Sudah lama rumah rumah makan di Bandung menganut konsep ini. Hanya saja, untuk dibawa ke resto yang besar dengan sasaran pengunjung berkocek tebal, boleh dibilang Bumbu Desa-lah yang pertama. Lalu diikuti oleh resto sejenis seperti Bumbu Sunda dan Ampera.

Kalau mau citarasa Sunda ‘kampungan’ asli cobalah sekali kali datangi pelosok pelosok kota Bandung. Banyak tempat yang layaknya rumah makan biasa, yang makan pun rakyat bersahaja. Dari rumah rumah makan seperti inilah konsep Bumbu Desa berasal, tapi soal rasa, seratus kali lipat lebih nikmat dari Bumbu Desa.

Unsur ‘kampungan’ yang coba dilekatkan Bumbu Desa untuk menarik pengunjungnya sungguh ngga nyambung dan sangat ironis dengan penampakannya. Kalau rasa makanan-nya enak, mungkin masih bisa dikatakan ada unsur ‘kampungan’ soalnya biasanya yang kampungan itu memang enak. Tapi yang ini … ... tak ubahnya menonton Cinta Laura berperan sebagai anak tkg gado gado yang miskin dan minta simpati penonton. Maksa !

1 komentar:

akokow mengatakan...

abis memberi makan ikan meninggalkan komentar...

bumbu desa kemahalan...